Malah dalam catatan Prof. Martin van Brunissen, pada tahun 1920-an hampir 40 peratus dari semua jemaah haji yang berangkat ke Mekkah berasal dari Indonesia.
Permasalahannya, banyak orang kampung yang terlalu memaksakan diri ingin naik haji tanpa perhitungan yang matang. Padahal naik haji hanya diwajibkan bagi orang yang mampu.
Masih banyak orang kampung yang beranggapan bahwa berangkat menunaikan ibadah haji adalah segalanya.
Tak heran kalau masih ada orang tua yang memaksakan untuk naik haji dengan biaya tinggi dan lupa membiayai anaknya mendapatkan pendidikan yang baik.
Padahal berinvestasi memberikan bekal pendidikan tinggi kepada anak tidak kalah pentingnya dengan mengejar ambisi pribadi ingin naik haji.
Tentunya bisa naik haji dan juga bisa menyekolahkan anak ke jenjang yang lebih tinggi sekaligus akan lebih bagus.
Beruntungnya, pemerintah Indonesia menghimbau masyarakat untuk hanya naik haji satu kali sahaja seumur hidup. Jika tidak dibatasi, masih banyak masyarakat yang ingin naik haji berkali-kali.
Nampaknya, lebih baik uangnya digunakan untuk bersedekah membantu anak yatim dan faqir miskin daripada digunakan untuk naik haji kedua kalinya.
Malah ada yang rela sampai menjual tanah sawah hanya untuk bisa membayar ongkos pergi ke Mekkah, padahal tanah itu satu-satunya sumber penghasilan tempat mereka bercocok tanam.
Pemberian status sosial yang tinggi terhadap Pak Haji dan Bu Haji di kampung-kampung masih berlangsung sampai sekarang. Ini berbeda dengan masyarakat perkotaan di Indonesia.
Di kampung saya misalkan, sampai sekarang jika menjelang bulan Dzulhijjah, orang akan ramai bertanya kira-kira siapa yang akan naik haji tahun ini.