Dalam proses menghasilkan peluang itulah terdapat satu kondisi tak logis yang dapat terjadi, kondisi yang bisa memosisikan koin tidak berada atau memunculkan angka atau gambar di posisi atas.
Padahal koin dalam posisi tersebut merupakan kondisi logis yang ketika tidak diupayakan dalam menghasilkan peluang melalui lemparan, bisa dihadirkan, dimunculkan atau ditunjukkan.Â
Tetapi posisinya memang tidak dapat masuk ke dalam kategori konsekuensi logis (bukan sekadar konsekuensi logis) ketika bisa hadir, muncul atau berhasil ditunjukkan pada aktivitas lemparan koin dalam menghasilkan seberapa besar peluang angka atau gambar berada atau muncul di posisi atas.
Melalui satu posisi koin yang bukan sekadar konsekuensi logis itulah logika iman dapat diuraikan dalam cara berpikir yang masuk akal. Karena posisi itu ada, bisa hadir atau muncul dalam keadaan yang masuk akal saat logika tidak dalam posisi menentangnya.Â
Kemudian posisi itu ternyata bisa ada atau bisa dihadirkan juga saat logika dalam posisi kuat menentangnya, oleh karena peluangnya dalam momen atau kondisi tak logis (lemparan koin), yang secara logika tidak masuk akal untuk bisa dihadirkan.
Satu posisi koin ini selanjutnya menjadi referensi, preferensi atau sumber analogi untuk menguraikan hal-hal yang tidak masuk akal atau umumnya identik dengan mukjizat, keajaiban, gaib atau mistik secara logis dalam perspektif keimanan. Satu posisi koin yang dimaksud adalah posisi 'koin berdiri'.
Bagi orang-orang yang tidak menggunakan iman atau selalu mengedepankan logika, posisi koin berdiri yang dihasilkan dari lemparan, hanya akan disebut sebagai kebetulan atau unsur ketidaksengajaan.Â
Sederhananya, logika iman merujuk pada kondisi logis yang terjadi pada momen tak logis (menjadi kondisi tak logis) di luar pilihan-pilihan konsekuensi logis yang seharusnya terjadi.Â
Referensi
https://khazanah.republika.co.id/berita/m1yjbi/logika-iman