Mohon tunggu...
Sunan Amiruddin D Falah
Sunan Amiruddin D Falah Mohon Tunggu... Administrasi - Staf Administrasi

NEOLOGISME

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Kaum Sebelah, 'Tone Deaf' dan 'Overly Sensitive' di Media Sosial

4 September 2024   07:14 Diperbarui: 4 September 2024   13:05 243
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber Gambar: (PEXELS/RODNAE Productions/lifestyle.kompas.com) 

Flexing berbuntut bullying kerap terjadi di dunia maya. Beberapa kasus flexing bahkan berlanjut ke KPK hingga berujung bui. Tapi kali ini gaung yang mencuat lebih dahulu adalah narasi "tone deaf" usai adanya flexing dari seorang tokoh populer di media sosial. Apa itu tone deaf?

Tone deaf atau tuli nada berasal dari istilah musik. Frasa yang kemudian digunakan untuk menggambarkan seseorang yang tidak peka atau tidak acuh terhadap pendapat, kondisi, peristiwa, perasaan atau preferensi publik. Terutama ketika mereka melakukan aksi, tindakan atau ucapan yang mengganggu banyak orang.

Ketidakpekaan alias tone deaf ini rupanya ditujukan untuk menilai status media sosial istri Kaesang, Erina Gudono, yang dianggap tidak peka terhadap kondisi dan situasi yang tengah berkembang di masyarakat ketika memposting perjalanannya ke Amerika Serikat dengan memperlihatkan naik pesawat yang diduga private jet, makan roti seharga Rp400 ribu dan membeli stroller atau kereta bayi berharga puluhan juta.

Perilaku tone deaf di media sosial boleh dibilang sudah umum terjadi, bedanya ketika itu dilakukan oleh tokoh populer atau figur publik, dampaknya bias kemana-mana. Termasuk ke perkara perundungan yang tidak mempunyai korelasi sama sekali terhadap kondisi yang dianggap tone deaf

Coba bayangkan betapa saktinya netizen +62 saat topik yang seharusnya dibahas adalah perihal perilaku ketidakpekaan tentang dugaan pamer kemewahan terhadap kondisi masyarakat yang tengah berjuang mengawal konstitusi, tiba-tiba beralih ke bau badan alias bau ketiak seseorang yang notabene hanya bisa dicium atau diketahui melalui indera penciuman di dunia nyata. Teknologi apa coba, yang bisa mencium aroma dari jarak jauh?  

“Ya Allah lagi hamil gede, dikata-katain mba Erina. Perkara roti Rp400 ribu. Mbak Erina ini keluarga kaya loh dari orok. Masalahnya simple, orang miskin tapi nyalahin pemerintah,” tulis Diviayu Catur Wulandari. Demikian pembelaan Finalis Putri Sultra 2018 untuk Erina. Apakah reaksi pembelaan untuk Erina termasuk tone deaf?

Boleh jadi netizen menilai reaksi pembelaan atas perilaku tone deaf sama saja dengan tone deaf itu sendiri. Namun di ruang-ruang digital, ketika suatu perilaku yang bahkan sepele atau negatif sekalipun, bisa direaksi dalam satu circle yang sama, menunjukkan bahwa ada cara berpikir dengan kecenderungan membentuk konformitas kelompok di media sosial. 

Sebab di luar perilaku tone deaf atau ketidakpekaan, juga terdapat perilaku highly sensitive person (HSP) atau secara negatif disebut overly sensitive. Yaitu istilah yang digunakan untuk menggambarkan seorang individu yang sensitif atau sangat peka terhadap sistem saraf pusat terhadap rangsangan fisik, emosional, atau sosial. HSP menunjukan seseorang yang memiliki tingkat kepekaan yang tinggi atau bisa dikatakan terlalu peka. 

Dalam konteks interaksi sosial digital, HSP ini tentu sangat peka terhadap rangsangan emosional atau sosial yang tersaji di ruang-ruang digital. Kepekaannya terhadap pendapat, kondisi, peristiwa, perasaan atau preferensi publik di berbagai platform digital dan platform media sosial lebih tepat disebut sebagai perilaku overly sensitive.

Sederhananya, overly sensitive yang dimaksud di dunia digital merupakan individu sensitif atau sangat peka terhadap berita, informasi, pendapat, kondisi, peristiwa atau preferensi publik sehingga senantiasa bereaksi atau merespon baik dengan ucapan maupun tindakan atau aksi di media sosial. Reaksi atau respon yang diungkapkan tentu saja condong untuk menguatkan atau berdiri untuk bertahan membela satu sisi.     

Baca juga: Asingo'

Perilaku overly sensitive yang kerap dilakukan dalam interaksi sosial digital kemudian cenderung mengeliminasi sisi sebelahnya tanpa melakukan verifikasi atau validasi lewat olah akalbudi sehingga hanya berfokus pada apologi dan keyakinan semu atas ego diri terhadap berita, informasi, pendapat, kondisi, peristiwa, perasaaan atau preferensi publik. 

Reaksi atau respon dengan bahasa atau aksi yang menempatkan akal pikiran secara terus-menerus hanya tertuju pada satu sisi atau berada di sebelah sisi meski apa pun konteksnya tanpa melihat, mengolah kebaikan dan/atau kebenarannya lalu memverifikasi serta memvalidasi, telah serta merta melahirkan apa yang disebut 'kaum sebelah'. 

