Mohon tunggu...
Sunan Gunung Djati Blogger UIN SGD Bandung
Sunan Gunung Djati Blogger UIN SGD Bandung Mohon Tunggu... -

Sunan Gunung Djati adalah Harian Online Blogger Sunan Gunung Djati. Semula berawal dari Komunitas Blogger Kampus UIN SGD Bandung yang terbentuk pada tanggal 27 Desember 2007. Sejak 9 Februari 2009 dapat mengudara di Jagat Internet. Staff Redaksi: Pimpinan Umum: Ibn Ghifarie| Pimpinan Redaksi: Sukron Abdilah| Pengelola dan Keamanan Website: Badru Tamam Mifka, Zarin Givarian, Ahmad Mikail| Desain: Nur Azis| Kontributor Tetap: Pepih Nugraha (Senin-Ngeblog), Neng Hannah (Selasa-Gender), Bambang Q Anees (Rabu-Filsafat), Asep Salahudin (Kamis-Kesundaan), Afif Muhammad (Jumat-Teologi), ASM Romli (Sabtu-Media) Tim Susur Facebook: Cecep Hasanuddin, Reza Sukma Nugraha Tim Susur Blog: Amin R Iskandar, Jajang Badruzaman, Dasam Syamsudin, Dudi Rustandi. Seputar Redaksi: redaksi@sunangunungdjati.com Ayo Ngeblog, Ayo Berkarya! Selengkapnya klik www.sunangunungdjati.com

Selanjutnya

Tutup

Filsafat

Nalar Sangkuriang dan Sunda “Ngarangrangan”

17 November 2009   17:18 Diperbarui: 26 Juni 2015   19:18 563
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Filsafat. Sumber ilustrasi: PEXELS/Wirestock

Sunan Gunung Djati-Hampir tidak ada yang tidak mengenal Sangkuriang, sebuah legenda surealis yang melampaui nalar. Yang mistis dan logis berbaur.

Dunia binatang menyatu dengan riwayat manusia. Takdir Tuhan dan rekayasa manusia beririsan.

Cinta menautkan relasi tidak sekadar antara dunia dan kayangan, tetapi juga antara manusia sedarah dan ujung cerita hasrat yang tidak kesampaian sehingga orang menyimpulkan bahwa perkawinan sedarah (inses) tidak mendapatkan tempat dalam tradisi Sunda.

Sangkuriang dengan kesediaannya membendung aliran sungai menjadi danau lengkap dengan perahunya untuk berlayar sebelum fajar datang betul-betul mencerminkan tentang manusia Sunda yang memiliki kepercayaan penuh atas potensi dan otonomi dirinya. Hal itu memberikan pesan moral ihwal keniscayaan optimalisasi energi untuk meraih apa yang diinginkan, apa yang menjadi obsesi dan keinginan hatinya.

Bagi Sangkuriang “sang aku” adalah segalanya. Dia hanya percaya terhadap akal budinya walaupun Dayang Sumbi meyakinkan bahwa dirinya adalah ibu kandungnya, biarpun masyarakat di sekitarnya mengiyakan apa yang dikatakan Dayang Sumbi.

Sangkuriang dengan kehendak bebas dan kekuatan yang bertopang kepada dirinya inilah yang dijadikan Ajip Rosidi sebagai salah satu dari kekayaan batin yang dapat memberikan sedikit gambaran tentang manusia Sunda. Di posisi ini seakan Sangkuriang mendesakkan sebuah kesadaran bahwa manusia Sunda harus memiliki watak ulah kumeok memeh dipacok (jangan menyerah dahulu sebelum dikerjakan dengan optimal), gede wewanen (pemberani).

Kesadaran tuntas terhadap “aing” ini juga yang tempo hari dengan menarik mendapatkan basis tafsir filosofisnya dari Haji Hasan Mustapa. Baginya, kesadaran ketidakpahaman seseorang terhadap ka-aing-an akan menjebak manusia Sunda khususnya terperangkap menjadi manusia anomali. Ini sudah lebih dari cukup untuk menciptakan lingkungan yang sasab sebagaimana tampak dalam pepatah “geura prak agus ngawula ka eling aing, ngawula ka elmu aing, ngawula ka iradat aing, ngawula ka denge aing, ngawula ka awas aing, ngawula ka kalam aing, moal enya ngawula lamun aing teu boga ma’ani”.

Ka-aing-an tampaknya menjadi basis kultural tentang peneguhan Ki Sunda sebagai manusia individual, manusia soliter. Apalagi, ini ditopang oleh mata pencarian masyarakat Sunda yang kebanyakan berhuma. Huma yang selalu dilakukan dengan cara berpindah-pindah mengandaikan kekuatan yang bertopang tidak kepada kejemaahan sebagaimana masyarakat agraris, tetapi kepada otonomi eksistensi diri. Pengembara

Penemuan kedirian Sangkuriang sesungguhnya tidak bersifat ujug-ujug, tetapi merupakan refleksi dari pergumulannya yang panjang dalam mencari jati diri ketika ia mengembara karena diusir Dayang Sumbi setelah membunuh anjing yang notabene ayahnya sendiri.

Pembunuhan terhadap binatang tentu tidak atas nama kebencian, tetapi karena keinginannya untuk tidak mengecewakan ibundanya. Keinginannya adalah untuk mempersembahkan hati binatang ketika binatang buruannya tidak kunjung ditemukan.

Sebuah pengusiran diterimanya dengan ikhlas, bahkan dijadikan sebagai media untuk menempa kedewasaan diri. Hijrah dilakukan dan diniatkan atas nama penghindaran dari tradisi negatif kurungbatokeun. Semangat sama dapat kita temukan dari sosok-sosok abad ke-16 seperti dalam Bujangga Manik, Sanghiyang Siksakandang Karesian, dan Carita Parahiyangan. Selepas pengembaraan dia datang dengan akal budi yang telah tercerahkan, dengan kepercayaan diri yang kukuh. Maka, menjadi tidak aneh, misalnya, ketika dia sangat tidak percaya terhadap alasan Dayang Sumbi atau alasan yang diajukan masyarakat.

Namun, tentu saja nalar memiliki tapal batasnya. Tapal batas itu ternyata bukan bernama takdir Tuhan, melainkan justru nalar sederhana yang dibuat ibunya sendiri, Dayang Sumbi. Ayam jantan yang berkokok bukan pada waktunya dan kibaran kain putih untuk mengelabui mata nyalang Sangkuriang untuk membangun citra bahwa itu adalah fajar dan batas tugas yang ditargetkan tidak kesampaian telah meruntuhkan kepercayaan ilmiah Sangkuriang.

Kesederhanaan seorang ibu dapat mengalahkan kecerdasan seorang anak. Adalah manusiawi ketika target itu tidak tercapai, kemarahan muncul. Perahu ditendang. Gunung Tangkubanparahu disusun untuk dibuat dengan latar cerita ini, dan akhirnya menjadi sasakala.

Konteks kesundaan

Dalam konteks Sunda mutakhir, manusia Sangkuriang menjadi amat menarik untuk kita renungkan bersama di tengah suasana kiprah Ki Sunda yang sudah mulai kehilangan elan vital. Jiwa Sangkuriang yang hilang yang telah menyebabkan kita sekarang menjadi etnis yang berada di tapal batas keterpurukan di simpang jalan, sedang ngarangrangan dalam segala bidang.

Bukan hanya danau yang belum terbendung. Perahu pun belum dibuat, bahkan tidak dirancang. Dalam konteks politik, ini bermakna absennya para politisi yang memiliki perhatian kesundaan yang utuh dengan dedikasi dan ideologi yang jelas. Perahu adalah simbol dari partai politik. Bukankah saat ini hampir tidak ada satu partai besar atau bahkan partai papan tengah yang dinakhodai orang Sunda.

Padahal, kita sepakat bahwa partai adalah kendaraan sebagai syarat mutlak untuk meraih jabatan publik untuk melakukan mobilisasi vertikal menjadi pemimpin nasional. Nalar demokrasi modern hanya menyisakan jabatan itu kepada aktivis partai yang paling militan.

Dalam tafsir budaya, maknanya adalah sempurnanya kita terjangkiti apa yang dinamakan dengan jati ka silih ku junti. Sebuah ungkapan yang menyiratkan satu bentuk kebudayaan yang terhegemoni oleh budaya lain karena pemilik budaya itu sudah tidak memiliki kebanggaan dan tidak memiliki militansi atas budayanya.

Tragisnya lagi, jangankan membendung danau dan ramai-ramai membuat perahu dengan visi yang jelas. Justru yang dilakukan adalah lompatan nalar yang menyimpang: menyerukan kepada manusia Sunda yang lain bahwa ayam jantan sudah berkokok dan kain putih telah berkibar. Padahal, itu hanya fantasi. Akhirnya, Ki Sunda gering nangtung ngalanglayung!

ASEP SALAHUDIN Pengamat Kebudayaan Sunda; Wakil Rektor IAILM Pesantren Suryalaya Tasikmalaya

Dimuat di HU KOMPAS, Sabtu, 10 Oktober 2009

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Filsafat Selengkapnya
Lihat Filsafat Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun