Mohon tunggu...
Sunan Amiruddin D Falah
Sunan Amiruddin D Falah Mohon Tunggu... Administrasi - Staf Administrasi

NEOLOGISME

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Maulid: Mengurai Kerinduan pada Ahlakul Karimah dan Adab Bukan pada Karamah dan Nasab

18 September 2024   13:27 Diperbarui: 18 September 2024   13:28 32
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Selamat Maulid Nabi Muhammad 2024 (kontan)/kompas.com

"Sesungguhnya aku diutus hanya untuk menyempurnakan akhlak yang mulia"

Maulid Nabi Muhammad dan Ahlak Mulia sebagai Problem Solving

Maulid Nabi Muhammad 2024. Kadang-kadang disebut Maulid Nabi atau Maulid saja adalah peringatan hari lahir Nabi Islam Muhammad Shalallahu Alaihi Wassalam, yang menurut tradisi sebagian Sunni jatuh pada 12 Rabiulawal dan Syiah pada 17 Rabiulawal dalam penanggalan Hijriyah. 

Kata maulid atau milad dalam bahasa Arab berarti hari lahir. Perayaan Maulid Nabi merupakan tradisi yang berkembang di masyarakat Islam jauh setelah kematian Muhammad. 

Secara substansi, peringatan ini adalah ekspresi kegembiraan dan penghormatan kepada Muhammad. Sebagian yang lain menyatakan peringatan Maulid Nabi sebagai jalan kecintaan terhadap Baginda Nabi Besar Muhammad Shalallahu Alaihi Wassalam.

“Di antara umatku yang paling mencintaiku adalah, orang-orang yang hidup setelahku. Salah seorang dari mereka sangat ingin melihatku, walaupun menebus dengan keluarga dan harta.” (HR. Muslim).

Sejatinya, hari kelahiran Nabi Muhammad Shalallahu Alaihi Wassalam harus dipahami sebagai pengingat sekaligus penyemangat bagi umat Islam bahwa pesan yang dibawa oleh Nabi Muhammad ketika diutus ke muka bumi adalah untuk menyempurnakan ahlak yang mulia atau luhur. 

Maka kecintaan kepada Nabi Muhammad Shalallahu Alaihi Wassalam adalah kerinduan akan hadirnya sosok manusia dengan ahlak yang mulia, berbudi luhur dan sempurna adab. Hal inilah yang membuat umat Islam di masa hidup setelah Nabi Muhammad rela menebusnya meski dalam konteks tertentu mengorbankan keluarga dan hartanya. 

Ada banyak kisah tentang ahlakul karimah dan adab Rasul yang dirindukan oleh umatnya. Kisah-kisah yang menjadikan agama Islam yang dibawa Nabi Muhammad dikenal sebagai agama pembawa kedamaian. 

Agama yang jauh dari konotasi pedang atau perang seperti apa yang dinarasikan sekarang oleh sejumlah besar orang. 

Baca juga: Fenomena

Yaitu mereka yang begitu fobia dengan Islam ketika memandangnya hanya dari sebelah lensa. Terlebih saat beberapa pendakwahnya melengkapi narasi itu dengan isi dakwah yang bagi sebagian besar orang semakin mengukuhkan betapa Islam layak dinilai sebagai agama radikal hingga teroris.

Baca juga: Apa itu Spatles?

Sederet nama-nama pendakwah bahkan berulang kali dilaporkan ke meja hijau dan untuk kasus-kasus tertentu menerima dakwaan dan berakhir di dalam sel tahanan. 

Suatu peristiwa hukum yang tentu saja kian menambah portofolio yang buruk bagi para pemuka agama Islam itu sendiri di tengah maraknya Islamofobia. Dan logisnya, stigma Islamofobia justru lahir atau muncul dari perilaku baik ucapan maupun perbuatan yang bertentangan dengan kemuliaan ahlak yang dibawa oleh Nabi Muhammad. 

Sebab bila merujuk pada Hadist yang berbunyi إِنَّمَا بُعِثْتُ لِأُتَمِّمَ مَکَارِمَ الْاَخْلَاق‏ "Sesungguhnya aku diutus hanya untuk menyempurnakan akhlak yang mulia", berarti bahwa seluruh masalah sosial, budaya dan agama, serta hadirnya kedamaian, kenyamanan dan keamanan pada masa itu, solusi atau pemecahannya mengacu pada ahlak mulia yang dibawa oleh Nabi Mumammad. 

