Mohon tunggu...
Sunardi
Sunardi Mohon Tunggu... Guru - Saya suka menulis dan fotografi

Asal Bondowoso, Kota Tape. Sedang belajar hidup. Blog pribadi www.ladangcerita.com

Selanjutnya

Tutup

Puisi

Menjemput Jodoh di Kampung Bidadari

26 Februari 2016   15:07 Diperbarui: 27 Agustus 2020   08:18 85
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

[caption caption="Sumber gambar: pixabay"][/caption]

"Dari mana pagi-pagi?"

"Cari pakis, Bu. Lama tidak makan pakis alami."

"Memangnya di Surabaya tidak ada pakis?"

"Ada, beli di super market. Sudah tidak alami. Ini tak masak sendiri ya."

Alfin langsung menuju dapur, "Ayo, Dick." Dicky tidak terbiasa masak sendiri. Selama kuliah di Surabaya ia lebih suka beli di warung. Tetapi ia ikut saja, ingin tahu Alfin masak. "Ayo bantu motongin ini. Ini pasti enak. Makanan alami."

Ada seorang pria paru baya masuk, "Alfin..., kapan datang?"

"Wah, Lek Rianto," ia langsung menyalaminya. "Ini teman saya, Lek."

"Orang Surabaya?"

"Iya. Lukman ada dimana sekarang, Lek?"

"Sudah nikah. Sudah punya anak satu."

"Wah, dapat orang mana, Lek?"

"Orang Karang Sengon."

"Desa di tengah sawah itu?"

"Iya. Kamu kapan? Kok tidak bawa calonnya?"

"Belum nemu, Lek. Ayo carikan."

"Orang berpendidikan kayak kamu, coba cari di Wringin. Orang sana itu cantik-cantik dan tidak sembarangan milih calon suami. Kwalitas agamanya diutamakan. Kamu cocok cari orang sana." 

Wringin merupakan kecamatan yang terletak di pegunungan bagian barat Bondowoso. Daerah ini memang terkenal kaum wanitanya cantik-cantik. Banyak kyai dan pesantren di daerah tersebut. Untuk menikah dengan perempuan di sana tidak sembarangan, harus pemuda yang berilmu, yang alim dan sopan perilakunya.

"Sekarang sudah banyak orang cantik, Lek. Ngapain cari ke puncak gunung? Sulit air"

"Coba dulu."

Diam-diam Dicky penasaran dengan gadis-gadis Wringin. Menurutnya cukup menarik jika daerah pegunungan terkenal dengan kecantikan kaum wanitanya dan mengutamakan pendidikan. Biasanya orang pegunungan hidupnya tidak teratur, bahkan tak tahu aturan. Begitu yang Dicky tahu. Tetapi ini beda, bak kampung bidadari di puncak pegunungan yang indah.

***

Ramai sekali. Alunan musik menggema. "Itu monumen Gerbong Maut, Dick," Alfin menunjukkan patung orang megang tombak dan gerbong kereta yang berada di selatannya alun-alun. "Dulu, banyak yang meninggal di gerbong itu. Kamu pernah baca kisahnya kan?" Disky mengangguk. Ia ambil foto dari sebelah timur dan utara monumen tersebut. Di tepi utara alun-alun terlihat pentas panggung berkilauan. Di sanalah pementasan drama dan pembacaan puisi digelar. Acara tersebut diikuti oleh seluruh SMA, MA, dan SMK se-Bondowoso.

"Makan bakso, yuk, Fin," ajak Dicky.

"Makanan favoritmu. Ayo, di sana yang enak."

Mereka menuju ke tepi bagian timur alun-alun. Di sana ada salah satu penjual bakso yang cukup terkenal. Cukup rame memang. Mereka langsung ambil tempat yang masih kosong, dekat tepi trotoar. Diam-diam Dicky mengamati wajah tiap wanita yang tertangkap matanya. Barangkali ia melihat wanita dari kampung bidadari. Ia sangat penasaran.

Pelayan warung menyuguhkan dua mangkok bakso pada mereka.

