Jadi, logika fanatik (fanatical logic) merupakan jalan pikiran yang masuk akal terhadap kepercayaan atau keyakinan pada suatu ajaran yang teramat kuat bagi yang mengimaninya.Â
Sehingga bagi yang mengimani suatu ajaran sedemikian kuatnya, jalan pikiran yang masuk akal baginya hanya berasal dari apa yang diimaninya saja, tetapi sekaligus juga berpotensi menjadi orang yang mudah dipengaruhi oleh pembawa, perantara atau pemuka ajaran tersebut. Dengan demikian, apakah mereka yang berpandangan pada logika fanatik dapat dikatakan sesat pikir dan sesat iman?
Belum usai permasalah keimanan yang selama ini telah dibangun, dipegang teguh, dipercaya atau diyakini dan dilaksanakan untuk menjadi jalan kembali bagi setiap manusia setelah kematiannya nanti, yang ternyata beberapa bagiannya telah disusupi segenap ritual atau perilaku tak logis di luar nalar oleh para pembawa, perantara atau pemuka ajarannya, keimanan (logika iman) terhadap suatu ajaran kini dihadapkan juga pada pertanyaan di mana keberadaan Tuhan. Rasionalitas iman dipertanyakan oleh kaum rasional.Â
Yaitu golongan orang-orang yang teramat kuat atau selalu mengedepankan seluruh hal atau perkara menurut pikiran dan pertimbangan yang logis; menurut pikiran yang sehat; cocok dengan akal, dengan menggunakan pengetahuan tentang kaidah berpikir atau melalui jalan pikiran yang masuk akal sehingga sesuai dan benar menurut penalaran. Sederhananya, kaum rasional adalah mereka yang fanatik logika.Â
Fanatik logika (logic fanatic)Â adalah jalan pikiran berbasis kaidah berpikir yang teramat kuat sehingga selalu mengedepankan pikiran yang masuk akal, logis, rasional dan meminta suatu hal atau perkara melalui penalaran dan pembuktian.Â
Orang-orang yang fanatik pada logika akan menutup diri dari iman apalagi dengan segala sesuatu yang bernama mukzijat, keajaiban, gaib atau mistis. Orang-orang yang fantatik logika bahkan cenderung lebih ekstrem dari mereka yang agnostik dan ateis. Sebab bukan hanya esksistensi Tuhan dan iman yang dipertanyakan, seluruh hal atau perkara yang bagi mereka tidak masuk akal akan ditolak dan dipertanyakan. Ekstremnya, kentut sekali pun seharusnya bisa dibuktikan konkretnya, bukan hanya sekadar memunculkan bunyi atau baunya semata.Â
Oleh karena itu orang-orang beriman yang kebablasan pada logika fanatik pastilah sangat bertolak belakang dengan orang-orang yang fanatik logika. Logika fanatik versus fanatik logika, keduanya berada di luar logika iman, yang satu berlebihan dalam memercayai atau meyakini suatu ajaran sampai cenderung menjadi budak dan bodoh, satunya lagi sama sekali tidak mengakui adanya iman karena segala hal atau perkara tidak bisa begitu saja dipercayai atau diyakini tanpa entitas. Â Â Â Â Â
Bagi kaum rasional murni atau orang-orang fanatik logika, mereka yang tergolong mengimani suatu ajaran dengan berlebihan (logika fanatik) hanya mengalami sesat pikir tapi tidak sesat iman. Sebab iman (kepercayaan atau keyakinan) bagi kaum rasional memang tak ada. Jadi tak mungkin mengatakan sesat iman bila keberadaannya saja tidak diakui ada.Â
Sebab itulah kaum rasional atau orang-orang fanatik logika menilai bahwa logika fanatik termasuk logika iman merupakan logika konyol, berpikiran sempit dan lucu yang dipakai oleh orang-orang yang percaya atau yakin pada suatu ajaran. Maka saat kemudian rasionalitas iman dipertanyakan, apakah logika iman bisa menjawab atau membuktikan keberadaan Tuhan?
Melalui autokritik rasionalitasnya, kaum rasional atau orang-orang fanatik logika bahkan dinilai berhasil membantah secara rasional berbagai argumentasi yang berupaya membuktikan eksistensi Tuhan. Argumentasi kosmologis, ontologis, moralitas, henologis, teleologis, kontingensi dan argumentasi lainnya dianggap tetap tidak bisa menunjukkan keberadaan Tuhan secara konkret.Â
Bantahan yang dirasa lebih mencengangkan adalah ketika argumentasi pengalaman religius personal atau argumen religius experience juga dinilai cacat nalar. Pengamalan personal tetap dianggap tidak mewakili eksistensi Tuhan dalam entitas yang konkret walaupun telah ada sejumlah penelitian yang mendukung argumentasi ini bahwa pengalaman personal beranjak dari keberadaan satu titik di otak manusia yang bisa terhubung dengan spritual atau religiositas yang biasa disebut god spot.     Â