Sebelah kanan, sebelah kiri, sebelah mata, sebelah tangan, sebelah kaki, sebelah otak, sebelah dukungan atau sebelah lainnya, yang tidak pernah berkenan atau sudi menempatkan akal budi (akal pikiran) ke dalam dua sisi untuk menyelami kebaikan dan kebenaran yang sesungguhnya. 

Kaum sebelah adalah orang-orang yang dengan apologi dan keyakinan semu atas ego dirinya, yang terus-menerus dipertahankan membela dan tetap berada di satu posisi tanpa sedikit pun berkenan atau sudi mengubah sebagian atau sejumlah pandangan, apologi dan keyakinannya atau dengan kata lain tidak peka (tone deaf) terhadap kebaikan atau kebenaran sisi lainnya, walaupun sisi yang dipertahankannya telah menampakkan ketidakbaikan, ketidakbenaran, kecurangan atau penyimpangan secara terang benderang.

Di platform digital dan platform media sosial, kaum sebelah seringkali dapat secara jelas terindentifikasi pada setiap konten, acara atau program-progam debat, diskusi, pertarungan atau pada berita, informasi, pendapat, kondisi, peristiwa, perasaan atau preferensi publik yang menimbulkan polemik, perseteruan atau perbedaan tak berujung. 

Orang-orang yang selanjutnya disebut sebagai kaum sebelah adalah mereka yang begitu sensitif dan dengan aktif mereaksi atau merespon apa pun yang berseberangan atau berlawanan pendapat atau tidak mendukung siapa pun yang didukung olehnya, dengan terus menggaungkan masalah atau polemik tanpa peduli pada kebaikan atau kebenaran yang sudah terbukti nyata. 

Sehingga kaum sebelah hanya selalu melahirkan kebisingan, kontroversi, provokasi dan sensasi untuk menguatkan apologi dan keyakinan semu atas ego dirinya kepada sisi yang berseberangan atau berlawanan dengan dirinya untuk menunjukkan kuasa, kekuatan, kemampuan atau superioritas.   

Karakteristik yang ditunjukkan oleh kaum sebelah cenderung saklek, ajek, ngeyel, arogan, pembising, tak mau mengalah, ngotot, asingo, tak puas, tak henti menyerang meskipun dihadapkan padanya kebaikan atau kebenaran nyata. 

Baginya, tak ada gading yang retak, susu sebelanga tidak akan pernah rusak oleh nila setitik, tupai yang pandai melompat tidak akan pernah jatuh. 

Tak akan ada yang bisa mengubah pendapat, kecintaan dukungan sebagai prinsip kaum sebelah ini walaupun langit runtuh, bumi porak poranda, jagat raya hancur berkeping-keping. 

Bila diibaratkan seorang pendosa apalagi pendosa yang baberdos, maka tiada yang bisa mengubahnya sekalipun didasari oleh kemauan diri yang kuat, kecuali ada hidayah yang mendatangkan kesadaran dan keinsyafan.

Oleh karenanya, kaum sebelah dalam konteks apa pun topiknya baik ideologi, politik, ekonomi, sosial, budaya, agama atau lainnya cenderung akan memberikan sinyal bahaya bagi kesatuan, persatuan, toleransi, kedamaian dan kenyamanan pada setiap interaksi sosial digital dalam bentuk apa pun komunikasi, diskusi, debat atau dialog. 

Dari dunia politik dalam demokrasi Indonesia, sinyal bahaya yang ditimbulkan oleh kaum sebelah secara terbuka sudah sering terlihat dalam sepuluh tahun terakhir. 

Terlebih di Jelang pemilu 2024 dan akhir masa jabatan Presiden Joko Widodo. Kaum sebelah telah sangat sering menunjukkan taringnya, memperlihatkan perilaku tone deaf di satu waktu dan menampakkan perilaku overly sensitive di waktu lain. Sementara kebaikan dan kebenaran serta prestasi nyata yang ada di masing-masing sisi tak diakui atau diabaikan. 

Pada salah satu peristiwa debat yang nyaris berakhir adu jotos baru-baru ini di sebuah televisi program Rakyat Bersuara dengan tajuk "Banyak Drama di Pilkada, Kenapa?", kaum sebelah lagi-lagi memunculkan sinyal bahaya. 

Bung Rocky Gerung salah seorang narasumber dengan karakteristik menyerang, seperti diketahui tidak pernah berhenti untuk mengkritisi kepemimpinan Jokowi bahkan cenderung ajek pada pendapatnya tentang keburukan di era Jokowi, yang pada peristiwa debat hari itu lagi-lagi menggunakan kata kasar seperti bodoh dan dungu. 

Sehingga selain membuat tersinggung narasumber lainnya, Silfester Matutina, yang juga ajek menunjukkan emosional dalam mempertahankan pendapatnya, yang fokus melakukan pembelaan pada era Jokowi, serangan debat Rocky menunjukkan sinyal bahaya yang ditimbulkan oleh keduanya, dalam konteks keduanya teridenfikasi sebagai kaum sebelah. 

Maka untuk mencegah sinyal bahayanya tidak menyebar luas dan menjadi peristiwa nyata yang dapat mengganggu kesatuan, persatuan, toleransi, kedamaian dan kenyamanan, sebenarnya hanya diperlukan satu cara, yaitu mengalah untuk menang demi kebaikan bersama. Berusaha menjauhi, menghindari dan tone deaf pada kaum sebelah lainnya, tanpa perlu berperilaku over sensitive. Pada konteks ini, ungkapan "diam itu emas" patut untuk diterapkan.      

           

Referensi

https://www.gramedia.com/best-seller/highly-sensitive-person/

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun