Namun, tentu saja nalar memiliki tapal batasnya. Tapal batas itu ternyata bukan bernama takdir Tuhan, melainkan justru nalar sederhana yang dibuat ibunya sendiri, Dayang Sumbi. Ayam jantan yang berkokok bukan pada waktunya dan kibaran kain putih untuk mengelabui mata nyalang Sangkuriang untuk membangun citra bahwa itu adalah fajar dan batas tugas yang ditargetkan tidak kesampaian telah meruntuhkan kepercayaan ilmiah Sangkuriang.
Kesederhanaan seorang ibu dapat mengalahkan kecerdasan seorang anak. Adalah manusiawi ketika target itu tidak tercapai, kemarahan muncul. Perahu ditendang. Gunung Tangkubanparahu disusun untuk dibuat dengan latar cerita ini, dan akhirnya menjadi sasakala.
Konteks kesundaan
Dalam konteks Sunda mutakhir, manusia Sangkuriang menjadi amat menarik untuk kita renungkan bersama di tengah suasana kiprah Ki Sunda yang sudah mulai kehilangan elan vital. Jiwa Sangkuriang yang hilang yang telah menyebabkan kita sekarang menjadi etnis yang berada di tapal batas keterpurukan di simpang jalan, sedang ngarangrangan dalam segala bidang.
Bukan hanya danau yang belum terbendung. Perahu pun belum dibuat, bahkan tidak dirancang. Dalam konteks politik, ini bermakna absennya para politisi yang memiliki perhatian kesundaan yang utuh dengan dedikasi dan ideologi yang jelas. Perahu adalah simbol dari partai politik. Bukankah saat ini hampir tidak ada satu partai besar atau bahkan partai papan tengah yang dinakhodai orang Sunda.
Padahal, kita sepakat bahwa partai adalah kendaraan sebagai syarat mutlak untuk meraih jabatan publik untuk melakukan mobilisasi vertikal menjadi pemimpin nasional. Nalar demokrasi modern hanya menyisakan jabatan itu kepada aktivis partai yang paling militan.
Dalam tafsir budaya, maknanya adalah sempurnanya kita terjangkiti apa yang dinamakan dengan jati ka silih ku junti. Sebuah ungkapan yang menyiratkan satu bentuk kebudayaan yang terhegemoni oleh budaya lain karena pemilik budaya itu sudah tidak memiliki kebanggaan dan tidak memiliki militansi atas budayanya.
Tragisnya lagi, jangankan membendung danau dan ramai-ramai membuat perahu dengan visi yang jelas. Justru yang dilakukan adalah lompatan nalar yang menyimpang: menyerukan kepada manusia Sunda yang lain bahwa ayam jantan sudah berkokok dan kain putih telah berkibar. Padahal, itu hanya fantasi. Akhirnya, Ki Sunda gering nangtung ngalanglayung!
ASEP SALAHUDIN Pengamat Kebudayaan Sunda; Wakil Rektor IAILM Pesantren Suryalaya Tasikmalaya
Dimuat di HU KOMPAS, Sabtu, 10 Oktober 2009
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H