Sunan Gunung Djati-Menulis merupakan petanda orang yang mencoba beradab. Pasalnya, peradaban terlahir dari ketulusan hati dalam menuangkan gagasanya melelui tarian pena. Tanpa itu semua niscaya kebudayaan akan tetap bertahan hingga di kenang orang.
Lemahnya, kebiasaan angkat pena dikalangan pelajar dan aktivis pergerakan membuktikan keberadaan kaum intelek sudah tak lagi akrab pada budaya tulisan, melainkan lisan. Itulah yang dirasaka oleh Fahd Djibran, Pemimpin Redaksi di Juxtapose Korporasidea, sebuah perusahaan penerbitan terkemuka di Yogyakarta.
Dalam perbincangan dengan Sunan Gunung Djati belum lama ini Fahd Djibran mengungkapkan aktivitas menulis baginya “Seandainya kakek saya, semasa hidupnya menulis sesuatu, mungkin sekarang saya mengenal siapa dia. Tetapi itu tak pernah terjadi. Tak selembarpun tulisan yang diwariskan kakek pada saya.” ungkap pria kelahiran Cianjur, 22 Agustus 1986.
Namun sayang, “Saya tak pernah tahu isi kepala kakek, selain bahwa dia adalah seorang lelaki tua leluhur saya. Maka jangan salahkan saya, jika saya lebih mengenal Karl Marx, Gabriel Garcia Marquez atau Pramoedya Ananta Toer, yang bukan siapa-siapa saya, daripada kakek saya sendiri.” keluh alumnus Hubungan Internasional Universitas Muhammadiyyah Yogyakarta ini.
Dendam itulah menjadi energi besar yang mendorong saya untuk terus menulis. “Saya tak mau dilupakan sejarah. Saya mau jadi orang yang berkesadaran sejarah. Maka saya memutuskan untuk menulis. Agar kelak, jika cucu saya tak sempat tahu apa yang kakeknya pikirkan dan bicarakan semasa hidupnya, ia bisa mengenal kakeknya lewat tulisan-tulisannya. Setidaknya, menulislah untuk menuntaskan dendam itu.” harapan pegiat Otak Kanan Creative Studio.
Saat ditanya adakah kiat-kita dalam mentradisikan menulis, “Bagi saya, tak perlu kiat dalam menulis. Menulislah dengan cara apa saja yang paling menyenangkan.” tegas mantan Executive Director Prophetic Freedom Project.
Kecintaanya pada dunia menulis diawali sejak berada di bangku sekolah Madrasah Aliyah Darul Arqam Muhamadiyyah Garut, hingga sekarang dan membuahkan sejumlah penghargaan, diantaranya; penulis esai terbaik versi UNICEF Young Writer Award; DAR!Mizan Unlimited Creativity Award sebagai penulis terbaik (2006); Nominator Ahmad Wahib Award (2008); Nominator Anugerah Kekayaan Intelektual Luar Biasa untuk bidang kreatif (2009).
Tak hanya itu, Ia juga melahirkan lebih dari 15 Maha Karya (buku) antara lain; Kucing (Magnum Opus Project, 2004); Being Superstar (DAR!Mizan, 2005); Revolusi Sekolah (DAR!Mizan, 2006); Insomnia | Amnesia: Catatan Mahasiswa Insomnia Bagi Bangsa yang Amnesia (UMY Press, 2007); Writing is Amazing! (Juxtapose, 2008); A Cat In My Eyes: Karena Bertanya Tak Membuatmu Berdosa (GagasMedia, 2008); Qum! (Penerbit MMP, 2009); Curhat Setan: Karena Berdosa Membuatmu Selalu Bertanya (GagasMedia, 2009).
Kini, bersama temen-temennya mendirikan Juxtapose Korporasidea dengan tiga lini Penerbit Juxtapose, Penerbit Eduka, dan Penerbit MMP.
Juxtapose Korporasidea adalah perusahaan yang dibangun dengan cita-cita menyejajarkan (juxtaposing) prinsip-prinsip bisnis konvensional (corporation) dengan kemewahan gagasan dan ilmu pengetahuan (idea).
