Bandung kini
Membaca Bandung hari ini adalah membaca kawasan yang sudah heurin ku tangtung. Sekian kebijakan dikeluarkan dan nyaris tidak memiliki korelasi positif dengan kehendak untuk membangun kota yang berkeadaban. Mal dan outlet berdiri serampangan. Kebersihan Cikapundung hanya jadi konsumsi politik yang tidak memiliki kesinambungan. Pohon-pohon tua ditumbangkan demi memberikan ruang bagi pelebaran jalan aspal untuk memfasilitasi mobil yang kian memacetkan. Jika hujang datang, banjir cileuncang siap menerkam.
Kota budaya hanya sekadar retorika dan andai pun ada hanya dipahami sebatas pariwisata yang ujung-ujung ngagugulukeun benda. Kerja ekspektasi nalar dan akal budi sudah tidak mendapatkan tempat dalam mata anggaran bahkan di mata wali kota jauh lebih terhormat memenangkan klub sepak bola atau membiayai KONI dengan prestasi yang tidak kunjung melejit.
Belum lagi bicara ihwal penyelenggara kotanya yang dinobatkan sebagai kota dengan birokrasi yang bobrok, ditengarai dengan pelayanan yang jauh dari prima. Kalau dahulu ada uga yang memprediksi tentang Sumedang ngarangrangan, maka sesungguhnya saat ini kota yang kita cintai ini yang sedang diterjang kondisi ngarangrangan.
Alhasil, Martangera bukan sekadar nama dari salah satu jalan, tetapi dia juga adalah monumen yang menjangkarkan tonggak ihwal keadaban suatu kota. Nama yang mendesakkan kesadaran tentang bagaimana kota dikelola dengan rencana yang matang. Martanegara juga memantikkan nilai pentingnya rasa dan estetika dilibatkan ketika ngolah negara agar terwujud: hurip gustina waras abdina rea harta rea harti rea ketan rea keton.***
ASEP SALAHUDIN, pengamat kebudayaan Sunda, kandidat doktor Unpad, Bandung. [Pikiran Rakyat, 1 April 2010]
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H