Mohon tunggu...
Sunan Gunung Djati Blogger UIN SGD Bandung
Sunan Gunung Djati Blogger UIN SGD Bandung Mohon Tunggu... -

Sunan Gunung Djati adalah Harian Online Blogger Sunan Gunung Djati. Semula berawal dari Komunitas Blogger Kampus UIN SGD Bandung yang terbentuk pada tanggal 27 Desember 2007. Sejak 9 Februari 2009 dapat mengudara di Jagat Internet. Staff Redaksi: Pimpinan Umum: Ibn Ghifarie| Pimpinan Redaksi: Sukron Abdilah| Pengelola dan Keamanan Website: Badru Tamam Mifka, Zarin Givarian, Ahmad Mikail| Desain: Nur Azis| Kontributor Tetap: Pepih Nugraha (Senin-Ngeblog), Neng Hannah (Selasa-Gender), Bambang Q Anees (Rabu-Filsafat), Asep Salahudin (Kamis-Kesundaan), Afif Muhammad (Jumat-Teologi), ASM Romli (Sabtu-Media) Tim Susur Facebook: Cecep Hasanuddin, Reza Sukma Nugraha Tim Susur Blog: Amin R Iskandar, Jajang Badruzaman, Dasam Syamsudin, Dudi Rustandi. Seputar Redaksi: redaksi@sunangunungdjati.com Ayo Ngeblog, Ayo Berkarya! Selengkapnya klik www.sunangunungdjati.com

Selanjutnya

Tutup

Filsafat

Membicarakan Ulang “Wahyu Memamandu Ilmu”

15 Juni 2010   00:35 Diperbarui: 26 Juni 2015   15:32 396
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Filsafat. Sumber ilustrasi: PEXELS/Wirestock

-          Tugas untuk terus bertauhid, mengelola dunia, dan beribadah ini bergerak melalui sarana ‘Ilm untuk menyebarkan ‘adl (keadilan)  dan istishlah (kemaslahatan bersama) dan menghancurkan zhulm (kazaliman) serta dziya’ (pemborosan). Konsep ‘adl, istishlah, dziya’ dan zhulm sangat luas dan meliputi aspek-aspek sosial-budaya, ekonomi, teknologi dan psikologi dari keadilan, kepentingan umum dan kezhaliman. Konsep-konsep tersebut tidak terbatas pada umat manusia saja melainkan meluas pada semua makhluk-makhluk Tuhan yang lain serta lingkungan sekitarnya.

-          Konsep halal dan haram, yang bergerak atas ‘adl dan zhulm, menentukan reaksi sosial dan sifat tak bermanfaat dari aktifitas sains. Semua sains yang tak bermanfaat, merusak fisik, materi, emosi, budaya, lingkungan, rohani adalah haram. Sementara semua yang mendukung parameter-parameter kehidupan masyarakat dan lingkungan adalah halal. Jadi aktifitas ilmiah sains yang mendukung keadilan sosial dan mempertimbangkan kepentingan umum adalah halal, sementara sains dan teknologi yang mendorong pada dehumanisasi manusia, sikap konsumtif yang berlebihan dan penumpukkan kekayaan di tangan sejumlah kecil orang, pengangguran dan merusak keseimbangan ekologi adalah zhalim dan haram. Salah satu sains yang zhalim adalah sains yang merusak sumber daya alam dan manusia, lingkungan jasadi dan rohani serta pemborosan. Sains semacam itu karenanya dikategorikan sebagai dziya’ (pemborosan, merugikan).(Sardar,  1987: 161).

Melalui gagasan Sardar ini, barangkali paradigm “wahyu memandu ilmu” dapat menemukan bentuknya, yakni tidak sekadar pelabelan melainkan benar-benar ikut serta dalam proses perumusan ilmu bagi kehidupan.

(sebenarnya masih banyak wacana lain yang dapat kita diskusikan. Misalnya pemetaan hubungan agama dan pengetahuan menurut Ian G Barbour. Menurut Barbour relasi agama dan pengetahuan terjadi dalam empat varian: konflik, independen, dialog, dan integrasi. Kita diskusikan soal ke-4 varian ini pada minggu depan)

Masalah Kita

Paradigma Wahyu Memandu Ilmu harus kita rumuskan kembali agar tidak tinggal slogn. Salah satu pendorongnya adalah tesis Mohammad Naseem  berikut ini:

“Kebanyakan rakyat kita tidak mencintai Islam. PAda kenyataannya mereka bahkan tidak begitu mengenalnya. MEreka lebih sadar akan kebutuhan-kebutuhan hidup mereka daripada kehadiran Tuhan. Di masa kini, salahlah kalau kita mengadakan seruan Islam sebagaimana yang kita pahami. Seperti para Nabi Tuhan, kita harus mencari masalah-masalah hangat yang ada di depan kita dan membuka mata rakyat akan hak-hak yang telah diberikan oleh Tuhan kepada mereka yang harus mereka pertahankan, rasa aman yang ditawarkan oleh Tuhan kepada mereka yang harus mereka cari, dan janji yang diberikan oleh Than kepada mereka yang harus mereka usahakan untuk mereka dapatkan. Biarlah rakyat menyadari kehadiran Tuhan mula-mula lewat kebutuhan-kebutuhan dan kepentingan-kepentingan yang paling mudah mereka rasakan, dan dari sini mereka akan menjadi lebih tanggap akan perintah-perintahNya yang lain. Tapi meminta mereka untuk menerima seluruh keyakinan dan praktek agama ini akan membuat mereka menjauhkan diri, sebag kita tampaknya tidak memahami bahwa justru gambaran inilah yang mereka takuti. MEreka tidak mengenal Islam dan mereka lari karena takut akan sesuatu yang tidak mereka kenal” (“Surah al-Shaff: The Ranks –the obligations of an Islamic Society”, The Muslim jild 8, No. 4 [Januari-Februari, 1971], hl. 89-97).

Kemudian Ziauddin Sardar menambahkan:

“Para sarjana kita, pemimpin agama kita, tokoh intelektual kita, rakyat kita, semuanya tidak memahami Islam. Dengan memahami Islam yang kami maksud bukanlah kemampuan untuk menjelaskan hadits atau menuturkan urutan ritual  tertentu atau menyitir ayat-ayat al-Quran. Kita memahami Islam jika kita mampu melaksanakan konsep-konsepnya yang dinamis dan penuh semangat di tengah masyarakat masa kini. Dan jika kita mampu melakukan hal ini, kita dapat menyusun dan mencipatakan aturan social, ekonomi, dan politik bagi peradaban Muslim di masa mendatang” (The Future of Muslim Civilization, 1979, h. 96) [BAMBANG Q-ANEES]

[MARI KITA DISKUSIKAN PAPER INI, KEMUKAKAN PIKIRAN-PIKIRAN ANDA!]

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Filsafat Selengkapnya
Lihat Filsafat Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun