Mohon tunggu...
Sunan Gunung Djati Blogger UIN SGD Bandung
Sunan Gunung Djati Blogger UIN SGD Bandung Mohon Tunggu... -

Sunan Gunung Djati adalah Harian Online Blogger Sunan Gunung Djati. Semula berawal dari Komunitas Blogger Kampus UIN SGD Bandung yang terbentuk pada tanggal 27 Desember 2007. Sejak 9 Februari 2009 dapat mengudara di Jagat Internet. Staff Redaksi: Pimpinan Umum: Ibn Ghifarie| Pimpinan Redaksi: Sukron Abdilah| Pengelola dan Keamanan Website: Badru Tamam Mifka, Zarin Givarian, Ahmad Mikail| Desain: Nur Azis| Kontributor Tetap: Pepih Nugraha (Senin-Ngeblog), Neng Hannah (Selasa-Gender), Bambang Q Anees (Rabu-Filsafat), Asep Salahudin (Kamis-Kesundaan), Afif Muhammad (Jumat-Teologi), ASM Romli (Sabtu-Media) Tim Susur Facebook: Cecep Hasanuddin, Reza Sukma Nugraha Tim Susur Blog: Amin R Iskandar, Jajang Badruzaman, Dasam Syamsudin, Dudi Rustandi. Seputar Redaksi: redaksi@sunangunungdjati.com Ayo Ngeblog, Ayo Berkarya! Selengkapnya klik www.sunangunungdjati.com

Selanjutnya

Tutup

Filsafat

Kota Sastra dan Wali Kota

1 April 2010   00:46 Diperbarui: 26 Juni 2015   17:04 249
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Filsafat. Sumber ilustrasi: PEXELS/Wirestock

Sunan Gunung Djati-Orang Jawa Barat hampir tak ada yang tidak pernah mendengar nama Martanegara. Minimal yang tidak paham sejarah, mereka mengenalnya sebagai nama dari salah satu jalan besar di Kota Bandung.

Tentu tidak sekadar dijadikan nama jalan, tetapi juga ada alasan yang melatarbelakanginya.

Martanagera yang nama lengkapnya Raden Adipati Aria Martanegara adalah Bupati Bandung kesepuluh (1893-1918) pengganti Raden Adipati Kusumadilaga yang pada saat meninggal dunia, pewarisnya Raden Muharram masih kecil, sehingga kekuasaan beralih sementara kepada Martanegara yang saat itu  menjadi patih Sukapura Kolot.

Garis keturunannya bukan dari trah Bandung, tetapi dari bangsawan Sumedang, cucu Pangeran Kornel, Bupati Sumedang (1791-1829) yang terkenal berani, teneung ludeung dan ngumawula ka wayahna, serta sempat ditulis sebagai latar roman sejarah oleh H. Memed Sastrahadiprawira (1928). Ibunya adalah Raden Tejamirah, putri dalem Tumenggung Suriadilaga yang sempat menjadi pejabat di Kabupaten Sumedang.

Tentu saja peralihan dari Bupati Bandung yang wafat kepada bukan anak daerah walaupun masih dari keturunan bangsawan, tidaklah berjalan mulus. Isu dan sentimentalisme kedaerahan yang dibalut dengan nafsu kekuasaan dan bagi-bagi jabatan diembuskan untuk mengempaskan Martanegara.

Negarawan

Namun akhirnya Martanegara mampu membuktikan kualitas dirinya. Selama memangku jabatan bupati 25 tahun 4 bulan sebelum akhirnya wafat pada usia 81 tahun, ia banyak menorehkan prestasi bagi pengembangan Kota Bandung sehingga banyak penghargaan yang diberikan kepadanya seperti Gelar Aria, Gelar Adipati, Bintang Mas, titel Demang, Rangga, dan Payung Kebesaran.

Martanegara dengan sukses membuktikan dirinya sebagai negarawan. Bukan penguasa.

Ada banyak keberhasilan yang ditorehkannya sebagai cermin kenegarawanan, sebagaimana ditulis Nina Lubis (2000) yang pada masanya sangat visioner: 1) mengganti rumah penduduk yang beratapkan ilalang dengan genting yang dibuat secara mandiri. 2) Swasembada singkong di samping untuk konsumsi di masa paceklik juga untuk memenuhi pasar Eropa. 3) Menyaer rawa-rawa dijadikan areal persawahan, kolam ikan, dan perumahan penduduk. 4) Penataan irigasi, menggerakkan penduduk Lebak Gede untuk memperbaiki saluran Sungai Cikapundung dan Cikakak sementara di daerah Gunung Halu dibuatkan irigasi ”selokan dalam”. 5) Untuk menggali aspirasi masyarakatnya, Martanagera kerap kali turun ke bawah, mengarungi sawah, ladang, sungai, bahkan tidak segan-segan tidur di saung penduduk sehingga Martanegara tahu kebijakan yang harus diambil, kebutuhan yang diperlukan masyarakat dan pekerjaan yang mesti diprioritaskan sehingga tidak terjadi kebijakan yang tumpang tindih dan pekerjaan yang moro julang ngalepaskeun pesing. 6) Memerhatikan kepentingan kaum perempuan seperti dukungan  penuh terhadap perjuangan dan lembaga pendidikan perempuan yang didirikan Dewi Sartika di samping mendirikan lembaga pemberi beasiswa (Het Menakfonds) untuk membantu siswa pribumi cerdas.

Yang lebih menakjubkan, Martanegara  memiliki perhatian terhadap perkembangan budaya dan sastra.

Bandung kini

Membaca Bandung hari ini adalah membaca kawasan yang sudah heurin ku tangtung. Sekian kebijakan dikeluarkan dan nyaris tidak memiliki korelasi positif dengan kehendak untuk membangun kota yang berkeadaban. Mal dan outlet berdiri serampangan. Kebersihan Cikapundung hanya jadi konsumsi politik yang tidak memiliki kesinambungan. Pohon-pohon tua ditumbangkan demi memberikan ruang bagi pelebaran jalan aspal untuk memfasilitasi mobil yang kian memacetkan. Jika hujang datang, banjir cileuncang siap menerkam.

Kota budaya hanya sekadar retorika dan andai pun ada hanya dipahami sebatas pariwisata yang ujung-ujung ngagugulukeun benda. Kerja ekspektasi nalar dan akal budi sudah tidak mendapatkan tempat dalam mata anggaran bahkan di mata wali kota jauh lebih terhormat memenangkan klub sepak bola atau membiayai KONI dengan prestasi yang tidak kunjung melejit.

Belum lagi bicara ihwal penyelenggara kotanya yang dinobatkan sebagai kota dengan birokrasi yang bobrok, ditengarai dengan pelayanan yang jauh dari prima. Kalau dahulu ada uga yang memprediksi tentang Sumedang ngarangrangan, maka sesungguhnya saat ini kota yang kita cintai ini yang sedang diterjang kondisi ngarangrangan.

Alhasil, Martangera bukan sekadar nama dari salah satu jalan, tetapi dia juga adalah monumen yang menjangkarkan tonggak ihwal keadaban suatu kota. Nama yang mendesakkan kesadaran tentang bagaimana kota dikelola dengan rencana yang matang. Martanegara juga memantikkan nilai pentingnya rasa dan estetika dilibatkan ketika ngolah negara agar terwujud: hurip gustina waras abdina rea harta rea harti rea ketan rea keton.***

ASEP SALAHUDIN, pengamat kebudayaan Sunda, kandidat doktor Unpad, Bandung.  [Pikiran Rakyat, 1 April 2010]

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Filsafat Selengkapnya
Lihat Filsafat Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun