Mohon tunggu...
Sunan Gunung Djati Blogger UIN SGD Bandung
Sunan Gunung Djati Blogger UIN SGD Bandung Mohon Tunggu... -

Sunan Gunung Djati adalah Harian Online Blogger Sunan Gunung Djati. Semula berawal dari Komunitas Blogger Kampus UIN SGD Bandung yang terbentuk pada tanggal 27 Desember 2007. Sejak 9 Februari 2009 dapat mengudara di Jagat Internet. Staff Redaksi: Pimpinan Umum: Ibn Ghifarie| Pimpinan Redaksi: Sukron Abdilah| Pengelola dan Keamanan Website: Badru Tamam Mifka, Zarin Givarian, Ahmad Mikail| Desain: Nur Azis| Kontributor Tetap: Pepih Nugraha (Senin-Ngeblog), Neng Hannah (Selasa-Gender), Bambang Q Anees (Rabu-Filsafat), Asep Salahudin (Kamis-Kesundaan), Afif Muhammad (Jumat-Teologi), ASM Romli (Sabtu-Media) Tim Susur Facebook: Cecep Hasanuddin, Reza Sukma Nugraha Tim Susur Blog: Amin R Iskandar, Jajang Badruzaman, Dasam Syamsudin, Dudi Rustandi. Seputar Redaksi: redaksi@sunangunungdjati.com Ayo Ngeblog, Ayo Berkarya! Selengkapnya klik www.sunangunungdjati.com

Selanjutnya

Tutup

Filsafat

Kota Sastra dan Wali Kota

1 April 2010   00:46 Diperbarui: 26 Juni 2015   17:04 249
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Filsafat. Sumber ilustrasi: PEXELS/Wirestock

Bandung kini

Membaca Bandung hari ini adalah membaca kawasan yang sudah heurin ku tangtung. Sekian kebijakan dikeluarkan dan nyaris tidak memiliki korelasi positif dengan kehendak untuk membangun kota yang berkeadaban. Mal dan outlet berdiri serampangan. Kebersihan Cikapundung hanya jadi konsumsi politik yang tidak memiliki kesinambungan. Pohon-pohon tua ditumbangkan demi memberikan ruang bagi pelebaran jalan aspal untuk memfasilitasi mobil yang kian memacetkan. Jika hujang datang, banjir cileuncang siap menerkam.

Kota budaya hanya sekadar retorika dan andai pun ada hanya dipahami sebatas pariwisata yang ujung-ujung ngagugulukeun benda. Kerja ekspektasi nalar dan akal budi sudah tidak mendapatkan tempat dalam mata anggaran bahkan di mata wali kota jauh lebih terhormat memenangkan klub sepak bola atau membiayai KONI dengan prestasi yang tidak kunjung melejit.

Belum lagi bicara ihwal penyelenggara kotanya yang dinobatkan sebagai kota dengan birokrasi yang bobrok, ditengarai dengan pelayanan yang jauh dari prima. Kalau dahulu ada uga yang memprediksi tentang Sumedang ngarangrangan, maka sesungguhnya saat ini kota yang kita cintai ini yang sedang diterjang kondisi ngarangrangan.

Alhasil, Martangera bukan sekadar nama dari salah satu jalan, tetapi dia juga adalah monumen yang menjangkarkan tonggak ihwal keadaban suatu kota. Nama yang mendesakkan kesadaran tentang bagaimana kota dikelola dengan rencana yang matang. Martanegara juga memantikkan nilai pentingnya rasa dan estetika dilibatkan ketika ngolah negara agar terwujud: hurip gustina waras abdina rea harta rea harti rea ketan rea keton.***

ASEP SALAHUDIN, pengamat kebudayaan Sunda, kandidat doktor Unpad, Bandung.  [Pikiran Rakyat, 1 April 2010]

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Filsafat Selengkapnya
Lihat Filsafat Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun