Sunan Gunung Djati-Bulan Dzulhijjah pada masyarakat Sunda Jawa Barat dikenal dengan nama Bulan Rayagung selain Bulan Haji
Penamaan bulan Rayagung nampaknya diambil dari kata ’hari raya yang agung’ atau hari raya besar, karena memang pada bulan ini umat Islam selain merayakan Hari Raya Iedul Adha juga bulan berangkat berhaji ke tanah suci Mekkah dan Medinah.
Pada bulan ini, kampung-kampung di pedesaan masyarakat Sunda diramaikan dengan banyaknya pasangan pengantin yang menikah dengan harapan mengambil moment yang agung di bulan Rayagung.
Berbeda dengan bulan Zulkaedah yang terkenal dengan sebutan ’Bulan Hapit’ dimana sangat sedikit masyarakat Sunda yang melaksanakan pesta hajatan, baik pernikahan maupun khitanan.
Bulan ’Hapit’ nampaknya diambil dari kata ’terjepit’ karena memang bulan ini berada diantara dua bulan yang berisi hari raya besar yaitu Iedul Fitri (bulan Syawwal) dan Iedul Adha (Dzulhijjah). Bulan terjepit ini dipandang kurang baik untuk acara-acara besar seperti pernikahan dan khitanan.
Bulan Dzulhijjah dianggap ’Agung’ dan terhormat karena dalam tradisi masyarakat Sunda orang yang sudah naik haji, yang tentunya dilaksanakan pada bulan Rayagung, dipandang sebagai orang yang lebih terhormat dibandingkan anggota masyarakat lainnya yang belum berhaji.
Tradisi menganggap status sosial orang yang sudah naik haji lebih tinggi nampaknya bukan hanya ada dalam tradisi Sunda bahkan masyarakat lainnya di Indonesia.
Tak heran kalau sebutan ’Pak Haji dan Bu Haji’ menjadi cukup sakral dan mempunyai makna prestise tersendiri bagi anggota masyarakat yang menyandangnya.
Karenanya, orang-orang di kampung sangat antusias untuk bisa berangkat haji.
Selain termotivasi untuk ibadah menyempurnakan rukun Islam yang kelima, berangkat haji secara tidak langsung juga berpengaruh terhadap status sosial di kampung bagi orang yang menunaikannya.
Tak heran kalau berangkat ke Mekkah, menjadi impian bagi orang-orang di kampung. Mereka tak segan-segan untuk menabung bertahun-tahun supaya mampu membayar ongkos naik haji yang nilainya puluhan juta itu.
Malah dalam catatan Prof. Martin van Brunissen, pada tahun 1920-an hampir 40 peratus dari semua jemaah haji yang berangkat ke Mekkah berasal dari Indonesia.
Permasalahannya, banyak orang kampung yang terlalu memaksakan diri ingin naik haji tanpa perhitungan yang matang. Padahal naik haji hanya diwajibkan bagi orang yang mampu.
Masih banyak orang kampung yang beranggapan bahwa berangkat menunaikan ibadah haji adalah segalanya.
Tak heran kalau masih ada orang tua yang memaksakan untuk naik haji dengan biaya tinggi dan lupa membiayai anaknya mendapatkan pendidikan yang baik.
Padahal berinvestasi memberikan bekal pendidikan tinggi kepada anak tidak kalah pentingnya dengan mengejar ambisi pribadi ingin naik haji.
Tentunya bisa naik haji dan juga bisa menyekolahkan anak ke jenjang yang lebih tinggi sekaligus akan lebih bagus.
Beruntungnya, pemerintah Indonesia menghimbau masyarakat untuk hanya naik haji satu kali sahaja seumur hidup. Jika tidak dibatasi, masih banyak masyarakat yang ingin naik haji berkali-kali.
Nampaknya, lebih baik uangnya digunakan untuk bersedekah membantu anak yatim dan faqir miskin daripada digunakan untuk naik haji kedua kalinya.
Malah ada yang rela sampai menjual tanah sawah hanya untuk bisa membayar ongkos pergi ke Mekkah, padahal tanah itu satu-satunya sumber penghasilan tempat mereka bercocok tanam.
Pemberian status sosial yang tinggi terhadap Pak Haji dan Bu Haji di kampung-kampung masih berlangsung sampai sekarang. Ini berbeda dengan masyarakat perkotaan di Indonesia.
Di kampung saya misalkan, sampai sekarang jika menjelang bulan Dzulhijjah, orang akan ramai bertanya kira-kira siapa yang akan naik haji tahun ini.
Menjelang keberangkatan ke tanah suci, masyarakat akan berbondong-bondong mendatangi rumah orang yang mau naik haji.
Dengan hujah mengadakan ’walimatu safar’ (syukuran sebelum berangkat haji), orang kampung akan diundang untuk berdoa di rumah orang yang mau berangkat haji.
Selain bagus untuk silaturahim sesama anggota masyarakat, undangan ini juga berimplikasi pada semakin termotivasinya orang lain untuk ingin naik haji.
Di hari pelepasan pemberangkatan haji, orang-orang di kampung juga akan berbondong-bondong mengantar dan melepas kepergian anggota masyarakat yang naik haji.
Situasi haru melepas kepergian tetangga naik haji sangat jelas terlihat dan dirasakan masyarakat kampung. Bahkan melepas orang berangkat naik haji seperti melepas jenazah yang mau dikuburkan. Isak tangis keluarga, sahabat dan tetangga tidak bisa dihindari.
Lagi-lagi, hal ini menunjukkan bahwa begitu tingginya apresiasi masyarakat terhadap orang yang mau naik haji.
Tentunya tidak ada yang salah dengan tradisi di kampung yang begitu mengagungkan status sosial orang yang naik haji.
Hanya saja jangan sampai niat seseorang untuk beribadah naik haji dikotori oleh tujuan naik haji karena prestise.
Berazamlah naik haji untuk ikhlas beribadah kepada Allah dan memenuhi panggilan-Nya beribadah ke tanah suci Mekkah.
Jika niat naik haji karena ingin mendapatkan status sosial yang tinggi di mata masyarakat, maka jangan menyesal kalau hajinya tidak mabrur.
Haji yang mabrur akan terlihat dari prilaku seseorang sepulang dari naik haji yaitu berprilaku menuju arah yang lebih baik.
Haji yang mabrur membuat seseorang menjadi lebih giat beribadah, lebih peduli terhadap sesama dan tentunya menjauhi hal-hal yang tidak baik dan perbuatan dosa.
Kalau di Indonesia dari tahun ke tahun jumlah orang yang naik haji semakin bertambah, tetapi rasuah dan masyarakatnya kebanyakan belum bisa keluar dari krisis, maka perlu dipikirkan lagi apa yang sudah disumbangkan oleh Pak Haji dan Bu Haji.
Semoga para jamaah yang berniat naik haji tahun ini dimanapun berada diberikan kemudahan dan dijadikan haji yang mabrur sehingga bisa memberikan kontribusi positif bagi kemajuan bangsa dan umat Islam pada umumnya. [ALI NUR]
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H