Mohon tunggu...
Sunan Amiruddin D Falah
Sunan Amiruddin D Falah Mohon Tunggu... Administrasi - Staf Administrasi

NEOLOGISME

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

Stigma dan Spatles: Cara Keliru Membaca Pribadi Orang

15 Oktober 2024   05:55 Diperbarui: 15 Oktober 2024   08:57 46
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Sehingga pribadi orang atau kepribadian seseorang dalam rekam jejak baik atau buruk yang telah dilabeli sebenarnya tidak mungkin bisa dibaca 100%. 

Oleh karenanya, jangankan orang lain yang tidak mengenal, teman dekat, sahabat, kerabat hingga saudara sedarah sekalipun, tidak akan mengetahui baik dan buruk pribadi seseorang secara pasti. 

2. Keburukan umumnya sangat cenderung ditutup-tutupi untuk melindungi atau menjaga nama baik. Stigma merupakan penggunaan stereotipe tipe heterostereotipe, yang justru bisa digunakan untuk situasi sebaliknya, menyerang pribadi seseorang dengan cara menstigma. 

Sementara kebaikan sangat cenderung dibuka atau diungkapkan secara autostereotipe, terutama untuk menarik simpati dan atensi masyarakat luas. Spatles, jadi salah satu cara yang tepat untuk meraih simpati dan atensi itu. 

3. Ada tendensi bahwa stigma dan spatles sengaja dibangun untuk melakukan separasi (separation), pemisahan antara orang-orang yang melakukan stigma atau spatles dan orang-orang yang distigma atau dispatles, untuk mendapatkan tujuan tertentu bagi yang melakukannya. 

Di titik ini, eksistensi kaum sebelah dengan kecenderungan logika kultus dan logika fanatisme yang digunakannya, patut dicurigai sebagai pihak yang bertanggungjawab atas stigma atau spatles yang bertumbuh dan berkembang di momen-momen tertentu. 

4. Diskriminasi yang terbentuk secara otomatis setelah pelabelan, stereotipe dan separasi oleh masing-masing kaum sebelah, menciptakan kebimbangan atau keraguan bagi tiap individu dalam upaya mengetahui kebenaran yang sesungguhnya serta menghadirkan jurang pemisah bagi kaum sebelah lainnya untuk bisa menerima kebersamaan dalam sikap netral. 

Demikianlah alasan mengapa stigma dan spatles dapat membuat sebagian besar masyarakat keliru membaca pribadi orang. Bila dahulu blusukan hingga ke gorong-gorong merupakan bentuk spatles, maka dalam demokrasi ke depan akan bergeser menjadi stigma. 

Oleh sebab itu, belajarlah untuk mulai menilai kebaikan atau keburukan orang dengan tidak menggunakan sudut pandang stigma atau spatles agar hasil penilaian objektif, logis dan netral serta tidak merugikan di kemudian hari.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun