Belum lama ini sejumlah peristiwa yang melibatkan oknum kepolisian membuat sebagian besar masyarakat tercengang. Bayangkan, institusi yang mempunyai tugak pokok memelihara keamanan dan ketertiban, menegakkan hukum, dan memberikan perlindungan, pengayoman dan pelayanan kepada masyarakat, justru melakukan pelanggaran terhadap tugas pokok yang diembannya.
Terdapat sedikitnya, 4 (empat) peristiwa pembunuhan di luar hukum atau unlawful killing oleh anggota kepolisian dalam kurun waktu tak lebih dari satu bulan di rentang November hingga Desember, dan ini jelas membuat miris. Siapa pun korban dan apa pun alasannya, menghilangkan nyawa orang lain tentu tidak dibenarkan oleh Undang-undang.Â
Oleh karena itu, sebagai refleksi akhir tahun di tubuh POLRI, di tengah narasi bergulirnya wacana atau isu menempatkan kepolisian atau POLRI di bawah Kemendagri atau TNI, yang dinilai belum tepat, 4 (empat) peristiwa pembunuhan yang ikut mencoreng institusi POLRI merupakan momentum yang tepat  untuk mengkaji keseluruhan kinerja kepolisian ditinjau dari aspek psikologi forensik.
Bila melihat narasi atau wacana pemindahan POLRI di bawah Kemendagri atau TNI, yang cenderung karena munculnya banyak laporan atas dugaan penyalahgunaan kekuasaan oleh aparat kepolisian atau yang sering disebut dengan istilah ‘Partai Cokelat (Parcok)’ dalam Pilkada 2024.Â
Dugaan, yang bagi sebagian kelompok tidak berdasar, dan seharusnya disikapi dengan permintaan jalur pembuktian. Sehingga narasi partai cokelat tidak terus bergerak liar kemana-mana dan menyasar ke dugaan penyalahgunaan lain di luar politik. Apalagi institusi kepolisian kini juga disorot terkait 4 (empat) kasus pembunuhan.
Peristiwa itu antara lain polisi tembak polisi, yang terjadi di Polres Solok Selatan pada Jumat dini hari, 22 November 2024. Kepala Bagian Operasi Polres Solok, Ajun Komisaris Polisi Dadang Iskandar menembak rekannya sendiri Kepala Satuan Reserse Kriminal Ajun Komisaris Polisi Ulil Ryanto Anshar.Â
Selang dua hari dari kasus polisi tembak polisi di Solok Selatan, seorang siswa SMK inisial GRO usia 17 tahun, tewas usai didor polisi di bagian pinggul. Kejadiannya terjadi pada Ahad dini hari, 24 November 2024. Menurut pembelaan Polrestabes Semarang, personelnya, Aipda RZ, melepaskan timah panas kepada korban lantaran remaja tersebut melawan saat dilerai dari tawuran. Belakangan diketahui, bahwa penembakan itu dilakukan karena emosional petugas setelah motor yang dikendarainya merasa dipepet korban.Â
Kejadian ketiga, belum genap 24 jam setelah kejadian di Semarang, peristiwa polisi tembak warga sipil kembali terjadi di Bangka Belitung. Kali ini korbannya, seorang warga Dusun Sungkai Desa Tugang, Kecamatan Kelapa, Kabupaten Bangka Barat, atas nama Beni. Korban tewas didor personel Satuan Brimob Polda Bangka Belitung saat mencuri sawit di perusahaan perkebunan kelapa sawit PT Bumi Permai Lestasi (BPL) pada Ahad Sore, 24 November 2024 sekitar 16.00 WIB.Â
Kepala Bidang Hubungan Masyarakat (Humas) Polda Bangka Belitung Komisaris Besar Fauzan Sukmawansyah mengatakan peristiwa pembunuhan polisi terhadap warga sipil bermula saat satuan Brimob menindaklanjuti laporan pihak perusahaan yang melaporkan telah terjadi pencurian di wilayah perkebunan perusahaan.
Peristiwa keempat, anggota Polres Kota Bekasi bernama Ajun Inspektur Dua Nikson Pangaribuan alias Ucok. Polisi berpangkat Bintara umur 41 tahun menganiaya ibu kandungnya hingga meninggal. Diketahui, penganiayaan oleh personel Polda Metro Jaya itu terjadi di rumah orang tuanya di Desa Dayeuh, Cileungsi, Kabupaten Bogor, Jawa Barat. Berdasarkan hasil pemeriksaan sementara, pelaku menghantam sang ibu berinisial HS, 61 tahun menggunakan tabung gas elpiji berukuran 3 kilogram.Â
Dari dugaan tentang penyalahgunaan kekuasaan oleh aparat kepolisian dalam narasi partai cokelat dan munculnya 4 (empat) kasus pembunuhan oleh oknum polisi dalam waktu dekat, seolah menggambarkan tidak adanya kepedulian pada kebersihan dan kesehatan mental atau kejiwaan terhadap institusi kepolisian, di tengah tuntutan kerja dan kinerja polisi, baik secara personal maupun institusi.
Dugaan penyalahgunaan kekuasaan aparat kepolisian pada pilkada serentak 2024 lewat narasi partai cokelat terindikasi sebagai akumulasi atas kepercayaan masyarakat yang semakin meluntur terhadap kerja dan kinerja kepolisian baik secara personal maupun institusi. Indikasi inilah yang kemudian melunturkan kepercayaan masyarakat dan menilai institusi kepolisian jaduh dari bersih dan tidak mempunyai netralitas. Â
Maka selain diperlukan ketegasan untuk membantah dugaan atas penyalahgunaan kekuasaan yang dialamatkan kepada institusinya di pilkada serentak 2024 untuk mengembalikan kepercayaan masyarat terhadap kerja polisi, baik secara personal dan kinerja secara institusi, menjadi penting bila di dalam tubuh POLRI digaungkan kajian tentang psikologi forensik yang korelasinya menyentuh ke ranah kognitif, afektif dan perilaku personal polisi. Â Â Â
Menurut Baron dan Byrne (dalam Jaenudin, 2017) psikologi forensik adalah penelitian dan teori psikologi yang berkaitan dengan efek-efek dari faktor kognitif, afektif, dan perilaku manusia terhadap proses hukum. Beranjak dari pengertian ini dan melunturnya kepercayaan masyarakat serta munculnya 4 (empat) kasus pembunuhan oleh oknum polisi, kajian psikologi forensik di tubuh POLRI penting dilakukan secara mendalam.Â
Gaung akan kajian psikologi forensik secara mendalam tentu tidak hanya sebatas transfer pengetahuan melalui ruang-ruang dialog, penyuluhan atau seminar semata, melainkan harus dikaji dan diterapkan mulai dari proses perekrutan, penempatan lokasi dan penugasan, peraihan prestasi, promosi dan mutasi, evaluasi kerja dan kinerja tahunan hingga tes kejiwaan secara berkala, treatment atau psikoterapi terhadap anggota yang mempunyai gejala atau sudah terdampak gangguan kejiwaan sperti stres, depresi, kecemasan hingga ke tingkat berat akibat tugas atau beban lainnya.Â
Selain itu, pentingnya kajian psikologi forensik di tubuh POLRI secara mendalam harus disempurnakan dengan adanya anggota polisi yang jadi peneliti khusus untuk bidang psikologi forensik ini, dapat juga bekerja sama dengan menggunakan peneliti independen atau peniliti resmi pemerintah, yang salah satu tujuan utamanya adalah untuk menemukan penyebab terjadinya kasus-kasus yang  berkenaan dengan efek-efek negatif dari faktor kognitif, afektif dan perilaku anggota kepolisian akibat dari beban tugas-tugas yang tak mampu diemban atau beban lainnya.Â
Sehingga kemudian, institusi kepolisian dapat dengan segera menemukan cara mengatasi, menangani, melakukan psikoterapi atau treatment yang tepat terhadap anggotanya, dan lalu memutuskan tindakan yang apa akan dilakukan selanjutnya berdasarkan hasil psikoterapi atau treatment tersebut. Termasuk di dalamnya, tindakan pemberhentian dengan hormat melalui pertimbangan khusus untuk kepentingan dinas atau tidak memenuhi syarat jasmani rohani.   Â
Referensi
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H