Mohon tunggu...
Sunan Amiruddin D Falah
Sunan Amiruddin D Falah Mohon Tunggu... Administrasi - Staf Administrasi

NEOLOGISME

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Logika Fanatik Versus Fanatik Logika, Ketika Rasionalitas Iman Dipertanyakan

2 November 2024   14:58 Diperbarui: 2 November 2024   15:45 38
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Bagi logika, pasti tak habis pikir saat menyaksikan sebuah tayangan video di salah satu kanal YouTube, yang  isinya suatu metode pengobatan, pengasihan, pembuka pintu rezeki hingga jodoh dengan cara tidak biasa; di luar nalar. Bagaimana mungkin akal sehat bisa menerima cara menghentikan kenakalan anak dan suka melawan orang tua hanya dengan menggunakan air rendaman celana dalam (CD) yang kemudian digunakan untuk memasak nasi?

Selain itu, beberapa ritual lainnya seperti cara meningkatkan fokus pada anak perempuan yang sulit menangkap pelajaran adalah dengan cara menyentuh kemaluan sang anak lalu diletakkan ke dahi anak tersebut berulang kali.

Belum lagi penyembuhan dengan mengunakan centong nasi kayu, penarik rezeki dengan menyentuh alat kelamin lalu menempelkannya pada barang atau benda yang diinginkan. Semua ritual tersebut bagi kaum rasional tentu membuat terperangah dan sama sekali tidak masuk akal. 

Menyusul kemudian berita kontroversi tentang seorang dai yang menyatakan bisa berkomunikasi dengan semut, cacing dan jin hingga malaikat. Meskipun belakangan muncul tayangan klarifikasi dan permintaan maaf dari yang bersangkutan dan wakilnya, masyarakat rasional menilai bahwa ternyata masih banyak orang berwatak lemah, bermental inferior dan gampang dibohongi oleh tokoh pembawa, perantara atau pemuka agama.     

Di lain waktu, timbul polemik nasab yang belakangan terjadi dan pada akhirnya mengungkapkan cerita tentang bagaimana mentalitas inferior, watak lemah dan feodalisme agama kembali mengemuka.

Bagaimana kemudian orang-orang bisa teramat mudah patuh dan tunduk pada pembawa, perantara atau pemuka agama, selayaknya sebagian besar orang yang memuja habib di masa kini. Bahkan dalam konteks kepatuhan yang dinilai tidak masuk akal bagi kaum rasional.    

Sampai terdapat satu narasi kalimat yang pada satu titik cukup membuat nalar kritis setiap orang yang berpikir rasional seperti dihantam palu godam. Narasi kalimat itu berbunyi "Seorang habib bodoh lebih mulia dari 70 kyai". Sebuah narasi yang memberi kesan hendak membangun kultus bagi keturunan Nabi Muhammad Shalallahu Alaihi Wassalam. 

Sehingga jalan pikiran masuk akal murni yang bagiannya masih melekat pada orang-orang beriman, setelah dipengaruhi oleh mental superioritas dalam feodalisme agama, tidak lagi menyisakan sedikit pun nalar kritis bagi pengikut yang pembawa, perantara atau pemukanya ajarannya menebarkan narasi tersebut. 

Maka alih-alih menyadari bahwa pikiran rasionalnya telah mati dan beralih pada posisi kesadaran magis, logika imannya pun telah beralih menjadi logika yang fanatik. 

Berbeda dari logika kultus yang berarti jalan pikiran yang masuk akal hanya jika mengarah pada penghormatan atau kesukaan berlebihan seorang fan, fandom atau para pemuja atas tokoh idola atau  pada sesuatu yang diyakininya saja, logika fanatik lebih cenderung menguat pada kepercayaan atau keyakinan suatu ajaran terutama ketika ajarannya dipengaruhi oleh pembawa, perantara atau pemuka ajaran tersebut. 

Jadi, logika fanatik (fanatical logic) merupakan jalan pikiran yang masuk akal terhadap kepercayaan atau keyakinan pada suatu ajaran yang teramat kuat bagi yang mengimaninya. 

Sehingga bagi yang mengimani suatu ajaran sedemikian kuatnya, jalan pikiran yang masuk akal baginya hanya berasal dari apa yang diimaninya saja, tetapi sekaligus juga berpotensi menjadi orang yang mudah dipengaruhi oleh pembawa, perantara atau pemuka ajaran tersebut. Dengan demikian, apakah mereka yang berpandangan pada logika fanatik dapat dikatakan sesat pikir dan sesat iman?

Belum usai permasalah keimanan yang selama ini telah dibangun, dipegang teguh, dipercaya atau diyakini dan dilaksanakan untuk menjadi jalan kembali bagi setiap manusia setelah kematiannya nanti, yang ternyata beberapa bagiannya telah disusupi segenap ritual atau perilaku tak logis di luar nalar oleh para pembawa, perantara atau pemuka ajarannya, keimanan (logika iman) terhadap suatu ajaran kini dihadapkan juga pada pertanyaan di mana keberadaan Tuhan. Rasionalitas iman dipertanyakan oleh kaum rasional. 

