Mohon tunggu...
Sunan Gunung Djati Blogger UIN SGD Bandung
Sunan Gunung Djati Blogger UIN SGD Bandung Mohon Tunggu... -

Sunan Gunung Djati adalah Harian Online Blogger Sunan Gunung Djati. Semula berawal dari Komunitas Blogger Kampus UIN SGD Bandung yang terbentuk pada tanggal 27 Desember 2007. Sejak 9 Februari 2009 dapat mengudara di Jagat Internet. Staff Redaksi: Pimpinan Umum: Ibn Ghifarie| Pimpinan Redaksi: Sukron Abdilah| Pengelola dan Keamanan Website: Badru Tamam Mifka, Zarin Givarian, Ahmad Mikail| Desain: Nur Azis| Kontributor Tetap: Pepih Nugraha (Senin-Ngeblog), Neng Hannah (Selasa-Gender), Bambang Q Anees (Rabu-Filsafat), Asep Salahudin (Kamis-Kesundaan), Afif Muhammad (Jumat-Teologi), ASM Romli (Sabtu-Media) Tim Susur Facebook: Cecep Hasanuddin, Reza Sukma Nugraha Tim Susur Blog: Amin R Iskandar, Jajang Badruzaman, Dasam Syamsudin, Dudi Rustandi. Seputar Redaksi: redaksi@sunangunungdjati.com Ayo Ngeblog, Ayo Berkarya! Selengkapnya klik www.sunangunungdjati.com

Selanjutnya

Tutup

Filsafat

Revolusi Lentur Suluk Ki Sunda

22 Januari 2010   03:30 Diperbarui: 26 Juni 2015   18:20 515
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Filsafat. Sumber ilustrasi: PEXELS/Wirestock

Jika Ki Sunda memilih menjadi makhluk maka ia harus taat kepada khalik (pencipta). Kalau Ki Sunda masih sebatas sebagai manusia maka tidak menutup kemungkinan Ki Sunda akan me-nuhankan akalnya, logikanya, empirikalnya, cara pandangnya, harta kekayaannya, jabatannya, dan seterusnya. Bukti bahwa Ki Sunda “zikir” adalah apabila ucapan dan perilakunya (ucap-lampah-tekad-paripolah) berkhidmat kepada Tuhan. Menuhankan Tuhan, bukan dan tidak menuhankan yang lainnya.

“Sunda mikir”

Intelektualitas memang bukan Tuhan, namun ia adalah salah satu instrumen untuk bertuhan. Kenyataannya, tidak sedikit dari Ki Sunda kiwari yang bertuhan berdasarkan intelektualitas (menghitung segala sesuatu dengan merujuk kepada rasio). Rujukan utamanya bukan lagi ketentuan Tuhan, melainkan nalarnya. Ini tentu berbahaya.

Sunda mikir tentu memiliki dua jangkar utama. Pertama dalam konteks bertuhan, dan kedua dalam konteks kemanusiaan. Tidak dipisahkan, melainkan sinergi-simultan. Ini tentu butuh terobosan yang besifat revolusioner. Sebab, selama ini selalu saja Ki Sunda memilah domain ketuhanan dan kemanusiaan. Padahal, dalam perspektif revolusi berpikir, ketuhanan dan kemanusiaan adalah satu paket, yang hanya bisa dibedakan tetapi tidak boleh dipisahkan. Mikir kritis tentu harus didahulukan sebelum berpikir pragmatis. Copelna kudu saimbang. Sebagaimana berpikir imateriil dan materiil.

Tampaknya terlalu besar untuk berbakti kepada nusa dan bangsa. Tidak kecil pula berbakti untuk masyarakat Sunda pada umumnya. Rasanya, kita berbakti saja terlebih dahulu untuk diri dan keluarga masing-masing. Nete taraje nincak hambalan. Hanas nu gede dipikiran ari nu leutik ka luli-luli. Tampaknya kita masih bisa bersepakat bahwa fondasi lebih utama ketimbang hal lainnya. Setelah fondasinya kokoh tentu leluasa berkiprah di tingkat yang lebih luas. Mikir soal diri nu sakieu leutikna. Mikir kalakukan nu batan sakieu nircana. Resep make topeng, jeng saterusna.

“Sunda ngukir”

Palire-piara nilai-nilai lama yang masih sesuai dengan semangat zaman, serta ciptakan nilai-nilai baru yang lebih baik. Kira-kira seperti itulah pesan moral karuhun Sunda. Itulah semangat mengukir sejarah untuk kemanusiaan. Kalau dulu ada semangat mengusir penjajah kemudian disusul oleh semangat mengisi kemerdekaan serta meneruskannya dengan semangat membangun ibu pertiwi maka tentu semangat pergerakannya harus tetap dipelihara.

Tentu semangat tersebut harus dilanjutkan oleh mempertahankan prestasi dan mengembangkannya. “Mengukir” di sini pada bidang garapan sesuai dengan kapasitas, potensi, dan kompetensi masing-masing tanpa harus pacoro kokod. Peribahasa saha deui nu rek ngaronjatkeun ajen inajen urang Sunda mun lain urang Sundana sorangan, tampak jelas merupakan moto yang masih sesuai dengan semangat zaman. Inilah titik dan pedal kuantum yang harus dilesatkan secara bersama-sama, baik di tingkat elite maupun di lapisan bawah, baik secara vertikal maupun horizontal.

Seyogianya, Ki Sunda memiliki energi revolusi dalam hal mengukir prestasi sehingga inovasi terus bergulir. Tidak dalam bungkus kesukuan, tidak dalam esensi kedaerahan, melainkan dalam semangat keindonesiaan di mana Ki Sunda sanggup memberi warna dan rasa bagi perjalanan negara Indonesia yang kita cintai ini.

Revolusi tidak selalu harus diterjemahkan secara negatif. Pada arus revolusi ada semangat pembaharuan yang memang menjadi amanat konstitusi. Revolusi lentur yang kecepatan pembaruannya tetap terjaga namun dilaksanakan secara beradab, sehingga sanggup mengelola keragaman dalam kebersamaan secara efektif dan santun. (Wawan Gunawan, dosen tetap STMIK Jabar)***

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Filsafat Selengkapnya
Lihat Filsafat Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun