Salah satu terapi yang ada hubungannya dengan orang yang berbelanja dan menghabiskan uangnya secara impulsif adalah retail therapy. Namun, retail therapy ternyata berbeda dengan doom spending.
Retail therapy adalah di mana seseorang berbelanja untuk menghibur diri akibat masalah pribadi seperti cinta, karir, atau keluarga untuk tujuan utama membuat dirinya lebih baik, meredakan stres, meningkatkan suasana hati, dan meningkatkan kesejahteraan emosional.
Sedangkan doom spending dipicu oleh faktor eksternal, dan merasa lebih baik setelah membeli sesuatu (berbelanja), padahal tujuannya cenderung hanya untuk penenang sementara dari kecemasan finansial dan masa depan.
Dari faktor penyebab dan tujuan yang jelas sudah berbeda. Juga kesamaan perilaku dalam aktivitas berbelanja, retail therapy bukanlah cara yang tepat untuk dapat menghentikan fenomena doom spending. Terapi sendiri mempunyai arti usaha untuk memulihkan kesehatan orang yang sedang sakit, pengobatan penyakit dan perawatan penyakit.
Dalam konteks fenomena doom spending, bagian mana dari perilaku impulsif dalam berbelanja untuk menenangkan kecemasan finansial dan masa depan, yang bisa menjadi objek untuk dipulihkan atau diobati?
Bila merujuk pada pengetahuan psikologis, bagian yang perlu diterapi adalah kecemasannya (anxiety). Tapi pertanyaannya, bagaimana melakukan terapi pada pelaku doom spending, yang justru menggunakan itu sebagai caranya untuk mengalihkan kecemasan?
Antisipasi Doom Spending dengan Literasi FinansialÂ
Kecemasan keuangan atau finansial dan kecemasan terhadap masa depan cenderung disebabkan oleh ketidakmampuan, ketidaktahuan atau ketidakinginan seseorang dalam mengelola keuangan atau finansialnya.
Salah satu faktor penyebab ketidakmampuan, ketidaktahuan atau ketidakinginan mengelola finansial dapat dipastikan terjadi karena mereka tidak atau belum memiliki bekal pengetahuan tentang literasi finansial.
Bila melihat data, tingkat literasi keuangan Indonesia memang masih terbilang rendah. Berdasarkan hasil survei Survei Nasional Literasi dan Inklusi Keuangan (SNLIK) 2024, Indeks Literasi Keuangan Nasional berada di angka 65,43 persen.
Angka tersebut masih lebih kecil dibanding tingkat literasi keuangan Malaysia, Singapura, dan Thailand. Tercatat, indeks inklusi keuangan Malaysia mencapai 88,37 persen, Singapura 97,55 persen, dan Thailand 95,58 persen.