Mohon tunggu...
Sunan Gunung Djati Blogger UIN SGD Bandung
Sunan Gunung Djati Blogger UIN SGD Bandung Mohon Tunggu... -

Sunan Gunung Djati adalah Harian Online Blogger Sunan Gunung Djati. Semula berawal dari Komunitas Blogger Kampus UIN SGD Bandung yang terbentuk pada tanggal 27 Desember 2007. Sejak 9 Februari 2009 dapat mengudara di Jagat Internet. Staff Redaksi: Pimpinan Umum: Ibn Ghifarie| Pimpinan Redaksi: Sukron Abdilah| Pengelola dan Keamanan Website: Badru Tamam Mifka, Zarin Givarian, Ahmad Mikail| Desain: Nur Azis| Kontributor Tetap: Pepih Nugraha (Senin-Ngeblog), Neng Hannah (Selasa-Gender), Bambang Q Anees (Rabu-Filsafat), Asep Salahudin (Kamis-Kesundaan), Afif Muhammad (Jumat-Teologi), ASM Romli (Sabtu-Media) Tim Susur Facebook: Cecep Hasanuddin, Reza Sukma Nugraha Tim Susur Blog: Amin R Iskandar, Jajang Badruzaman, Dasam Syamsudin, Dudi Rustandi. Seputar Redaksi: redaksi@sunangunungdjati.com Ayo Ngeblog, Ayo Berkarya! Selengkapnya klik www.sunangunungdjati.com

Selanjutnya

Tutup

Filsafat

Membaca Ayat-ayat Banjir

17 Februari 2010   01:21 Diperbarui: 26 Juni 2015   17:53 1610
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Sunan Gunung Djati-Banjir yang menerjang beberapa daerah di Indonesia, termasuk cileuncang di Kota Bandung, semestinya melecut diri kita sejenak untuk merenungi ihwal relasi dengan alam sekitar.

Betul, bahwa banjir merupakan fenomena alam yang sering terjadi ketika musim hujan tiba. Namun, tak salah kiranya jika kita terus berupaya meminimalisasi dengan segala daya upaya guna meredamnya, karena kita adalah manusia berpikir.

Manusia yang terus mencoba memikirkan ulang tentang bentuk relasi dengan alam sekitar. Dalam ajaran agama Islam, itu merupakan pertanda berfungsinya sisi kemanusiaan sekaligus keilahian dalam diri.

Di dalam Alquran, banjir pernah menelan korban jiwa kaum ‘Ad, negeri Saba’ dan kaumnya Nabi Nuh. Peristiwa ini dapat kita telaah dalam beberapa ayat Alquran di antaranya Surah Hud ayat 32—49, Surah al-A’raf ayat 65—72, dan Surah Saba ayat 15—16. Secara teologis, awal timbulnya banjir tersebut karena pembangkangan umat manusia pada ajaran Tuhan yang coba disampaikan para nabi. Namun, secara ekologis, bencana tersebut bisa diakibatkan ketidakseimbangan dan disorientasi manusia ketika memperlakukan alam sekitar.

Kemudian, kita gusur pada konteks kekinian. Longsornya sebuah benteng di sekitar perumahan elite di Kota Bandung misalnya, tentunya karena para pembangun tidak melihat ke depan (tidak visioner). Nafsu keduniawian mengalahkan kepentingan publik, sehingga daerah rawan longsor menjadi kompleks perumahan elite. Parahnya lagi, longsoran tanah tersebut sekarang menimpa rumah warga sehingga menelan korban jiwa dengan kerugian material yang tak sedikit. Betul juga apa yang terkandung dalam Alquran, “Bukanlah Kami yang menganiaya mereka, tetapi merekalah yang menganiaya diri mereka sendiri, (disebabkan) citra (kondisi) lingkungan mereka tidak mampu menolong di saat banjir, bahkan mereka semakin terpuruk dalam kehancuran”. (Q.S. Hud: 101).

Setiap agama, khususnya Islam, tentu saja mengemban misi suci dalam setiap gerakannya. Semua lini kehidupan mesti mendapat perhatian dari aktivis dakwah Islam agar mendapatkan keberkahan dari-Nya (baldatun thayyibatun wa rabbun ghafur). Tak terkecuali dengan lingkungan hidup sekitar kita. Jangan kalah dengan warga Barat, yakni mereka menghargai hak asasi binatang karena memahami bahwa antara manusia dan hewan dan alam memiliki hubungan yang saling terkait. Bahkan, di Jerman pernah ada tuntutan kepada orang yang membunuh tiga ekor ikan ketika sedang mengikuti acara reality show.

Hewan, alam, dan manusia merupakan “trias kehidupan” yang mesti melandasi relasi hidup dengan penghargaan. Bukankah, ketika kita sakit demam berdarah, sang dokter akan memberikan resep obat yang terbuat dari bahan-bahan yang dihasilkan alam? Doktrin Islam pun mengajarkan, hidup tak boleh dihiasi dengan laku eksploitatif dan merusak (wa laa tufsidu fi al-ardh). Termasuk ketika kita berinteraksi dengan lingkungan sekitar. Selokan, seharusnya tak dipenuhi sampah yang menggunung, pembangunan gedung atau perumahan mesti menggunakan analisis dampak lingkungan (amdal), dan kawasan yang rawan bencana mestinya dilindungi oleh pemangku jabatan.

Hukum sebab akibat ternyata tak dipatri dalam jiwa umat manusia. Ada saluran mampat dengan sampah bejibun, tentunya akan berakibat pada meluapnya aliran pada saluran air itu. Namun, hal ini tak membuat jera umat manusia membuang sampah ke sungai, sehingga yang terjadi adalah terulangnya banjir di sejumlah daerah. Utamanya bagi masyarakat perkotaan seperti Kota Bandung. Banjir lebih banyak diinisiasi oleh perilaku tak terpuji dengan merusak keseimbangan ekosistem sekitar. Oleh karena itulah, eksistensi penyeru (dai) ramah lingkungan di tengah bencana alam yang kerap terjadi di musim hujan ini, merupakan keniscayaan tak nisbi.

Paulo Coelho, dalam novel bertajuk The Alcemist, mengisyaratkan pentingnya menangkap tanda-tanda alam. Untuk dapat bertahan di tengah-tengah gurun padang pasir, sang Alkemis mesti dapat melihat kehidupan di balik burung rajawali yang terbang di langit. Untuk mencari hewan yang dapat dimakan, sang Alkemis harus dapat membaca gejala-gejala alam, yakni burung rajawali yang terbang di langit sedang mengincar mangsanya (ular). Ketika seorang pengembara mampu membaca tanda-tanda alam tersebut, ia bakal mampu survive di tengah ganasnya padang pasir.

Terma ayaatina (ayat-ayat Kami) dalam Alquran tak hanya memiliki arti ayat-ayat tertulis, tetapi lebih luas lagi, yakni meliputi ayat-ayat yang yang menghampar di lingkungan sekitar. Banjir yang disebutkan dalam Alquran, meskipun tak menyebutkan secara spesifik penyebab ekologis terjadinya banjir, itu bukan berarti Islam menghalalkan perusakan lingkungan hidup. Justru ketika tidak disebutkan secara spesifik, mengindikasikan umat manusia dapat melakukan penafsiran yang bersifat ekologis. Dalam pendekatan ini, banjir, termasuk cileuncang di Kota Bandung, tak sekadar dipahami sebagai musibah atau azab dari Tuhan, melainkan juga gejala kesakitan ekologis yang diakibatkan manusia tak mengikuti hukum Tuhan.

Ingat, Dia (Allah) menciptakan bumi beserta kehidupan dalam sebuah keteraturan (ekuilibrium). Oleh karena itu, ketika manusia merusak keteraturan tersebut, efek samping akan berubah menjadi musibah. Dan, sudah dapat dipastikan apabila musibah tersebut berasal dari lampah manusia yang eksploitatif terhadap alam sekitar, tepat rasanya kalau disebut sebagai azab. Namun, bagaimana dengan kebijakan pemerintah yang tak bisa menyediakan pengelolaan lingkungan? Siapakah yang akan menanggung dosanya? Warga korban banjir ataukah sang pemimpin?

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Filsafat Selengkapnya
Lihat Filsafat Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun