Tetapi itu dulu. Di masa sekarang, bagi orang-orang yang tidak mampu mengendalikan dirinya untuk memenuhi kebutuhan penghargaan dan aktualisasi diri, keberadaan platform digital dan platform media sosial tentu menjadi media dan akses mudah untuk mereka mendapatkan dua kebutuhan itu meskipun dengan cara-cara yang melanggar etika, norma atau nilai dan bahkan tanpa sadar dengan merusak diri sendiri dan masa depan. Â
Di generasi topping, gaya hidup "biar tekor asal kesohor" yang telah bertransformasi jauh lebih keren dan lebih luas dan tersaji dalam bentuk flexing, dan kini sudah menjadi salah satu yang bisa disebut sebagai dampak negatif dari internet yang bisa berakibat fatal bagi para pelakunya.
Sudah banyak contoh, mereka yang flexing dan pada akhirnya terungkap, diketahui bahwa uang yang didapat berasal dari pinjaman atau berutang, yang lainnya dari hasil menipu banyak orang. Contoh-contoh gagalnya mereka yang menggapai keinginan dan memuaskan pemenuhan kebutuhan dengan cara flexing atau "biar tekor asal kesohor", harusnya menjadi contoh yang tidak diikuti jejaknya. Tetapi dengan cara apa agar kita tidak tergoda pada gaya hidup dan dapat menghindari flexing atau perilaku "biar tekor asal kesohor"?
Meliterasi gaya hidup "biar tekor asal kesohor" sang biang kerok penyebab utang tidak mudah. Namun hal yang paling utama agar literasi yang dilakukan berhasil adalah dengan literasi mengubah kebiasaan agar masyarakat paham bahwa kebiasaan yang mengarah pada perilaku pemenuhan gaya hidup sangat berpotensi jadi masalah sehingga harus diubah.Â
Caranya harus dimulai dari diri sendiri. Misalnya, mulai mengubah kebiasaan scroll aplikasi belanja dengan mengendalikan diri dengan menutup aplikasi-aplikasi belanja, dan mengubahnya dengan membuka aplikasi-aplikasi bisnis sederhana. Mengubah kebiasaan makan di restoran dengan mulai belajar dan memasak sendiri. Agar berdampak pada kebiasaan buruk besar lainnya yang dapat diubah.Â
Selain mengubah kebiasaan yang mengarah pada "biar tekor asal kesohor" atau flexing, literasi gaya hidup "biar tekor asal kesohor" harus mampu menyentuh beberapa hal berikut agar orang-orang yang menerapkan gaya hidup tersebut paham dan segera mengubah atau berhenti:
1. Literasi keuangan atau finansial. Agar memberikan pemahaman bahwa diperlukan pemasukan atau pendapatan keuangan yang setidaknya seimbang dalam memenuhi kebutuhan hidup agar pengeluaran tidak lebih besar. Jangan sampai lebih besar pasak daripada tiang.Â
Sehingga saat kesadaran akan kemampuan kapasitas keuangan telah dimengerti, maka bila memaksakan diri memenuhi kebutuhan hidup yang tidak mampu dijangkau akan berisiko boros, terjerat utang, tidak memiliki tabungan, dan kepemilikan aset rendah bahkan nihil.Â
2. Literasi tentang prioritas kebutuhan. Agar memberikan pemahaman bahwa kebutuhan hidup mempunyai tingkatan yang harus dipenuhi berdasarkan tingkatan yang utama terlebih dahulu. Merujuk pada teori kebutuhan Abraham Maslow, maka kebutuhan yang lebih utama harus dipenuhi oleh setiap orang adalah kebutuhan pokok atau primer seperti pakaian, makanan dan tempat tinggal.
Kemudian kebutuhan sekunder atau kebutuhan pelengkap seperti pendidikan, yaitu kebutuhan yang menjadi pelengkap dari keperluan mendasar pada kategori primer. Barulah kebutuhan tersier atau kebutuhan yang mencakup barang-barang mewah seperti mobil mewah, perhiasan mewah dan barang-barang mewah lainnya.
Setelah semua kebutuhan primer, sekunder apalagi tersier dapat dipenuhi maka pemenuhan gaya hidup apa pun dalam konteks mencari atau memenuhi kebutuhan penghargaan dan aktualisasi diri barulah bisa dicapai. Â Â