Mohon tunggu...
Sunan Amiruddin D Falah
Sunan Amiruddin D Falah Mohon Tunggu... Administrasi - Staf Administrasi

NEOLOGISME

Selanjutnya

Tutup

Hukum Pilihan

Keliru Kolektif di Balik Kasus Anak dan Disabilitas, Simpulan Peneliti atau Paranormal?

7 Desember 2024   06:28 Diperbarui: 7 Desember 2024   06:32 109
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Supriyanto/kompas.id

Di balik ramainya hujatan warganet terhadap kasus anak dan disabilitas yang berhadapan dengan hukum, terdapat sebuah fenomena menarik yang membuat banyak orang keliru dalam melihat dan menilai siapa yang salah dan siapa yang benar pada kedua kasus hukum tersebut. 

Peristiwa itu mencerminkan bahwa kekhilafan dalam perkara kriminal yang berhadapan dengan hukum tidak bisa dikecualikan hanya karena pelakunya tampak lemah, tidak sempurna atau belum berusia dewasa. 

Sebab yang patut dijadikan tersangka bukan karena seseorang memiliki kekuatan atau kesempurnaan fisik atau faktor usia dewasa, melainkan adanya unsur pemenuhan kesalahan dan berdasarkan minimal 2 alat bukti.  

Baca juga: Sempilan

Oleh karenanya, prasangka, dugaan, hingga tuduhan warganet yang justru menjatuhkan kesalahan pada orang yang terlihat kuat, sempurna atau dewasa mengindikasikan adanya kekeliruan kolektif ketika menyaksikan berbagai argumentasi, pendapat atau bahkan pengakuan oleh yang awalnya diduga tak mungkin menjadi pelaku. 

Keliru kolektif itu kemudian menimbulkan pertanyaan bahkan kecurigaan terhadap kinerja aparat penegak hukum. 

Seperti diketahui oleh publik, pada Sabtu, 30 November 2024, seorang remaja berinisial MAS (14) membunuh ayahnya, APW (40) dan neneknya, RM (69) dengan sajam.

Kejadian itu membuat gempar Perumahan Taman Bona Indah, Lebak Bulus, Jakarta Selatan hingga merambah ke media sosial.

Tanda tanya besar yang lalu dipertanyakan oleh publik adalah motif dari remaja tersebut. Dan umumnya, pada kasus-kasus semacam, yang paling ingin diketahui publik adalah motifnya. 

Seba rasa penasaran atas motif pulalah yang membuat publik ingin mengetahui mengapa anak remaja berusia 14 tahun bisa melakukan hal yang bagi banyak orang dinilai di luar nalar. Bagaimana mungkin seorang anak berusia remaja berusia 14 tahun sanggup membunuh orang tua dan neneknya sendiri?

Salah satu dugaan yang kemudian menguat dan dianggap menjadi motif, yaitu kemungkinan pelaku remaja ini mendapat tekanan psikologis dan berkorelasi dengan kesalahan pola asuh (parenting) yang diterapkan orang tuanya. 

Dugaan itu diperkuat oleh berita yang beredar di media sosial terkait orang tua sang anak, yang katanya agak keras dan memaksa dalam mendidik.    

Juga bergulirnya informasi tentang sang anak yang mendapat tekanan dengan keharusan belajar agar menjadi cerdas dan nantinya dapat diterima di perguruan tinggi negeri, dan berkuliah di Universitas Indonesia (UI). 

Hal itu, yang kemudian disebut sebagai ambisi orang tua dan memungkinkan menjadi penyebab anak tersebut mengalami depresi hingga halusinasi lalu berhadapan dengan hukum.   

Tetapi dugaan itu ternyata dibantah, bahkan dari berbagai informasi di portal berita online bantahan langsung datang dari anak yang sedang berhadapan dengan hukum tersebut. 

Selain itu, beredar juga informasi bahwa pelaku tergolong anak yang cerdas. Artinya dugaan tertekan atau depresi akibat pola asuh yang keras atau otoriter cenderung terbantahkan.

Ada satu informasi yang lalu mengemuka dan kabarnya diungkapkan oleh pelaku, dan menjadi penyebab dirinya melakukan tindakan melawan hukum. Yaitu adanya bisikan gaib, yang memintanya untuk melakukan perbuatan itu. 

Menurut Psikiater Forensik Natalia Widiasih Raharjanti, bisikan gaib adalah istilah awam yang dalam konteks budaya dan spiritual sering kali diasosiasikan dengan pengalaman supranatural. 

"Dalam konteks budaya atau spiritual, istilah ini digunakan untuk menggambarkan pengalaman mendengar suara yang dianggap berasal dari makhluk gaib, roh, atau kekuatan supranatural," ujarnya ketika diwawancarai Kompas.com, Selasa (3/12/2024).

Namun, dalam dunia psikiatri, fenomena ini dapat dikategorikan sebagai halusinasi pendengaran, yakni persepsi mendengar suara yang terasa nyata, meskipun tidak ada sumber suara eksternal. 

"Halusinasi sendiri adalah fenomena gangguan sensori yang dirasakan seseorang seolah-olah nyata, meskipun tidak ada sumber rangsangan di lingkungan sekitarnya," jelas Natalia. 

Bila memang tidak ada sumber rangsangan di lingkungan sekitar dan tanpa adanya penyebab yang menunjukkan bahwa sang anak mengalami gangguan psikologis, bagaimana gangguan sensori tersebut dapat muncul dan dirasakan seolah-olah nyata olehnya? 

Jangan-jangan, simpulan secara psikologis yang merupakan bagian dari sedemikian banyak hasil riset atau penelitian tentang bisikan gaib yang berasal dari gangguan sensori memang bukan faktor penyebab di kasus anak ini. Tetapi apakah kita percaya bahwa bisikan itu berasal dari makhluk gaib, roh, atau kekuatan supranatural?

Di kasus kedua, warganet dibuat terhenyak oleh dugaan pelecehan atau perkosaan terhadap seorang mahasiswi, yang dialamatkan kepada seorang pemuda disabilitas. 

Sebagian besar daya nalar warganet tentu akan berpikir sepakat bahwa sangat tidak masuk akal atau di luar nalar, seorang pemuda yang tidak memiliki kedua tangan bisa melakukan pelecehan atau perkosaan. 

Tetapi faktanya, aparat hukum dengan segala keterangan, saksi dan bukti yang telah didapat, sudah menetapkan yang bersangkutan sebagai tersangka. 

Meskipun demikian, daya nalar kolektif masyarakat yang juga seakan berlaku secara umum dan kolektif pula, masih berupaya menolak gagasan bahwa pemuda disabilitas bisa jadi tersangka. 

Terlebih korbannya adalah seorang mahasiswi dewasa yang secara fisik dan intelektual seharusnya mampu melakukan perlawanan. Apakah seorang disabilitas bisa melakukan pelecehan atau perkosaan kepada wanita dewasa dan berpendidikan pula? 

Pertanyaan yang sama juga banyak diungkapkan warganet di media sosial. Apalagi pemuda disabilitas itu berani membuat permintaan terbuka bahkan ke presiden agar dirinya dibantu untuk kasus yang sedang menjeratnya. 

Di dalam permintaan terbuka melalui media sosial itu dia tidak hanya meminta bantuan, tetapi sekaligus menunjukkan dan berupaya melakukan konformitas agar warganet empati dan simpati serta mendukung dirinya. 

Namun beberapa hari setelahnya, alasan kepolisian menjadikan pemuda disabilitas dijadikan tersangka didukung oleh berbagai informasi dari orang-orang yang mengenal pemuda disabilitas tersebut, bahkan korban pelecehan yang dilakukan oleh pemuda disabilitas itu sudah mencapai 13 orang. 

Hal itu bukan hanya membuat warganet kembali tercengang dan bertanya, bagaimana caranya? Tetapi sekaligus memberi kesadaran nalar bahwa apa yang selama ini terbangun dan dibangun adalah keliru kolektif atau kesalahan kolektif. 

Sesuatu yang menurut logika tak mungkin dan kemudian dalam perspektif kesepakatan umum dalam ranah pikiran kolektif terbentuk pola pelaku pelecehan atau perkosaan hanya mengarah pada nondisabilitas atas manusia berfisik sempurna 

Bahwa orang-orang yang mempunyai keterbatasan fisik tak mungkin melakukan perbuatan tercela, jahat atau kriminal, yang di dalam perbuatan tersebut mengharuskan pelaku melakukannya dengan anggota tubuh yang justru tak dimiliki oleh pelaku. 

Namun kenyataannya, perbuatan bisa terjadi dan dilakukan dengan cara lain. Melalui intimidasi, membuat tekanan psikologis dan menjatuhkan mental korbannya sehingga mampu dibuat manut. 

Itulah mengapa dari ranah ilmu pengetahuan dari sisi ilmiah lewat ilmu psikologi dan mental, semestinya kita tidak mudah dibuat keliru. 

Sementara dari sisi kajian ilmiah, kasus disabilitas tentu bisa diteliti dan diuji melalui metode tertentu bidang ilmu psikologis. Hanya saja, lagi-lagi muncul sisi mistisnya. 

Sebab beredar informasi bahwa pelaku disabilitas yang diketahui bernama Agus, menggunakan mantra, dalam melakukan aksinya saat melakukan pelecehan atau perkosaan kepada korban. 

Sehingga bagi masyarakat, yang sedekat ini telah terbentuk pola pikir mistis akan cenderung percaya bahwa ada keterlibatan ilmu gaib yang membuat pelaku disabilitas agus mampu memengaruhi korbannya. 

Di sinilah daya nalar kolektif kembali diuji. Pengujian ini seharusnya melibatkan peneliti bidang keilmuan psikologi forensik untuk mampu membantah secara ilmiah simpulan-simpulan yang bersifat mistis dari pola berpipikr paranormal. 

Jadi peneliti berbasis ilmu psikologi forensik atau paranormal yang berbasis ilmu gaib, yang lebih kita percaya atas simpulan kasus anak dan disabilitas yang berhadapan dengan hukum? 

Referensi

https://lifestyle.kompas.com/read/2024/12/04/130500020/kata-pakar-kejiwaan-soal-bisikan-gaib-yang-berakibat-remaja-bunuh-ayah-dan

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Hukum Selengkapnya
Lihat Hukum Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun