Seseorang yang memiliki kekayaan atau aset, misalnya berupa tanah, rumah dan mobil mewah tetapi dari berutang memang tampak hebat, berprestasi dan berhasil bagi orang lain yang melihanya tanpa mengetahui latar belakangnya.Â
Tetapi saat kemampuan membayar utangnya gagal dilanjutkan oleh sebab pekerjaan dan penghasilan rutinnya terhenti, lebih besar pasak dari pada tiang, gaya hidup mewahnya yang tak seimbang dengan penghasilan, maka yang akan terjadi bukan saja tidak mampu membayar utang melainkan aset tanah, rumah dan mobil mewahnya akan berakhir dalam penyitaan dan pengambilalihan. Â
Begitu pun yang terjadi pada utang negara. Kabarnya, utang negara hingga bulan Juli 2024 sudah mencapai Rp8.500 triliun. Memang patut diketahui bahwa dalam melakukan dan mengelola utang/pinjaman, pemerintah mempunyai aturan main yaitu undang-undang, best practices dan prinsip kehatian-hatian (prudent). Lantas bagaimana kalau pemerintah tak mampu membayar utang?Â
Salah satu indikasi ketidakmampuan membayar utang adalah kenaikan pajak. Indikasi itu kini terbaca dengan kenaikan PPN 12 persen. Tetapi tentu saja ini bisa dibantah dengan argumentasi sebaliknya, bahwa kenaikan PPN 12 persen adalah untuk menggenjot penerimaan pajak guna menambah defisit anggaran, membantu masyarakat bawah dan menengah yang turun kelas serta berperan dalam menstabilkan perekonomian.
Apa pun dalih atau niat baik di balik dana pinjaman atas nama pinjol atau pindar, termasuk utang negara dari pinjaman luar negeri mempunyai kesamaan kewajiban membayar lunas dan risiko yang sama ketika gagal bayar, yaitu penyitaan dan pengambilalihan aset yang memiskinkan. Dalam kasus gagal bayar atas utang negara contoh terdekat dialami oleh negara Sri Langka.
  Â
Crazyconomics, Bukan Sekadar Menguak Sisi Tersembunyi Ekonomi Tetapi Sekaligus Fakta Sosial dan MoralÂ
Crazyconomics dapat disebut sebagai ekonomi yang tidak konvensional atau tidak biasa. Bisa juga dikatakan sebagai teori ekonomi yang radikal atau revolusioner dengan kebijakan yang tidak rasional, miring atau 'gila'. Dalam konteks positif salah satu implementasi miring yang pernah dilakukan dengan teori crazyconomics ada di periode kedua masa kepemimpinan Presiden Jokowi.Â
Pemerintahan waktu itu siap untuk mengambil langkah "gila" yang tidak populis asal bisa membuat ekonomi menjadi kuat. Deputi III Kepala Staf kepresidenan Bidang Ekonomi, Denni Puspa Purbasari memberi contoh kebijakan gila ala Jokowi saat baru terpilih di tahun 2014 adalah menaikkan harga bahan bakar minyak, tetapi dampaknya baik karena insentifnya digunakan untuk infrastruktur yang sangat penting dalam mendorong perekonomian.
Namun bila bergerak lebih maju ke depan, kebijakan-kebijakan tak biasa yang diambil oleh Presiden Jokowi tak sepenuhnya berdampak baik. Bahkan kenaikan PPN 12 persen disinyalir atas inisiasi pemerintahan di bawah kepemimpinan Presiden Jokowi.Â
Kebijakan lain yang diduga tidak berpihak pada masyarakat adalah pelemahan KPK. Menurut ekonom senior, Faisal Basri, jika KPK menjadi lemah salah satu dampak negatifnya terhadap perekonomian adalah dalam hal anggaran negara (APBN). Anggaran negara di Indonesia selama ini telah dijarah oleh korupsi. Dana APBN diselewengkan mulai dari proses di tingkat perencanaan dan legislasi.Â