Kisah Ahlakul Karimah dan Adab Nabi Muhammad

Di antara ribuan kisah ahlakul karimah dan adab Nabi Muhammad, ada tiga kisah yang patut diteladani dan seringkali dikisahkan dari generasi ke generasi melalui beragam acara, dakwah, pengajaran dan diceritakan kembali di berbagai media baik berupa teks, gambar, audio-video. Dua kisah ini mendeskripsikan bahwa pada ujungnya ahlak mulia, budi luhur dan adab menunjukkan bagaimana pada dirinya melekat problem solving. 

Kisah pertama, tentang Nabi Muhammad yang setiap hari dicaci, dihina dan dilempari kotoran unta pada suatu jalan yang dilewatinya ketika pergi ke mesjid untuk beribadah. 

Jangankan membalas perbuatan orang itu, saat suatu hari Nabi Muhammad tahu bahwa orang yang melemparinya dengan kotoran unta tidak melakukan kebiasaan buruknya karena sakit, Nabi Muhammad malah menjenguknya. 

Kisah kedua, ada seorang pengemis Yahudi buta di pasar Madinah Al Munawarah yang selalu meminta-minta. Tetapi setiap kali mengemis, ia selalu mengatakan hal-hal buruk tentang sosok Nabi Muhammad. Ia kerap berakata,  "Wahai saudaraku jangan dekati Muhammad. Dia itu orang gila, pembohong, tukang sihir, apabila kalian mendekatinya akan dipengaruhinya."

Namun Nabi Muhammad yang mengetahui perbuatan si pengemis sama sekali tidak merasa sakit hati atau marah. Beliau justru memberi makanan dan menyuapi sang pengemis dengan penuh kasih sayang. Kebiasaan tersebut terus berlanjut setiap hari, bahkan si pengemis itu tak tahu bahwa yang menyuapinya makan adalah Nabi Muhammad yang ia benci. 

Hingga suatu hari Rasulullah wafat. Kemudian melalui Aisyah RA berpesan pada Abu Bakar tentang kebiasaan Nabi Muhammad yang selalu memberi pengemis makan. Abu Bakar segera datang menemui pengemis di pasar sambil membawa makanan. Ketika diberi makanan oleh Abu Bakar, pengemis itu menolak karena ia tahu bahwa orang yang memberinya makanan kali ini bukanlah seperti orang yang biasanya.

Ia menolak makanan dari Abu Bakar sebab orang yang biasa mendatanginya selalu menyuapi, dan terlebih dahulu menghaluskan makanan sebelum menyuapinya. Mendengar informasi itu, Abu Bakar hanya bisa menangis karena ia tahu betapa mulianya Nabi Muhammad kepada semua orang, sekalipun pada orang yang telah menghinanya.

Lalu Abu Bakar berkata, "Aku memang bukan orang yang biasa datang padamu. Aku adalah salah seorang sahabatnya, orang yang mulia itu telah tiada. Ia adalah Muhammad Rasulullah SAW."

Setelah mendengar penjelasan dari Abu Bakar, pengemis buta itu terkejut. Ia ikut menangis dan berkata, "Benarkah demikian?, Selama ini aku selalu menghinanya, memfitnahnya, dan ia tidak pernah marah sedikit pun, ia datang kepadaku dengan membawa makanan setiap pagi, ia begitu mulia."

Usai kejadian tersebut, si pengemis buta yang menghina Nabi Muhammad itu langsung mengucapkan syahadat di hadapan Abu Bakar

Kisah ketiga, ada seorang Arab Badui yang ingin mengetahui seperti apa akhlak Rasulullah Shalallahu Alaihi Wassalam. Seperti dikutip dari akun @PenaTarimStore yang bersumber dari 'Buku-Buku Islam' menceritakan, beberapa waktu setelah wafatnya Nabi Muhammad, para sahabat masih dalam keadaan sangat berduka. 

Seorang Arab badui datang menemui Sayyidina Umar bin Khattab RA dan berkata, “Ceritakan padaku tentang akhlak Muhammad!” Sayyidina Umar menangis mendengar permintaan itu. Ia tak sanggup berkata apa-apa. Ia menyuruh Arab badui ini menemui Bilal RA. Setelah ditemui dan diajukan permintaan yang sama, Bilal pun menangis dan tak sanggup menceritakan apa pun. Bilal hanya dapat menyuruh orang tadi menjumpai Sayyidina Ali bin Abi Thalib RA. 

Si Badui ini merasa heran. Bukankah Sayyidina Umar dan Bilal sahabat-sahabat senior dan setia Nabi? Mengapa mereka tak sanggup menceritakan akhlak Muhammad? Dengan berharap-harap cemas, Badui ini kemudian menemui Sayyidina Ali. Dengan linangan air mata Sayyidina Ali berkata, “Ceritakan padaku keindahan dunia ini! Badui ini menjawab, “Bagaimana mungkin aku dapat menceritakan segala keindahan dunia ini….”

