Seorang teman bernama Sely pernah berkata bahwa dirinya tidak ingin punya anak dari pernikahannya nanti. Â Dia tak menyukai anak-anak. Dia akan memilih bercerai jika suaminya nanti memberi dua pilihan; punya anak atau cerai. Keputusannya tidak akan berubah katanya. Itu yang Sely ungkapkan kepada saya di suatu pertemuan.
Tetapi setahun kemudian ketika saya sempat berkomunikasi dengannya pada sebuah momen. Sely mengatakan bahwa dirinya sudah menikah dan mempunyai bayi berusia enam bulan. Belum sempat saya berucap sepatah kata padanya, Sely berujar, "Ternyata prinsip manusia mudah kalah seiring berjalannya waktu". Saya langsung mengingat dan menangkap maksud di balik perkataan Sely.
Lalu belum lama ini, saat susunan kabinet Prabowo Subianto-Gibran Rakabuming Raka dibentuk dan diumumkan. Publik digital dibuat heboh oleh jejak digital salah seorang tokoh yang lebih dikenal sebagai pendakwah dengan panggilan Babe Haikal, yang dilantik sebagai Kepala Badan Penyelenggara Jaminan Produk Halal.Â
Masalahnya, dalam jejak digital yang bikin heboh publik terdapat penyampaian Babe Haikal yang dinilai bertentangan dengan kenyataan. Penyampaian bertentangan Babe Haikal pada jejak digital itu antara lain berbunyi, "...Lalat yang berkumpul di dalam sebuah bangkai lebih bagus daripada ulama yang berkumpul di depan pintu penguasa... Sampai mati oposisi siapa pun presidennya..."
Bahkan selanjutnya disebutkan pada penyampaiannya, sekali pun Prabowo presidennya akan oposisi terhadap Prabowo detik itu juga. Babe Haikal sendiri telah membuat klarifikasi terkait konten sampai mati oposisi. Bahwa oposisi yang dimaksud olehnya adalah oposisi terhadap kejahatan dan kesewenang - wenangan.Â
Tetapi berbeda menurut analisa dari Refly Harun dalam kanal YouTubenya @ReflyHarunOfficial dengan mengatakan bahwa apa yang dikatakan Babe Haikal di jejak digital jelas "cetho welo-welo".
Bahwa opisisi terhadap kejahatan dan kesewenang-wenangan adalah amar ma'ruf nahi mungkar, bukan opisisi. Menurut Refly beroposisi adalah berdiri di luar pemerintahan, memasang jarak dengan kekuasaan. Kalau seseorang bagian dari pemerintahan bagaimana dirinya mendefinisikan bahwa dia oposisi?Â
Di jejak digital YouTube lainnya, seorang Cak Imin atau Muhaimin Iskandar pernah ditanya dalam suatu acara Slepet Imin dijelang Pilpres 2024. Seorang perwakilan pemuda bertanya, yang inti pertanyaannya, apakah Cak Imin mau untuk tetap di posisi oposisi atau justru ikut koalisi jika kalah?Â
"...Kalau kalah tentu saya siap untuk menjadi oposisi dalam rangka menjaga keseimbangan dan kontrol terhadap pemerintah...Oposisi sama mulianya dengan penguasa untuk menjadi kontrol dari pembangunan nasional". Demikian potongan jawaban Cak Imin.Â
Tapi di kabinet yang disebut-sebut kabinet gemuk, nyatanya Cak Imin menerima jabatan menteri dan dilantik sebagai Menteri Koordinator Bidang Pemberdayaan Masyarakat. Di dunia maya, jejak digital sepertinya tak bisa terhapus untuk waktu yang lama.Â
Beberapa waktu yang telah berlalu pernah beredar informasi tentang sejumlah figur publik media sosial yang menyatakan pamit dari aktivitas bermedia sosial di masing-masing kanalnya. Namun baru dua atau tiga hari, sosok figur publik  tersebut sudah kembali mengunggah video terbarunya. Perilaku sosok figur publik media sosial ini mengundang berbagai komentar negatif dan sindiran dari warganet.