Yaitu golongan orang-orang yang teramat kuat atau selalu mengedepankan seluruh hal atau perkara menurut pikiran dan pertimbangan yang logis; menurut pikiran yang sehat; cocok dengan akal, dengan menggunakan pengetahuan tentang kaidah berpikir atau melalui jalan pikiran yang masuk akal sehingga sesuai dan benar menurut penalaran. Sederhananya, kaum rasional adalah mereka yang fanatik logika. 

Fanatik logika (logic fanatic) adalah jalan pikiran berbasis kaidah berpikir yang teramat kuat sehingga selalu mengedepankan pikiran yang masuk akal, logis, rasional dan meminta suatu hal atau perkara melalui penalaran dan pembuktian. 

Orang-orang yang fanatik pada logika akan menutup diri dari iman apalagi dengan segala sesuatu yang bernama mukzijat, keajaiban, gaib atau mistis. Orang-orang yang fantatik logika bahkan cenderung lebih ekstrem dari mereka yang agnostik dan ateis. Sebab bukan hanya esksistensi Tuhan dan iman yang dipertanyakan, seluruh hal atau perkara yang bagi mereka tidak masuk akal akan ditolak dan dipertanyakan. Ekstremnya, kentut sekali pun seharusnya bisa dibuktikan konkretnya, bukan hanya sekadar memunculkan bunyi atau baunya semata. 

Oleh karena itu orang-orang beriman yang kebablasan pada logika fanatik pastilah sangat bertolak belakang dengan orang-orang yang fanatik logika. Logika fanatik versus fanatik logika, keduanya berada di luar logika iman, yang satu berlebihan dalam memercayai atau meyakini suatu ajaran sampai cenderung menjadi budak dan bodoh, satunya lagi sama sekali tidak mengakui adanya iman karena segala hal atau perkara tidak bisa begitu saja dipercayai atau diyakini tanpa entitas.         

Bagi kaum rasional murni atau orang-orang fanatik logika, mereka yang tergolong mengimani suatu ajaran dengan berlebihan (logika fanatik) hanya mengalami sesat pikir tapi tidak sesat iman. Sebab iman (kepercayaan atau keyakinan) bagi kaum rasional memang tak ada. Jadi tak mungkin mengatakan sesat iman bila keberadaannya saja tidak diakui ada. 

Sebab itulah kaum rasional atau orang-orang fanatik logika menilai bahwa logika fanatik termasuk logika iman merupakan logika konyol, berpikiran sempit dan lucu yang dipakai oleh orang-orang yang percaya atau yakin pada suatu ajaran. Maka saat kemudian rasionalitas iman dipertanyakan, apakah logika iman bisa menjawab atau membuktikan keberadaan Tuhan?

Melalui autokritik rasionalitasnya, kaum rasional atau orang-orang fanatik logika bahkan dinilai berhasil membantah secara rasional berbagai argumentasi yang berupaya membuktikan eksistensi Tuhan. Argumentasi kosmologis, ontologis, moralitas, henologis, teleologis, kontingensi dan argumentasi lainnya dianggap tetap tidak bisa menunjukkan keberadaan Tuhan secara konkret. 

Bantahan yang dirasa lebih mencengangkan adalah ketika argumentasi pengalaman religius personal atau argumen religius experience juga dinilai cacat nalar. Pengamalan personal tetap dianggap tidak mewakili eksistensi Tuhan dalam entitas yang konkret walaupun telah ada sejumlah penelitian yang mendukung argumentasi ini bahwa pengalaman personal beranjak dari keberadaan satu titik di otak manusia yang bisa terhubung dengan spritual atau religiositas yang biasa disebut god spot.         

Dalam artikel berjudul "Logika Iman: Bukan Sekadar Konsekuensi Logis" dilakukan uji coba untuk memunculkan gambar yang ada dari sebuah koin dengan cara dilempar. Secara rasional, berapa kali pun koin dilempar, konsekuensi logis yang akan muncul dari kepingan permukaan koin yang berada di posisi atas hanya akan terdiri dari angka atau gambar. 

Tetapi ada satu konsekuensi tak logis yang bisa dihasilkan dari lemparan koin, yaitu posisi koin berdiri. Suatu posisi yang ketika dilakukan di momen logis (kondisi logis) eksistensinya mudah dikonkretkan. Namun tentu sangat sulit bila dilakukan pada momen koin dilempar (kondisi tak logis) untuk menghasilkan posisi koin berdiri. 

Meskipun sulit, lemparan koin dengan hasil posisi koin berdiri tetap bisa konkret terjadi. Di sinilah pengalaman personal memperlihatkan bahwa, bila kaum rasional tak mengalami pengalaman religius (menghasilkan posisi koin berdiri dari lemparan), bukan arti orang-orang beriman tak ada yang mengalaminya, dan tidak berarti bahwa orang-orang beriman yang tidak mengalaminya kemudian harus berhenti memercayai atau meyakini keimanannya.        

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun