Sunan Gunung Djati-Semua orang gila bola!
Pada malam-malam yang dingin ada banyak orang yang rela meninggalkan tidurnya demi melihat si kulit bundar itu ditendang-tendang, sampai akhirnya melesat masuk ke jarring gawang.
Di jalan-jalan ada banyak orang (dari kanak-kanak, remaja, sampai orang tua bangkotan) mengenakan kaos warna kesebelasan tertentu meneriakkan yel-yel kemenangan, atau gerutuan kesalahan. Mereka semua tumpah di jalan untuk menunjukkan pembelaannya terhadap kesebelasan sepak bola pujaannya. Di Kolumbia, bahkan, ada seorang pemain yang ditembak mati gara-gara ia nggak sengaja menendang bola ke gawangnya sendiri.
Ada apa ini? Kenapa semua orang gila bola?
Apakah ini gejala masyarakay modern yang sudah kehilangan kebahagiaan lalu mencari sumber kebahagiaan dari kulit bundar yang diperebutkan 22 orang di lapangan hijau?
Beberapa orang yang tak menyenangi bola tentu merasa geli melihat permainan ini. Kenapa tidak beli bola sebanyak 22 buah lalu menendang-nendangnya sendiri? Kenapa ada banyak orang menseriusi permainan ini, baik dalam memainkannya atau dalam menontonnya? Bahkan, konon, ada banyak orang yang lebih getol bangun malam buat nonton bola ketimbang buat shalat malam; gilanya lagi ada banyak agamawan juga yang sangat-sangat menyenangi permainan yang satu ini. Agamawan ini tidak hanya menonton, namun juga pernah menjadi pemainnya atau juga ikut meramal dan memberikan dukungan fanatic pada salah satu kesebelasan sepak bola. Apakah bola sudah mengalahkan seruan Tuhan bahwa pada shalat malam ada banyak berkah? Berkah diabaikan, bola ditunggu-tunggu; apakah dalam bola ada berkah atau ada hadiah yang lebih berharga daripada sekedar berkah?
Apa yang dilihat dari sepakbola itu?
Kalau saya mendapatkan pertanyaan model ini, jawabannya mungkin begini. Pada sepak bola kita menemukan semangat, kejelasan tujuan (goal), rasa enjoy, dan strategi bersama mencapai tujuan. Ini sebenarnya yang saya cari selama ini. Yaitu seharusnya seluruh proses kehidupan diwarnai oleh keempat hal dalam permainan sepakbola. Semua orang seharusnya bersemangat dalam menjalankan kehidupannya, persis seperti para pemain bola yang berlari-lari 2 X 45 menit. Tak kenal lelah, mereka berlarian berusaha menyusun rencana tahap demi tahap agar bisa memenangkan permainan. Walaupun mereka kalah, mereka tetap menunjukkan semangat itu. Para pemain bola tetap berada di lapangan bola, tidak lantas mundur atau meninggalkan lapangan. Mereka seperti percaya bahwa di ujung usahanya itu, mereka akan dapat mencapai tujuan, yaitu memenangkan pertandingan.
Lebih gila lagi, pada pertandingan bola kita sering menyaksikan semangat pantang menyerah yang luar biasa. Prancis pernah tertinggal 2 gol oleh lawannya, dan waktu sudah tinggal beberapa menit lagi (sekitar 5 menit). Namun semangat yang luar biasa membuat mereka sanggup membalas kekalahan itu, dalam 5 menit sisa mereka bahkan bisa memenangkan pertandingan. Ini semangat yang ruarr biasa. So, setiap kali saya menonton bola saya seperti sedang belajar memperbaharui semangat dalam menjalankan kehidupan yang semakin hari semakin sumpek. Menyaksikan perjuangan bahu membahu kesebalasan underdog, yang nggak diperhitungkan, memenangkan bertandingan melawan tim papan atas merupakan hiburan yang cukup menyegarkan. Apalagi tiba-tiba mereka menang, seperti sewaktu klub promosi (Berntley, kalau tidak salah) mengalahkan Chelsea. Saat itu, muncul semangat dalam diri, kalau klub promosi yang bisa kalahkan klub papan atas, saya pun juga bisa.
Semangat dalam menjalankan permainan, itulah yang saya dapatkan dari sepakbola. Hidup adalah permainan, tak lebih. Dan dalam permainan kita bersuka cita, tertawa dan senang. Dalam permainan juga ada aturan yang disepakati bersama dan ditaati agar niatan melakukan permainan bisa purna sampai keringat tak lagi tersisa.
Tetapi bagaimana mungkin? Kamu secara umum memandang hidup sebagai sesuatu yang melelahkan dan dosen tentu saja tampak dalam wajah yang menggeuleuhkan; di sisi lain pengajar juga memandang mahasiswa sebagai sosok menjengkelkan: banyak lagak, pemalas, susah memiliki kesadaran yang konsisten dan seabrek lagi penyakit lainnya. Wah kalau begini perkuliahan sebagai permainan tak akan pernah dijumpai. Tak ada permainan, tak ada semangat, goal, rasa enjoy juga stretegi bersama.
Maka mari kita anggap perkuliahan sebagai sekadar permainan bola. Seluruh mahasiswa adalah pemain, dan pengajar adalah wasit sekaligus pelatih. Tugas pelatih menentukan aturan permainan yang membatasi kebebasan pemain. Masing-masing mahasiswa harus terlibat secara aktif, ada yang ditugaskan sebagai pemain belakang (tipe konservatif, memberikan banyak apologia), atau gelandang (moderat, ia mau membuat sintesa antara keinginan bertahan dan menyerang), atau pemain depan (kritis dan mau melakukan analisa –penguraian kelemahan lawan untuk dihancurkan).
Di luar ketiga peran itu ada dua lagi peran yang sangat susah, yaitu penjaga gawang dan playmaker. Penjaga gawang adalah pemilik “situasi batas” dalam filsafat Jasper atau kecemasan (angst) dalam filsafat Kierkegaard, ia adalah pemain bola yang tak pernah berniat memasukkan bola ke jaring lawan; tugasnya sangat pasif –membuat semua keyakinan lawan jadi luluh berantakan dalam satu jawaban. Playmaker juga luar biasa, ia harus memiliki mata indera, mata hati dan mata kaki yang mengerti horison semua mata yang dimiliki rekan-rekannya. Tugasnya mengkomunikasikan secara partisipatoris semua potensi yang ada bagi tercapainya goal (tujuan). Playmaker adalah pemilik daya refleksi-diri Habermas yang tidak percaya bahwa kerja keras saja bisa menghasilkan sukses, namun memiliki iman bahwa pada komunikasi antar tindakan dan kesadaran sukses bisa tercapai dengan rasa manis yang saling mewujudkan eksistensi yang lain.
Sementara tugas pemain adalah bergembira dalam memainkan sejumlah aturan yang telah disepakati bersama. Di luar lapangan, semua mahasiswa boleh melakukan dan memikirkan apa saja; namun di dalam lapangan permainan semuanya harus taat aturan dan bergembira. Mereka bergembira, karena mereka dilibatkan secara sama dan bersama. Mereka tak sekadar celengan yang secara pasif harus memasukkan koin-koin kearifan pengajarnya bagi bekal masa depan. Mereka adalah pemain, yang aktif dan memiliki kuasa untuk menentukan pola permainan dan kesuksesan seluruh permainan.
Ini utopia? Ini semua mengada-ada? Mana ada permainan bola bisa dijadikan cara mengajar?
Dengarkanlah ujar-ujar dari Van Gaal, pelatih bergaya Total Football. “Saya tidak membutuhkan sebelas pemain yang baik, namun kesebelasan yang terbaik”, demikian ujar van Gaal. Inilah rukun pertama permainan bola: kolektivitas, bukan individualitas tanpa komunikasi partisipatoris.
Kolektivitas tidak meniadakan identitas dan kebebasan pemain, namun meletakkan identitas dan kebebasan dalam sistem dan pola permainan yang harus digariskan. Bagi Van Gaal, kolektivitas semisal ruang, dan ruang mau tak mau dibatasi oleh sistem yang dipilih. Dengan memasuki ruangan yang terbatas, pemain mau tak mau harus berani mengorbankan kebebasannya, namun dalam ruang itu ia dipersilahkan untuk sebebas-bebasnya bergerak dan berkreasi.
Kolektivitas menuntut agar tiap pemain mengenal batas kemampuannya. Hanya dengan pengenalan kmampuannya yang terbatas, ia dapat memberikan diri sebaik-baiknya bagi kesebelasan. Dari pengalaman Van Gaal menunjukkan bahwa justru dalam kolektivitas itu pemain merasa aman dan karenanya dapat berkembang dengan sejauh-jauhnya. Jadi, kolektivitas itu tidak membunuh kebebasan. Kolektivitas inilah yang memungkinkan strategi total football bisa dilakukan. Dalam kolektivitas mereka dapat maju dan menyerang bersama-sama, muncur dan bertahan bersama-sama.
Kolektivitas inilah rahasia utama yang menyebabkan total football selalu tampak indah dan mempesona. Dan keindahan itu tercipta tidak pertama-tama lahir dari kemampuan individu, melainkan dan kreativitas kolektif kesebalasan yang seakan tanpa batas.
Rukun kedua dalam sepak bola adalah disiplin. Bagi Van Gaal adalah kemauan untuk mengerjakan apa yang harus dikerjakan, patuh, hormat pada pelatih, menghargai sesama pemain, dan menepati janji. Disiplin inilah yang memungkinkan individu mengembangkan identitas dan kreativitasnya. Hanya kesebelasan yang memiliki pelatih keras yang akan meraih sukses, demikianlah bunyi petuah bijak dalam dunia bola.
Wah, ini jadi serius. Padahal semula hanya mau mengantarkan mahasiswa filsafat agar mengaitkan permainan sepak bola dengan apa yang mereka pelajari. Karena, menurut Charles Sanders Pierce, seluruh teori dan konsep adalah suatu kerangka mengenai bagaimana kita berhubungan dengan kehidupan; ia akan disebut kepercayaan karena kita memandangnya sebagai salah satu cara yang benar dalam menghadapi kehidupan. Dan belajar bagi Perce adalah proses belajar bagaimana menetapkan kepercayaan-kepercayaan.
Jadi, anggaplah bermain sepak bola sebagai tindakan dalam kehidupan yang harus merujuk pada konsep-konsep aqidah dan filsafat! [BAMBANG Q ANEES, Pengasuh Kolom Filsafat Sunan Gunung Djati yang terbit setiap hari Rabu]
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H