Maka mari kita anggap perkuliahan sebagai sekadar permainan bola. Seluruh mahasiswa adalah pemain, dan pengajar adalah wasit sekaligus pelatih. Tugas pelatih menentukan aturan permainan yang membatasi kebebasan pemain. Masing-masing mahasiswa harus terlibat secara aktif, ada yang ditugaskan sebagai pemain belakang (tipe konservatif, memberikan banyak apologia), atau gelandang (moderat, ia mau membuat sintesa antara keinginan bertahan dan menyerang), atau pemain depan (kritis dan mau melakukan analisa –penguraian kelemahan lawan untuk dihancurkan).
Di luar ketiga peran itu ada dua lagi peran yang sangat susah, yaitu penjaga gawang dan playmaker. Penjaga gawang adalah pemilik “situasi batas” dalam filsafat Jasper atau kecemasan (angst) dalam filsafat Kierkegaard, ia adalah pemain bola yang tak pernah berniat memasukkan bola ke jaring lawan; tugasnya sangat pasif –membuat semua keyakinan lawan jadi luluh berantakan dalam satu jawaban. Playmaker juga luar biasa, ia harus memiliki mata indera, mata hati dan mata kaki yang mengerti horison semua mata yang dimiliki rekan-rekannya. Tugasnya mengkomunikasikan secara partisipatoris semua potensi yang ada bagi tercapainya goal (tujuan). Playmaker adalah pemilik daya refleksi-diri Habermas yang tidak percaya bahwa kerja keras saja bisa menghasilkan sukses, namun memiliki iman bahwa pada komunikasi antar tindakan dan kesadaran sukses bisa tercapai dengan rasa manis yang saling mewujudkan eksistensi yang lain.
Sementara tugas pemain adalah bergembira dalam memainkan sejumlah aturan yang telah disepakati bersama. Di luar lapangan, semua mahasiswa boleh melakukan dan memikirkan apa saja; namun di dalam lapangan permainan semuanya harus taat aturan dan bergembira. Mereka bergembira, karena mereka dilibatkan secara sama dan bersama. Mereka tak sekadar celengan yang secara pasif harus memasukkan koin-koin kearifan pengajarnya bagi bekal masa depan. Mereka adalah pemain, yang aktif dan memiliki kuasa untuk menentukan pola permainan dan kesuksesan seluruh permainan.
Ini utopia? Ini semua mengada-ada? Mana ada permainan bola bisa dijadikan cara mengajar?
Dengarkanlah ujar-ujar dari Van Gaal, pelatih bergaya Total Football. “Saya tidak membutuhkan sebelas pemain yang baik, namun kesebelasan yang terbaik”, demikian ujar van Gaal. Inilah rukun pertama permainan bola: kolektivitas, bukan individualitas tanpa komunikasi partisipatoris.
Kolektivitas tidak meniadakan identitas dan kebebasan pemain, namun meletakkan identitas dan kebebasan dalam sistem dan pola permainan yang harus digariskan. Bagi Van Gaal, kolektivitas semisal ruang, dan ruang mau tak mau dibatasi oleh sistem yang dipilih. Dengan memasuki ruangan yang terbatas, pemain mau tak mau harus berani mengorbankan kebebasannya, namun dalam ruang itu ia dipersilahkan untuk sebebas-bebasnya bergerak dan berkreasi.
Kolektivitas menuntut agar tiap pemain mengenal batas kemampuannya. Hanya dengan pengenalan kmampuannya yang terbatas, ia dapat memberikan diri sebaik-baiknya bagi kesebelasan. Dari pengalaman Van Gaal menunjukkan bahwa justru dalam kolektivitas itu pemain merasa aman dan karenanya dapat berkembang dengan sejauh-jauhnya. Jadi, kolektivitas itu tidak membunuh kebebasan. Kolektivitas inilah yang memungkinkan strategi total football bisa dilakukan. Dalam kolektivitas mereka dapat maju dan menyerang bersama-sama, muncur dan bertahan bersama-sama.
Kolektivitas inilah rahasia utama yang menyebabkan total football selalu tampak indah dan mempesona. Dan keindahan itu tercipta tidak pertama-tama lahir dari kemampuan individu, melainkan dan kreativitas kolektif kesebalasan yang seakan tanpa batas.
Rukun kedua dalam sepak bola adalah disiplin. Bagi Van Gaal adalah kemauan untuk mengerjakan apa yang harus dikerjakan, patuh, hormat pada pelatih, menghargai sesama pemain, dan menepati janji. Disiplin inilah yang memungkinkan individu mengembangkan identitas dan kreativitasnya. Hanya kesebelasan yang memiliki pelatih keras yang akan meraih sukses, demikianlah bunyi petuah bijak dalam dunia bola.
Wah, ini jadi serius. Padahal semula hanya mau mengantarkan mahasiswa filsafat agar mengaitkan permainan sepak bola dengan apa yang mereka pelajari. Karena, menurut Charles Sanders Pierce, seluruh teori dan konsep adalah suatu kerangka mengenai bagaimana kita berhubungan dengan kehidupan; ia akan disebut kepercayaan karena kita memandangnya sebagai salah satu cara yang benar dalam menghadapi kehidupan. Dan belajar bagi Perce adalah proses belajar bagaimana menetapkan kepercayaan-kepercayaan.
Jadi, anggaplah bermain sepak bola sebagai tindakan dalam kehidupan yang harus merujuk pada konsep-konsep aqidah dan filsafat! [BAMBANG Q ANEES, Pengasuh Kolom Filsafat Sunan Gunung Djati yang terbit setiap hari Rabu]