Ada dua wanita duduk di samping Dicky. Ia sempatkan melirik wajahnya. "Rammi maloloh e dinnak reh," katanya. Dicky tidak mengerti bahasa Madura tersebut. Cukup cantik memang meski cahaya lampu tidak begitu terang. Dicky berusaha berpindah duduknya, ingin memastikan kecantikan wajah wanita tersebut. Di punggung wanita tersebut tertulis Pembina SMA 1 Wringin. Mungkin ia salah satu guru di SMA tersebut. Semakin penasaran Dicky pada wajahnya. Ia pindah duduknya. Cukup lumayan, ia bisa melihat wajah wanita tersebut dari samping kanannya. Dicky menghela nafas panjang, "Tak salah jika Wringin disebut kampung bidadari," batinnya. Ia terus memandanginya. Tak lupa, ia foto wanita tersebut. Berani sekali dia.

"Ke sana, yuk, Dick. Terlalu rame di sini," ajak Alfin. Padahal Dicky sedang tidak ingin pindah. Tetapi, ia ikut saja.

***

Pagi ini Alfin nyembelih kelinci, mau disate katanya. Dicky tampak kurang semangat. Ia masih teringat wanita cantik yang tadi malam. Menyesal tidak minta pin BBM-nya, menyesal tidak memperkenalkan diri. Ia ingin main ke SMA 1 Wringin. Ia yakin wanita itu ada di sana. Coba ia lihat peta di smartphone-nya. Wringin tidak terlalu jauh dari rumah Alfin, hanya 25 kilo meter. Sepertinya dia tidak ingin pulang ke Surabaya, terpikat pada gadis desa di kampung bidadari.

"Fin, main-main ke Wringin, yuk...!!"

"Wringin...? Mau cari jodoh...!!" ia tertawa. "HahaHahaha... Dicky Dicky... Kamu serius?"

"Entahlah."

"Oke oke. Kuajak kau ke kampung paling puncak. Banyak orang bilang, gadis-gadis di sana mulus-mulus kayak bidadari."

Habis sarapan Alfin mengajak Dicky ke rumah pak de-nya. Beliau ahli perdukunan, termasuk ahli memberi petunjuk arah agar mendapat rizki atau agar cepat nemu jodoh. Dicky tidak tahu kalau Alfin masih percaya perdukunan. "Jam 10 yang pas buat cari jodoh ke arah barat daya," kata pak de-nya Alfin.

Tepat jam 10 mereka berangkat. "Langsung ke SMA 1 Wringin, Fin," pinta Dicky.

"Mau cari anak SMA?"

"Ayo sudah."

Setelah melalui jalanan yang berliku-liku, akhirnya mereka tiba juga di SMA 1 Wringin. "Ke warung depan itu," pinta Dicky. Kebetulan sedang sepi warungnya.

"Makan apa?" tanya ibu penjaga warung.

"Mau cari jodoh, Bu," kata Alfin, keceplosan. "Eh, salah. Soto aja, Bu."

"Kalau masih mau tungangan, banyak siswi yang cantik," kata ibu penjaga warung. "Kalau mau langsung nikah, juga banyak guru muda sekarang. Sebentar lagi pas istirahat sholat duhur biasanya banyak guru ke sini."

Dicky senang sekali mendengarnya. "Ibu kenal sama guru-guru di sini?"

"Ya kenal, tetangga ibu semua gurunya."

Seakan kejatuhan durian runtuh. Hati Dicky berbunga-bunga. Waktu duhur tidak lama lagi, tapi terasa sangat lama bagi Dicky. Ia isi waktu dengan membaca berita di gadget-nya. Tak sabar rasa hatinya menunggu guru-guru muda itu keluar. Satu berita selesai dibaca, tapi jam tak bisa dipercepat. "Makan dulu lah," kata Alfin. Dicky tidak berselera untuk makan. Pikirannya sudah tersita penantian.

Akhirnya tiba juga waktu sholat duhur. Benar kata ibu penjaga warung, guru-guru muda keluar menuju warung. "Bu, yang paling kanan masih sendiri?" tanya Dicky.

"Masih. Rumahnya bersebelahan dengan rumah saya," jelas ibu penjaga warung. "Mau ke rumahnya?"

"Kalau bicara sama anaknya dulu, boleh?"

"Boleh. Sapa aja."

Alfin memperhatikan guru-guru muda itu. Ia tak bisa membohongi perasaannya: cantik-cantik memang. Dan yang ditunjuk Dicky adalah yang tercantik. Alfin diam saja, pura-pura tidak tertarik.

"Pake baju lengan panjang, pake kopyah kalau mau ke rumahnya," tambah ibu penjaga warung.

"Waduh... Salah busana nih," kata Dicky. "Beli aja yuk...!!"

 

baca juga Kepala Sekolahku Cantik

Sumber gambar: pixabay

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Puisi Selengkapnya
Lihat Puisi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun