Iman dan logika seringkali dianggap bertentangan, karena iman seringkali dikaitkan dengan hal-hal yang tidak masuk akal, dan logika adalah hal-hal yang masuk akal. Hal-hal yang tidak masuk akal umumnya identik dengan mukjizat, keajaiban, gaib atau mistik.
Tetapi kata iman dan akal memiliki kecenderungan yang tidak tepat bila ditempatkan pada posisi dikotomi. Menempatkan iman versus logika hanya akan menguatkan pertentangannya. Padahal iman mempunyai cakupan makna lebih luas dari sekadar mukzijat, keajaiban, gaib atau mistik.
Kata iman cenderung lebih tepat sebagai kata hipernim (kata umum) dan kata logika adalah hiponimnya (kata khusus atau bagian dari umum). Maka jika menempatkan iman pada posisi dikotomi, logika tidak bersedia menjadi bagiannya. Sehingga cuma akan melahirkan pertentangan dan debat sepanjang masa.
Iman yang berarti kepercayaan (yang berkenaan dengan agama); keyakinan dan kepercayaan kepada Allah, nabi, kitab, dan sebagainya; ketetapan hati; keteguhan batin; keseimbangan batin, dalam realitas kehidupan senantiasa justru beranjak dari hal-hal yang masuk akal.
Dalam konteks religiositas, iman adalah mempercayai dan meyakini dengan sepenuh hati, mengucapkan (mengikrarkan) dengan lisan dan mengamalkannya dengan perbuatan.
Kemudian pada konteks yang sama dari salah satu referensi agama, logika iman dimaknakan sebagai daya nalar rasional yang disandarkan sepenuhnya kepada Alquran dan sunah.Â
Jadi, pandangan tentang hal-hal yang masuk akal dan yang tidak masuk akal sepenuhnya merujuk pada apa yang sudah dan akan digariskan (destiny) Allah Subhanahu Wa Taala.
Untuk memahami logika iman diperlukan daya nalar rasional, kelogisan (logis), akal sehat dan akal pikiran. Bukan sekadar hanya berlandaskan pada kepercayaan dan keyakinan. Sebab untuk sampai ke tahap percaya dan yakin, otak dan kalbu harus bisa menerima sesuatu yang akan dipercaya dan diyakininya berdasarkan kelogisan.
Berdasarkan jalan pikiran yang masuk akal (logika), mari mengawali logika iman dengan mengenal konsekuensi logis. Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), konsekuensi adalah akibat (dari suatu perbuatan, pendirian, dan sebagainya); persesuaian dengan yang dahulu. Sementara logis ialah sesuai dengan logika; benar menurut penalaran; masuk akal. Konsekuensi logis berarti dapat dimaknakan sebagai akibat yang sudah diketahui dan disepakati berdasar kesesuaian pendahulunya menurut penalaran yang masuk akal.
Contoh sederhana, kalau seseorang lapar maka konsekuensi logisnya makan, sebab lapar merupakan akibat yang sudah diketahui dan disepakati serta berkesesuaian dengan apa yang mendahuluinya dan masuk akal saat manusia belum makan, dalam waktu dan kondisi logis tertentu.Â
Begitupun ketika seseorang haus maka konsekuensi logisnya minum. Kelogisan inilah yang mendasari kepercayaan dan keyakinan bahwa orang yang lapar akan, harus, atau hanya bisa dibatalkan oleh makan, dan orang yang haus akan, harus, atau hanya bisa dibatalkan oleh minum.
Mari kita tarik ke contoh yang agak lebih rumit! Bila merujuk pada logika atau kelogisan, berapa peluang angka atau gambar berada atau muncul di posisi atas dari sebuah koin yang dilempar satu kali?
Dengan menggunakan rumus mencari peluang P(K) = n(K)n(S), P(K): Peluang Kejadian, n(K): Banyak Kejadian, dan n(S): Ruang Sampel. Lalu diketahui 1 (satu) koin dilempar sekali dan ditanya berapa peluang muncul angka atau gambar.
Dijawab, ruang sampel n(S) = 2 (sisi angka dan gambar), banyak kejadian n(K) = {A} = 1 atau n(K) = {G} = 1, maka P(K) = n(K)n(S) = 12 = Â untuk angka maupun gambar. Lalu berapa peluang angka atau gambar berada atau muncul di posisi atas dari sebuah koin yang dilempar sepuluh, seratus hingga seribu kali atau lebih?
Secara logis berapa pun peluang sisi angka atau sisi gambar berada atau muncul di posisi atas, yang dihasilkan oleh sepuluh, seratus hingga seribu kali atau lebih koin dilempar, konsekuensi logisnya, sisi yang akan berada atau muncul di posisi atas hanya angka atau gambar. Sehingga menjadi tidak logis bila yang berada atau muncul di posisi atas di luar dari dua sisi itu.
Namun ternyata ada sebuah posisi yang tidak pernah disangka bisa terjadi dari koin yang dilemparkan. Tidak dapat dipastikan juga berapa kali koin harus dilempar untuk memunculkan posisi di luar posisi angka atau gambar berada atau muncul di posisi atas.
Hanya saja, faktanya pernah terjadi dan bisa terjadi posisi di luar angka dan gambar muncul dari koin yang dilempar. Sebuah posisi yang tidak termasuk ke dalam peluang atau konsekuensi logis yang bisa dihasilkan atas koin yang dilempar.
Sebab dalam kondisi logis terbukti pula ketika di luar lemparan atau tanpa dilempar, posisi dari koin yang tidak bisa menunjukkan angka atau gambar berada atau tampak di posisi atas, dapat dimunculkan atau ditunjukkan. Tetapi mengapa posisi ini sangat sulit dihasilkan oleh lemparan, dan peluangnya hampir tidak ada, nyaris nihil atau 0 (nol) sehingga posisinya tidak termasuk konsekuensi logis?
Di sanalah iman (kepercayaan dan keyakinan) dibutuhkan, bahwa manusia perlu menggunakan akal yang harus sesuai dengan proporsinya. Bila akal manusia tidak mampu, maka iman melengkapi peran akal untuk dapat memastikan hal-hal yang tampak tidak masuk akal sekalipun dapat dijelaskan secara logis dari perspektif keimanan.Â
Karena sesuatu yang tidak masuk akal, bukan berarti tidak ada, bagi iman (kepercayaan atau keyakinan terhadap Allah Subhanahu Wa Taala) tidak ada yang tidak mungkin.
Koin yang terdiri dari sisi angka dan sisi gambar merupakan kondisi logis yang akan memosisikan angka atau gambar berada atau muncul di posisi atas sebagai konsekuensi logis dalam menghasilkan peluang sesaat setelah koin dilempar.Â
Dalam proses menghasilkan peluang itulah terdapat satu kondisi tak logis yang dapat terjadi, kondisi yang bisa memosisikan koin tidak berada atau memunculkan angka atau gambar di posisi atas.
Padahal koin dalam posisi tersebut merupakan kondisi logis yang ketika tidak diupayakan dalam menghasilkan peluang melalui lemparan, bisa dihadirkan, dimunculkan atau ditunjukkan.Â
Tetapi posisinya memang tidak dapat masuk ke dalam kategori konsekuensi logis (bukan sekadar konsekuensi logis) ketika bisa hadir, muncul atau berhasil ditunjukkan pada aktivitas lemparan koin dalam menghasilkan seberapa besar peluang angka atau gambar berada atau muncul di posisi atas.
Melalui satu posisi koin yang bukan sekadar konsekuensi logis itulah logika iman dapat diuraikan dalam cara berpikir yang masuk akal. Karena posisi itu ada, bisa hadir atau muncul dalam keadaan yang masuk akal saat logika tidak dalam posisi menentangnya.Â
Kemudian posisi itu ternyata bisa ada atau bisa dihadirkan juga saat logika dalam posisi kuat menentangnya, oleh karena peluangnya dalam momen atau kondisi tak logis (lemparan koin), yang secara logika tidak masuk akal untuk bisa dihadirkan.
Satu posisi koin ini selanjutnya menjadi referensi, preferensi atau sumber analogi untuk menguraikan hal-hal yang tidak masuk akal atau umumnya identik dengan mukjizat, keajaiban, gaib atau mistik secara logis dalam perspektif keimanan. Satu posisi koin yang dimaksud adalah posisi 'koin berdiri'.
Bagi orang-orang yang tidak menggunakan iman atau selalu mengedepankan logika, posisi koin berdiri yang dihasilkan dari lemparan, hanya akan disebut sebagai kebetulan atau unsur ketidaksengajaan.Â
Sederhananya, logika iman merujuk pada kondisi logis yang terjadi pada momen tak logis (menjadi kondisi tak logis) di luar pilihan-pilihan konsekuensi logis yang seharusnya terjadi.Â
Referensi
https://khazanah.republika.co.id/berita/m1yjbi/logika-iman
https://brainly.co.id/tugas/10186
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H