Sunan Gunung Djati-Nilai-nilai simbolis berupa suluk (moto) Ki Sunda tampaknya patut direvitalisasi melalui cara pandang yang revolusioner namun lentur.
Selama ini kita kadung beranggapan bahwa istilah “revolusi” adalah sesuatu yang mengundang alergi di sebagian kalangan. Sebagaimana kata provokasi yang selalu berkonotasi negatif, begitu juga dengan kata revolusi.
Padahal, sadar atau tidak, disengaja atau tidak, peradaban dan perubahan justru dicatat melalui revolusi dan provokasi, baik dalam skala tataran cara pandang maupun dalam implementasi kinestetis.
Boleh jadi kealergian inilah yang menjadi sandungan sehingga Ki Sunda cenderung enggan melakukan revolusi (melalui revolusi pemikiran ataupun dalam aksi). Entah karena rasa inferior atau karena lebih memilih untuk menjadi bagian dari tatanan yang mapan. Ini cenderung menjadi gejala di kalangan elite. Sementara di kalangan bawah (masyarakat Sunda pada umumnya) mereka tidak begitu menaruh harapan akan terjadinya perubahan melalui kinerja elite.
Sebagai bahan pemikiran dan renungan bersama, misalkan, apakah sudah ada keberpihakan elite Sunda di bidang ekonomi, umpamanya saja, mereka (para elite) membuat suatu bank yang khusus untuk membantu persoalan ekonomi masyarakat Sunda? Atau, misalkan, apakah ada elite Sunda yang bisa dijadikan pamuntangan bagi masyarakat Sunda ketika sedang dililit persoalan keuangan? Begitu juga di bidang pertanian, perikanan, perumahan, dan sebagainya.
Untuk skala kesenian, memang cukup menggembirakan. Pemda, termasuk elite Sunda, sering kali bisa dijadikan pamuntangan ketika harus ada satu pergelaran. Untuk skala diskusi, seminar, sarasehan, diskusi panel, memang sudah ada beberapa pihak, termasuk pemda dan institusi pendidikan tinggi, yang bersedia menjadi “sponsor” dalam konteks waragad. Akan tetapi di luar itu, khususnya ketika berkaitan dengan kepentingan masyarakat Sunda pada umumnya, apakah sudah ada elite yang bersedia menjadi pamuntangan dan panyalindungan bagi masyarakat Sunda?
Itulah sebabnya, sudah saatnya ada revolusi suluk Ki Sunda: “Sunda zikir” (bertuhan beragama), “Sunda mikir” (intelektualitas), “Sunda ngukir” (perjuangan melalui kreativitas-inovasi). Ketiga suluk ini berpijak dan bertujuan untuk perkara ketuhanan dan kemanusiaan sebagai amparan untuk menegakkan eksistensi diri dalam arus perubahan.
“Sunda zikir”
Bertuhan harus menjadi konsentrasi Ki Sunda tanpa harus ribut (berdebat) soal beragama. Sebab, jika Ki Sunda konsentrasinya kepada bertuhan maka persoalan how to bertuhan menjadi domain sewang-sewangan. Setiap Ki Sunda memiliki hak yang sama untuk menentukan pilihannya di dalam “cara” bertuhan. Frase zikir di sini tidak selalu harus dikaitkan dengan salah satu agama sebab pengertian zikir dalam tulisan ini adalah “mengingat Tuhan”.
Artinya, ada kesadaran spiritual bahwa Tuhan bukan saja ada tetapi Tuhan adalah sumber dari segala-galanya. Jika kita bertuhan maka otomatis posisi Ki Sunda adalah makhluk, dan kalau sudah ada kesadaran bahwa dirinya makhluk maka otomatis ia tunduk kepada Tuhan sebagai Sang Maha Pencipta.
Tidak berhenti dalam kesadaran selaku manusia, sebab banyak manusia yang tidak mau tunduk kepada ketentuan Tuhan. Koruptor, misalnya, ia tentu manusia beragama, tetapi kelakuannya tidak mencerminkan sebagai makhluk yang bertuhan.
Jika Ki Sunda memilih menjadi makhluk maka ia harus taat kepada khalik (pencipta). Kalau Ki Sunda masih sebatas sebagai manusia maka tidak menutup kemungkinan Ki Sunda akan me-nuhankan akalnya, logikanya, empirikalnya, cara pandangnya, harta kekayaannya, jabatannya, dan seterusnya. Bukti bahwa Ki Sunda “zikir” adalah apabila ucapan dan perilakunya (ucap-lampah-tekad-paripolah) berkhidmat kepada Tuhan. Menuhankan Tuhan, bukan dan tidak menuhankan yang lainnya.
“Sunda mikir”
Intelektualitas memang bukan Tuhan, namun ia adalah salah satu instrumen untuk bertuhan. Kenyataannya, tidak sedikit dari Ki Sunda kiwari yang bertuhan berdasarkan intelektualitas (menghitung segala sesuatu dengan merujuk kepada rasio). Rujukan utamanya bukan lagi ketentuan Tuhan, melainkan nalarnya. Ini tentu berbahaya.
Sunda mikir tentu memiliki dua jangkar utama. Pertama dalam konteks bertuhan, dan kedua dalam konteks kemanusiaan. Tidak dipisahkan, melainkan sinergi-simultan. Ini tentu butuh terobosan yang besifat revolusioner. Sebab, selama ini selalu saja Ki Sunda memilah domain ketuhanan dan kemanusiaan. Padahal, dalam perspektif revolusi berpikir, ketuhanan dan kemanusiaan adalah satu paket, yang hanya bisa dibedakan tetapi tidak boleh dipisahkan. Mikir kritis tentu harus didahulukan sebelum berpikir pragmatis. Copelna kudu saimbang. Sebagaimana berpikir imateriil dan materiil.
Tampaknya terlalu besar untuk berbakti kepada nusa dan bangsa. Tidak kecil pula berbakti untuk masyarakat Sunda pada umumnya. Rasanya, kita berbakti saja terlebih dahulu untuk diri dan keluarga masing-masing. Nete taraje nincak hambalan. Hanas nu gede dipikiran ari nu leutik ka luli-luli. Tampaknya kita masih bisa bersepakat bahwa fondasi lebih utama ketimbang hal lainnya. Setelah fondasinya kokoh tentu leluasa berkiprah di tingkat yang lebih luas. Mikir soal diri nu sakieu leutikna. Mikir kalakukan nu batan sakieu nircana. Resep make topeng, jeng saterusna.
“Sunda ngukir”
Palire-piara nilai-nilai lama yang masih sesuai dengan semangat zaman, serta ciptakan nilai-nilai baru yang lebih baik. Kira-kira seperti itulah pesan moral karuhun Sunda. Itulah semangat mengukir sejarah untuk kemanusiaan. Kalau dulu ada semangat mengusir penjajah kemudian disusul oleh semangat mengisi kemerdekaan serta meneruskannya dengan semangat membangun ibu pertiwi maka tentu semangat pergerakannya harus tetap dipelihara.
Tentu semangat tersebut harus dilanjutkan oleh mempertahankan prestasi dan mengembangkannya. “Mengukir” di sini pada bidang garapan sesuai dengan kapasitas, potensi, dan kompetensi masing-masing tanpa harus pacoro kokod. Peribahasa saha deui nu rek ngaronjatkeun ajen inajen urang Sunda mun lain urang Sundana sorangan, tampak jelas merupakan moto yang masih sesuai dengan semangat zaman. Inilah titik dan pedal kuantum yang harus dilesatkan secara bersama-sama, baik di tingkat elite maupun di lapisan bawah, baik secara vertikal maupun horizontal.
Seyogianya, Ki Sunda memiliki energi revolusi dalam hal mengukir prestasi sehingga inovasi terus bergulir. Tidak dalam bungkus kesukuan, tidak dalam esensi kedaerahan, melainkan dalam semangat keindonesiaan di mana Ki Sunda sanggup memberi warna dan rasa bagi perjalanan negara Indonesia yang kita cintai ini.
Revolusi tidak selalu harus diterjemahkan secara negatif. Pada arus revolusi ada semangat pembaharuan yang memang menjadi amanat konstitusi. Revolusi lentur yang kecepatan pembaruannya tetap terjaga namun dilaksanakan secara beradab, sehingga sanggup mengelola keragaman dalam kebersamaan secara efektif dan santun. (Wawan Gunawan, dosen tetap STMIK Jabar)***
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H