Artinya sejak awal perusahaan ini memosisikan dirinya sebagai ‘rumah kreativitas’ bagi para pecinta dunia ide dan ilmu pengetahuan untuk menghadirkan produk-produk ‘pikiran’ mereka di ruang publik dan layak dipasarkan (from mind to market).
Perusahaan ini didirikan pada tahun 2006 oleh beberapa mahasiswa dan seorang senior mereka. Pada awalnya mereka bertujuan membangun aras baru karya-karya intelektual di Indonesia agar bisa membuka dan mengembangkan wawasan masyarakat pembaca
Indonesia secara luar. Dimulai hanya menerbitkan buku-buku terjemahan penulis terkemuka dari luar negeri, secara bertahap karakter Juxtapose Korporasidea menemukan bentuknya melalui karya-karya intelektual yang mewakili berbagai sudut pandang, secara serius dan modern.
Pada awalnya Juxtapose Korporasidea hanya memiliki satu imprint, yakni Juxtapose. Namun dalam perkembangannya, seiring dengan prinsip modern bussines dan creative paradigm yang dipegang teguh para generator gagasan dalam perusahaan ini, untuk menjawab kebutuhan perkembangan bisnis yang berkembang pesat, Juxtapose Korporasidea membentuk Kelompok Penerbit Juxtapose Korporasidea sebagai perusahaan induk (holding company) dan meluncurkan tiga imprint pada akhir tahun 2008, yakni Penerbit Juxtapose, Penerbit Eduka, dan Penerbit MMP. Tahun 2009 ada lini baru yaitu Saroba.
Sejak saat itu, Juxtapose Korporasidea terbagi dalam unit-unit yang otonom dan dinamis sehingga dapat beradaptasi terhadap cepatnya perubahan lingkungan bisnis perbukuan Indonesia.
Lebih jauh menuturkan, Sekarang sudah lebih dari 100 judul sejak tahun 2006. Dari hanya menerbitkan satu buku sebulan di tahun pertamanya, Kelompok Penerbit Juxtapose Korporasidea kini telah mampu memproduksi lebih dari 10 judul buku per bulan atau mencapai 200 judul buku per tahunnya.
Sebagai perusahaan baru di bidang industri kreatif, khususnya percetakan dan penerbitan, Juxtapose Korporasidea telah menunjukkan kualitasnya dengan menerbitkan buku-buku terbaik dari penulis-penulis terbaik di Indonesia. Bahkan, pada bulan April 2009, Juxtapose Korporasidea meluncurkan program Hibah Penerbitan Naskah Kreatif senilai 200 juta rupiah yang disambut positif oleh berbagai kalangan penulis di tanah air. Program ini rencananya akan diselenggarakan secara rutin setiap tahunnya.
Melihat pasar buku Indonesia yang terus berkembang—kini pasar buku Indonesia diperkirakan bernilai 7–10 T per tahunnya—dan peningkatan daya baca masyarakat Indonesia, Juxtapose Korporasidea berkomitmen untuk menjadi perusahaan penerbitan dan percetakan terkemuka di Indonesia yang menyajikan buku-buku bermutu dan berkualitas kelas satu.
Dalam upayanya menuju ke arah itu, Juxtapose Korporasidea melalui berbagai jaringan kreatif berbasis komunitas yang terus dijaga dan diperluas, terus-menerus melakukan yang terbaik untuk dunia pengetahuan dan kreativitas Indonesia.
Bisa diceritakan soal ide awal tentang hunting penulis-penulis muda kretif dan Hibah Penerbitan Naskah Kreatif senilai 200 juta?
Sebetulnya banyak penulis yang punya naskah yang siap diterbitkan, tapi kebanyakan dari mereka nggak sadar kelak naskah itu mau diapakan, dijual seperti apa, siapa pembacanya, bagaimana desainnya, dan seterusnya.
Banyak penulis yang mengira bahwa pekerjaannya selesai ketika naskahnya selesai ditulis dan selesai dicetak. Mereka lupa naskahnya harus sampai dengan baik ke tangan pembacanya. Di sini butuh banyak kerja dan strategi kreatif, mulai dari market mapping, desain, strategi promosi dan lainnya yang juga harus disadarai para penulis (nggak bisa begitu saja mengandalkan penerbit dan distributor).
Nah, Juxtapose Korporasidea melalui hibah itu ingin menemukan penulis-penulis yang memiliki daya kreatif lebih besar, yang bisa menemukan pasar dan pembacanya melalui apa yang ia lakukan dengan naskahnya. Sebab buku adalah sebuah karya seni, ia terkait dengan banyak faktor.
Dan seharusnya penulis juga mendi seniman yang kreatif menegosiasikan banyak faktor itu agar karyanya diterima masyarakat pembaca. Itu dari sisi penulis, kita ingin melakukan kerja penyadaran bahwa menjadi penulis bukan sekadar bikin tulisan—lalu sudah! Kita ingin mengajak para penulis memasuki era creative writing. Jadi penulis juga dituntut membuat desain karyanya sapai bagaimana karyanya bisa sampai pada para pembacanya.
Dari sisi penerbit sebenernya ini strategi pencarian naskah. Apa bedanya dengan menunggu naskah datang secara biasa? Minimalnya sebuah penerbit punya alokasi dana untuk mencetak sebuah buku pada kisaran 10-20 juta, bisa lebih tergantung oplag dan proses produksinya.
Kita main di oplag 2000-3000 eksamplar dengan proses produksi yang biasanya memakan biaya 20-an juta rupiah. Sebulan kita menerbitkan minimal 4 naskah, artinya 80-an jutaan sebulan untuk biaya produksi. Melalui program hibah itu kita nyari 10 naskah yang akan diterbitkan dalam tiga periode salama Agustus-Februari.
Sama saja bukan? Sama saja seperti mengeluarkan biaya regular untuk produksi. Dari 100-an peserta hibah, kita pilih 10 terbaik yang karya-karyanya akan kita terbitkan senilai masing-masing 20 juta rupiah.
Sudah sejauh mana perkembanga nasib para Pemenang Hibah Penerbitan Naskah Kreatif Juxtapose Korporasidea 2009 itu?
Sekarang sedang proses penerbitan tiga naskah pertama yang akan diterbitkan di periode pertama (Agustus-Oktober). Naskah-naskah lainnya masih dalam proses penyelesaian oleh masing-masing penulisnya.
Sambil didampingi oleh editor dari Juxtapose, semua penulis sudah menjalin komunikasi dengan masing-masing editornya. Sesuai dengan periode yang ditetapkan, masing-masing pemenang juga akan memasuki tahap perjanjian kontrak penerbitan dengan pihak Juxtapose Korporasidea.
Ketika ditanya proyek WRITHINK IS AMAZING!?, Ia menjelaskan WRITHINK IS AMAZING adalah program pelatihan menulis kreatif yang diselenggarakan oleh Juxtapose Korporasidea. Program ini mengajak para pesertanya untuk melakukan creative writhink.
Program ini direncanakan dilakukan secara berkala setiap tiga bulan sekali, pesertanya dibatasi hanya 20 orang. Yang bebeda dari program pelatihan atau workshop menulis lainnya adalah, di akhir program karya seluruh peserta akan diterbitkan dalam bentuk antologi oleh Juxtapose Korporasidea.
Sekarang baru “gerombolan pertama”, saat ini sedang proses penerbitan buku antologi alumni gerombolan pertama. Temanya tentang Ibu. Dalam rangka menyambut hari Ibu 22 Desember nanti.
Dalam program ini peserta juga diajarkan konsep creative publishing, menerbitkan buku sebanyak ratusan eksamplar dengan modal hanya 20 ribu rupiah saja! Mau tahu caranya? Ayo ikutan WRITHINK IS AMAZING Gerombolan Kedua.
Sampai hari ini adakah semacam alumni buat “Gerombolan” pertama itu?, Ia menjawabnya “Ya, mereka menerbitkan karyanya secara bersama. Ada group di facebook, milis, dan sedang berencana biki blog bareng.” [Ibn Ghifarie]
Ayo Ngeblog, Ayo Berkarya!
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H