Sampai ada di antara sosok figur publik itu melaporkan beberapa akun yang komentarnya dinilai keterlaluan.  Pamitnya  sosok figur publik dari kegiatannya bermedia sosial tetapi kemudian melakukan kegiatannya lagi hanya dalam hitungan hari adalah fenomena cuhlep di dunia digital.Â
Sely, yang awalnya berprinsip tak ingin punya anak bila menikah tapi akhirnya memiliki bayi setelah menikah. Babe Haikal yang bilang oposisi sampai mati lalu masuk kabinet Prabowo-Gibran sebagai Kepala BPJHP. Muhaimin Iskandar yang menjawab siap untuk oposisi jika kalah tetiba menjabat Menteri Koordinator Bidang Pemberdayaan Masyarakat, merupakan fakta-fakta semakin meningkatnya fenomena cuhlep di masyarakat. Lantas cuhlep ini fenomena apa?Â
Di era teknologi informasi sekarang, perilaku cuhlep mulai terpublikasi oleh orang-orang dengan terang-terangan.  Fenomena cuhlep ini bahkan dilakukan oleh para tokoh dan figur publik.  Mereka tak peduli dengan komentar negatif, sindiran dan caci maki dari warganet. Boleh jadi cuhlep yang mereka lakukan bertujuan untuk mencari sensasi, prank, menyadari kekeliruan, perbaikan diri atau bertujuan mendapatkan keuntungan dan lainnya. Â
Ada satu idiom yang terkait erat dengan fenomena cuhlep, yakni "menjilat ludah sendiri". Dalam arti sebenarnya menjilat ludah sendiri adalah suatu perbuatan yang menjijikkan. Bagaimana tidak menjijikkan apabila ludah yang sudah dibuang dari dalam mulut kemudian dijilat kembali. Sebagai sebuah idiom, menjilat ludah sendiri berarti menarik kembali apa yang sudah dibuang, menerima kembali sesuatu yang dulu pernah ditolak atau orang yang tak tahu malu. Sebuah tindakan yang membuat orang tidak melakukan sesuatu sesuai omongan awalnya.
Jika merujuk pada Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) kata cuh memiliki arti kata seru untuk mengusir atau menggalakkan anjing. Dalam aktivitas sehari-hari, kata cuh seringkali digunakan oleh banyak orang baik disadari maupun tanpa disadari ketika melakukan aktivitas membuang air liur yang dirasa harus segera dikeluarkan dari dalam mulut.
Sedangkan kata lep merupakan sinonim dari kata caplok, santap, atau makan. Diambil dari salah satu narasi iklan kudapan berbahan dasar daging dengan slogan "tinggal lep", yang melekat terus dalam ingatan banyak orang. Fenomena cuhlep dipinjam dari idiom menjilat ludah sendiri dan diambil dari kata cuh dan lep.Â
Cuhlep dimaksudkan untuk orang yang telah membuang atau melepas suatu kata, kalimat, janji atau sumpah untuk melakukan atau tidak melakukan suatu perbuatan dari mulut atau ucapannya kepada seseorang, atau banyak orang di muka umum atau ruang publik tetapi kemudian ditarik atau diambil kembali (tidak dilakukan atau malah dilakukan, yang tidak sesuai dengan omongan  awalnya).
Fenomena cuhlep bukan cancel culture. Cuhlep membatalkan kata, kalimat janji atau sumpah diri sendiri. Namun fenomena cuhlep bisa berarti munculnya kesadaran diri atau perbaikan diri seseorang atas kekeliruan atau kesalahan yang dirasa tidak relevan, tidak tepat atau tidak sesuai lagi dengan kata hati, norma, nilai atau kebiasaan yang ada.
Sementara lepcuh adalah fenomena sebaliknya. Segala sesuatu yang sudah dimakan (dilep) lalu karena tidak enak, tidak suka atau sebab alasan penolakan lainnya, dibuang (dicuh). Yaitu kata, kalimat, janji atau sumpah yang diungkapkan kepada seseorang, atau banyak orang di muka umum atau ruang publik, yang telah diakui dan diperbuat dalam tindakan tetapi kemudian dibuang, dilepas, tidak lagi diakui atau tidak lagi diperbuat karena alasan tertentu.Â
Secara umum, fenomena lepcuh seringkali terjadi di dunia politik dan bisa ditemukan di dunia digital. Janji-janji para elite politik terpilih, yang cenderung dilaksanakan pada masa-masa awal menjabat saja tetapi tidak berjalan secara konsisten adalah contoh dari sekian banyak fenomena lepcuh yang terjadi dan dapat disaksikan lewat konten-konten di berbagai platform digital atau platform media sosial.  Â
Namun selama fenomena cuhlep dan lepcuh dibatalkan dengan alasan menyadari kekeliruan atau kesalahan dalam upaya untuk memperbaiki diri, tentu saja perbuatan itu menjadi baik atau terpuji, setidaknya bagi diri sendiri. Problemnya, bila fenomena cuhlep dan lepcuh dibatalkan karena ego, harta, tahta atau berbagai macam keuntungan, apakah pembatalannya akan bernilai positif ke depannya?Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H