Mohon tunggu...
Sunan Amiruddin D Falah
Sunan Amiruddin D Falah Mohon Tunggu... Administrasi - Staf Administrasi

NEOLOGISME

Selanjutnya

Tutup

Lyfe Pilihan

Tren "Solo Wedding", saat Menikah Bukan Lagi Ritual Ikatan Lahir dan Batin

6 November 2024   13:37 Diperbarui: 6 November 2024   13:41 38
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber gambar: senivpetro/Freepik/kompas.com

Belum lama ini seorang penyanyi pop terkenal, Britney Spear membuat heboh jagat maya melalui unggahan videonya. Di dalam video itu, ia mengumumkan bahwa dirinya telah menikah dengan dirinya sendiri. 

Di sana ia mengenakan gaun dan kerudung pernikahan warna gading. Aksi uniknya itu tentu saja menarik perhatian banyak orang. Di antara penggemarnya ada yang memberikan dukungan dan mengatakan bahwa tindakan Britney adalah cara untuk merayakan cinta diri. 

Tetapi di balik itu, ada kecenderungan pula bahwa apa yang dilakukan oleh Britney merupakan cara untuk membalikkan kondisi mental yang sebenarnya dengan meluapkan kekecewaan atas kegagalan pernikahannya. Sebab seperti diketahui Britney Spears telah tiga kali menikah. Ia pertama kali menikah dengan Jason Allen Alexander (2004--2004), lalu dengan Kevin Federline (2004--2007), dan terakhir dengan Sam Asghari (2022--2024).

Pernikahan dengan diri sendiri, yang sering disebut juga "self-marriage" atau dalam konteks lain dikenal sebagai "Solo Wedding", adalah konsep di mana seseorang merayakan cinta dan penerimaan terhadap diri mereka sendiri, di mana terutama seorang perempuan merencanakan dan melaksanakan seluruh rangkaian acara pernikahan, tetapi tanpa kehadiran seorang pengantin laki-laki.

Di Jepang, solo wedding mulai mendapat perhatian di sekira tahun 2014 dan terus mengalami perkembangan. Bahkan di sana telah tersedia perusahaan jasa layanan solo wedding, Petit Wedding, dan telah mencatatkan peningkatan signifikan jumlah klien yang menggunakan jasanya dari tahun ke tahun. Ini berarti bahwa tren solo wedding semakin diterima di kalangan perempuan Jepang terutama yang berusia 20-30 tahun.

Salah satu alasan solo wedding semakin populer di Jepang adalah keinginan untuk merayakan momen penting dalam hidup, seperti ulang tahun, pencapaian pribadi atau merayakan momen bahagia dengan cara yang istimewa. Beberapa lainnya ingin merasakan pengalaman mengenakan gaun pengantin impian. Ada juga yang ingin menunjukkan kemapanan atau kemandirian. 

Tren solo wedding pastinya juga memicu banyak diskusi publik. Solo wedding memang tampak hebat. Namun di balik tren solo wedding sesungguhnya terdapat implikasi ketidakmampuan seseorang dalam menjalin hubungan dengan lawan jenis, menjaga hubungan yang sudah terikat, menunjukkan cara merayakan momen bahagia yang tidak tepat hingga menunjukkan gangguan mental narsis, narsisme atau narsistik.

Solo wedding yang secara terang-terangan keluar dari proses ritual aslinya karena tidak ada ikatan dengan siapa pun di dalamnya, seperti hendak melahirkan budaya bahwa pernikahan bukan lagi ritual ikatan lahir dan batin antara dua orang berlainan jenis, melainkan hanya prosesi sakral yang menunjukkan momen bahagia yang bisa dilakukan oleh siapa pun yang menginginkannya. 

Dalam solo wedding hanya cenderung memperlihatkan adanya ikatan batin. Ikatan ini pun lebih mengarah pada ikatan antara seseorang sebagai jiwa atau ruhnya dengan sisi mental atau psikologisnya. Apabila boleh disebut sebagai terapi, solo wedding tentu bermanfaat bagi mereka yang telah memiliki gejala gangguan mental narsis, narsisme atau narsistik terhadap kehidupannya yang kesepian dan membosankan tanpa adanya ikatan emosional, kasih dan cinta dengan lawan jenis.  

Tren solo wedding meskipun tidak secara langsung menjadi salah satu faktor angka perkawinan turun, korelasinya terhadap angka perkawinan justru bisa menjadi lebih dominan. Pasalnya, salah satu terjadinya tren solo wedding adalah kecenderungan bahwa kaum perempuan kini jauh lebih bisa dan cepat meraih kemapanan dibanding kaum laki-laki. Sebab perempuan sudah memiliki peluang lebih lapang untuk bersekolah dan bekerja. 

Sementara sebaliknya, kaum laki-laki kini jauh lebih sulit mendapat pekerjaan dan penghasilan yang layak sehingga masih jauh dari kemapanan, yang menyebabkan banyak kaum laki-laki kini lebih memilih untuk tidak menikah atau menahan untuk tidak menikah sebelum mencapai kemapanan ekonomi. Pertanyaan mendasarnya, apakah solo wedding dapat dianggap lazim jika tak ada ikatan lahir batin antara dua orang berlainan jenis dengan tujuan membentuk sebuah keluarga?   

Referensi

https://www.kompas.com/tren/read/2024/08/15/180000765/-solo-wedding-jadi-tren-bagi-perempuan-jepang-apa-itu-?page=all

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Lyfe Selengkapnya
Lihat Lyfe Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun