"Disiplin" itu harus. "Taat hukum" mutlak harus.
Ketika seseorang mampu menjadi disiplin dan taat hukum, mudah untuk mengatakan hal tersebut. Tetapi tidak semua orang akan selalu mampu.
Dulu pernah ada seorang maling kelas kakap di desa saya. Tidak satu pun ada yang melapor ke polisi meskipun banyak yang tahu ia mencuri. Bahkan dilindungi oleh masyarakat. Kenapa dilindungi? KArena masyarakat menganggap maling tersebut lebih mampu mengamankan desa dibanding polisi.
Suatu ketika salah satu warga didatangi maling hendak mencuri sapinya. Untungnya ia terbangun dan menggertak maling tersebut. Maling tersebut lari. Tetapi serelah itu, hampir tiap malam rumahnya dilempari batu.
Apa hal demikian bisa diatasi oleh polisi? Apalagi banyak maling yang mempunyai kekuatan gaib.
"Kepepet"
Hal tersebut sering kali merubah yang benar menjadi salah dan yang salah menjadi benar. Bahkan manusia piihan, yakni Utusan Tuhan Muhammad saw. pernah berbohong untuk menyelamatkan nyawa seseorang (*Tetapi untuk hal ini, alasannya bukan kepepet).
Ada beberapa hal yang seharusnya dipertimbangkan dalam kehidupan sosial, yakni "Menunjukkan", "Membantu", "Memperbaiki"
Ketika sedang mampu, seseorang bisa menunjukkan kehebatannya menggunakan agama, hukum, dan sebagainya. Mengatakan ini haram, ini pelangaran. Saya tegaskan "Menunjukkan". Bukan membantu orang tertuduhh untuk berubah menjadi ebih baik, bukan juga berusaha memperbaiki, tetapi hanya menunjukkan kehebatan diri.
Bedanya, yang menunjukkan kehebatan diri bertindak seenaknya, tanpa pertimbangan, tanpa strategi. Kalaupun ada, tujuanya untuk menang saja, bukan perbaikan
Pengalaman ketika menjadi mahasiswa baru. Rekan-rekan senior di organisasi memotivasi agar memberantas keburukan-keburukan di kampus. Saya sering bertanya tentang "Cara yang bijaksana ketika itu". Tetapi percuma saja.
Pernah bebrapa rekan di organisasi berhasil membuat salah satu dosen dipecat. "Hebat...!!" Tetapi apakah setelah itu menjadi lebih baik? Jangan-jangan gantinya malah lebih buruk?
Saya sering bertanya dalam hati, "Beliau punya anak dan istri, jika dipecat, bagaimana nasib anak istrinya?" Apa pertanyaan semacam ini juga terjadi pada diri penegak hukum? Soalnya, banyak aturan yang tidak benar-benar tegak.
Ada rekan dulu berbisnis barang yang dilarang. Agama juga melarangnya. Tetapi saya ingin mengulas dari mata hukum saja. Menurut saya, masalahnya bukan hanya soal haram dan tidak, bukan hanya soal melanggar atau tidak. Dia kepepet, berbisnis untuk mencari makan, bukan kekayaan. Cari kerja, susah. Pajak tetap wajib bayar. Sementara yang menikmati pajak, belum bisa membantu, misalnya, dengan menyediakan lapangan kerja. Mungkin juga lagi sibuk cari tambahan.
Ketika saya peringatkan, jawabnya, kita sama-sama butuh makan, Bro. Banyak kok yang kayak saya, katanya.
Sangat berbeda dengan rasa malu. Ketika rasa malu ada dalam diri manusia, ia lebih kuat dibanding dengan hafalan undang-undang pasal per pasal.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H