Ali kemudian berkata, “Engkau tak sanggup menceritakan keindahan dunia padahal Allah telah berfirman bahwa sungguh dunia ini kecil dan hanyalah senda gurau belaka, lalu bagaimana aku dapat melukiskan akhlak Muhammad Shalallahu Alaihi Wassalam, sedangkan Allah telah berfirman bahwa sungguh 'Muhammad Memiliki Budi Pekerti Yang Agung.”. 

Demikian kisah Badui, yang memberi pelajaran bahwa keindahan akhlak Rasulullah Shalallahu Alaihi Wassalam tak dapat dilukiskan dengan kata-kata. 

Tiga kisah dari ribuan kisah kemuliaan ahlak Nabi Muhmmad, selain mempertegas alasan mengapa Nabi Muhammad diutus ke muka bumi, juga menggambarkan betapa kemuliaan ahlak dapat menjadi acuan untuk pemecahan atau solusi (problem solving) atas seluruh masalah sosial, budaya dan agama, serta mampu menghadirkan kedamaian, kenyamanan dan keamanan.

Bukan Karamah dan Nasab

Kerinduan umat Islam akan sosok Baginda Nabi Besar Muhammad Shalallahu Alaihi Wassalam yang dideskripsikan pada peringatan-peringatan Maulid Nabi Muhammad sesungguhnya merujuk pada kerinduan akhlakul karimah dan adab Rasulullah, yang terang benderang bagaikan cahaya dan menerangi kegelapan hati manusia. 

Nabi Muhammad Shalallahu Alaihi Wassalam adalah teladan sempurna bagi seluruh umat, yang memancarkan keindahan akhlak yang mampu mentransformasi kepada jiwa-jiwa manusia yang kosong, tersesat, labil dan lemah iman. Karena setiap tindakan dan ucapannya adalah cerminan kasih sayang, kesabaran, dan keadilan yang tak terhingga. Melalui sifat shiddiq (benar dan jujur), amanah (dapat dipercaya, fathonah (cerdas), dan tablig (menyampaikan), ahlak dan adab Beliau tiada tanding dan banding. Sehingga sulit bagi umat menemukan sosok hidup seperti Nabi Muhammad untuk menjadi panutan di tengah tsunami ahlak yang sedang terjadi.

Perkara kemuliaan ahlak pulalah yang kini cenderung meluntur hingga ke kalangan para tokoh agama, sebab lebih mengedepankan kisah-kisah karamah (keramat, penghormatan atau kemuliaan dari Allah Subhanahu Wa Taala) yang disisipkan ke dalam setiap dakwah atau berbagai acara dan program keagamaan untuk menarik perhatian umat ketimbang menunjukkan kisah-kisah tentang ahlakul karimah dan adab. 

Begitupun yang tampak dalam kehidupan sehari-hari para pemuka agama sekarang, terutama Islam, yang tersaji pada umat lewat media sosial bukanlah ahlak yang luhur dan adab yang sempurna melainkan condong pada perilaku pamer, kasar, berpolemik, termasuk di dalamnya menonjolkan perihal nasab daripada adab. 

Suatu perilaku yang tidak menguraikan kerinduan umat pada sosok Nabi Muhammad, yang membawa ahlakul karimah dan adab untuk menyempurnakan agama Allah, melainkan memunculkan pertanyaan, dugaan, pertentangan sampai superioritas atas pertalian kekeluargaan berdasarkan hubungan darah, baik ke atas, ke bawah, maupun ke samping, yang lagi-lagi tanpa melekatkan ahlakul karimah dan adab bersamanya. 

Padahal di zaman Rasulullah Shalallahu Alaihi Wassalam, tradisi membanggakan (menyombongkan) nasab adalah salah satu sifat jahiliyah, dan Nabi Muhammad datang untuk menghapusnya. Meskipun tidak boleh membanggakan (menyombongkan) nasab, dalam konteks lain juga tidak boleh menutupi nasab. 

Namun yang pasti dan patut menjadi renungan seluruh umat Islam adalah firman Allah dalam ayat yang memiliki arti "Sesungguhnya orang yang paling mulia di antara kamu di sisi Allah ialah orang yang paling taqwa di antara kamu"

Referensi


https://www.cnnindonesia.com/edukasi/20230410130121-569-935681/kisah-pengemis-buta-yang-menghina-nabi-muhammad

https://id.wikipedia.org/wiki/Maulid_Nabi_Muhammad  

https://kalam.sindonews.com/berita/1403444/70/kisah-seorang-arab-badui-bertanya-tentang-akhlak-rasulullah      

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun