Sunan Gunung Djati-Pada zaman modern, tantangan serius yang menerjang daya tahan entitas kebudayaan, terutama kebudayaan lokal, seperti kebudayaan Sunda, adalah modernisasi dan globalisasi.
Selain kemampuan merespons tantangan zaman, kelangsungan kebudayaan juga sangat ditentukan fungsinya terhadap masyarakat. Dalam modernisasi yang makin gencar serta globalisasi yang makin kuat dan meraksasa, kebudayaan Sunda menghadapi problem yang sangat berat, yaitu terseret ke dalam kepunahan.
Sudah menjadi cerita lama bahwa bahasa Sunda adalah salah satu pelajaran yang tidak menarik dan dianggap kurang penting bagi para siswa. Minat siswa dan generasi muda pada umumnya terus berkurang. Karena problematika ini sudah muncul selama beberapa generasi, yang dirasakan kini adalah semakin langkanya guru bahasa Sunda yang memenuhi kualifikasi. Jumlah sastrawan Sunda, apalagi, sangat sedikit.
Di daerah urban, lingkungan masyarakat terdidik dan kelas menengah Jawa Barat, dewasa ini tumbuh subur desundanisasi bahasa, yaitu tren keluarga muda Sunda modern tidak menggunakan basa Sunda sebagai bahasa pengantar di lingkungan rumah dan keluarganya. Keluarga Sunda modern tidak berbahasa Sunda kepada anak-anaknya dan anak-anakya tidak berbahasa Sunda kepada teman-teman mereka. Mereka lebih memilih bahasa Indonesia yang dirasa lebih modern.
Di kalangan keluarga muda, ibu dan bapaknya menerapkan panggilan diri bagi anak-anaknya dengan papih-mamih, papa-mama, atau ayah-ibu. Tentu saja panggilan itu lebih bernuansa modern ketimbang abah-ambu, emih-apih, atau bapa-ema. Penggunaan basa Sunda, terutama yang halus, semakin lama semakin berkurang. Pada lingkungan pergaulan tertentu, seperti di hotel, kantor, pertemuan resmi, pesta, dan pertemuan elite lain, berbahasa Sunda cenderung dirasa kurang modern. Demikian juga di pusat-pusat perbelanjaan.
Sadar Sunda
Kita membutuhkan program besar, yaitu program sadar Sunda di masyarakat Jabar. Proses “kepunahan” bahasa Sunda ini selalu dialamatkan pada struktur basa Sunda yang feodal. Undak usuk basa Sunda dinilai sangat struktural, birokratis, dan feodal sehingga sulit dikuasai orang Sunda dari zaman ke zaman, apalagi oleh generasi muda yang terdidik dalam lingkungan pendidikan modern.
Undak usuk dirasa berseberangan dengan arus demokratisasi dan egalitarianisasi masyarakat. Sopan santun sebagai etika tentu saja harus tetap dipelihara, tetapi tidak dibingkai dan distrukturkan dalam semangat feodal. Inilah tugas besar yang mesti dipikirkan para inohong Sunda.
Pada aspek lain, kondisi kebudayaan Sunda yang memprihatinkan ditemukan pada sangat sedikitnya historiografi Sunda, baik yang ditulis orang Sunda sendiri, apalagi sejarawan asing, terutama bila dibandingkan dengan Jawa. Tampaknya eksistensi kebudayaan Sunda yang “kalah” ini kurang menarik minat sejarawan, terutama sejarawan asing, untuk mengungkap sejarah Sunda, seperti ketertarikan mereka yang luar biasa pada sejarah Jawa.
Dalam studi sejarah dan kebudayaan Jawa dikenal nama-nama kondang seperti Raffles, CC Berg, HJ De Graaf, Pigeaud, Teeuw, Ben Anderson, Emmerson, dan Clifford Geertz yang telah melahirkan karya-karya masterpiece tentang Jawa. Karya-karya mereka kini telah menjadi klasik. Literatur akademik tentang Jawa berbeda dengan Sunda, sangat banyak dan mudah didapat. Sekarang, syukur muncul Penerbit Kiblat yang banyak menerbitkan buku Sunda, tetapi masih didominasi karya sastra. Kajian akademik masih sulit ditemukan.
Miskinnya historiografi Sunda mengandung pesan historis bahwa sumbangan kelompok etnis ini pada sejarah dan kebudayaan nasional seolah kecil. Istilah kenegaraan yang diabadikan menjadi istilah nasional resmi, seperti pancasila, negara, bina graha, eka prasetya pancakarsa, sapta marga, istana, tut wuri handayani, dan tri dharma, dipandang sebagai sumbangan konsep Jawa dalam kebudayaan politik nasional.