Di era serba digital ketika semua aktivitas menjadi mudah, mau apa saja tinggal sentuh melalui layar smartphone. Bahkan bagi mereka yang tidak memiliki sepeser pun duit tak ada yang sulit.Â
Layar smartphone lewat layanan platform digital pinjol atau fitur paylater di berbagai platform e-commerce dan fintech merekomendasi hutang atau bayar nanti dengan tawaran instentif menggiurkan.Â
Meskipun kelak pada ujungnya, insentif yang diterima sudah bisa diduga tidak akan sebanding dengan jebakan yang terindikasi ada di baliknya, banyak orang tetap terjerat.Â
Parahnya, jebakan itu menyasar hingga kebutuhan perut, yang tidak lagi sekadar sebagai pemenuhan kebutuhan dasar. Begitulah alasan mengapa tidak sedikit orang di generasi topping, tertarik oleh rekomendasi makanan mall dan makanan kaki lima serta lebih memilih membelinya melalui aplikasi atau platform digital.Â
Jenis makanan mall atau makanan kaki lima online, yang dianggap lezat, bergizi, kulinerable, mengandung gengsi atau gaya hidup, yang mereka saksikan melalui konten-konten kuliner, makanan viral hingga iklan-iklan dengan beragam jenis promo yang tersaji di media-media sosial. Oleh karenanya, siapa warganet tak tergiur rekomendasi makanan mall atau makanan kaki lima online?
Mulai dari jenis makanan seperti burger dari Burger King atau McD, pizza dari Pizza Hut atau Domino's Pizza, donat dari J'Co atau Kripy Kreme, ayam goreng dari KFC atau Richeese Factory. Ada jenis makanan lainnya, yang direkomendasi dari restoran-restoran terkenal di mall seperti Solaria, D'Cost, Bakso Malang Karapitan (BMK), Gokana, Yoshinoya. Lalu ada jenis minuman yang sedang tren seperti Chatime, Janji Jiwa, Starbucks serta berbagai aneka makanan viral dan lainnya. Â
Manusia dengan segala kebutuhan dasar yang harus dipenuhinya, kini tidak lagi hanya sekadar memenuhi kebutuhan makan dengan asupan asal perut terisi. Tetapi melihat makanan dari aspek pemenuhan gizi, aktualisasi diri, kebutuhan sosial sampai untuk menjaga gengsi dan memenuhi gaya hidup.Â
Sehingga pemenuhan kebutuhan pokok untuk makanan bagi sebagian besar orang, sekarang tidak lagi cuma sekadar mengisi perut semata. Ironinya, untuk memenuhi kebutuhan di bagian ini, sejumlah orang memaksakan diri dengan menggunakan pinjol atau paylater.
Di sisi lain, rekomendasi makanan mall yang kerap menjadi menu makan banyak orang dalam upayanya memenuhi kebutuhan yang bukan lagi sekadar dinilai sebagai kebutuhan dasar, umumnya berada di atas harga standar. Artinya, untuk bisa membeli makanan mall diperlukan kocek lebih dalam untuk dapat memenuhinya.
Harga makanan mahal asal sepadan dengan rasa, selera dan mampu memenuhi kebutuhan aktualisasi diri, sosial, gengsi dan gaya hidup sepertinya sudah jadi salah satu pilihan generasi topping walaupun akan berakibat lebih besar pasak daripada tiang. Suatu pemenuhan kebutuhan dasar yang telah bertransformasi menjadi kebiasaan digital yang mampu mengalahkan menu makanan dari dapur rumah sendiri.
Bahkan untuk menu makanan seharga kaki lima, sebagian besar generasi topping kini tetap lebih memilih makan di luar atau melakukan pesanan via online melalui pengantaran ketimbang makan makanan masakan sendiri di rumah.Â
Tetapi terlepas dari segala kemudahan atas rekomendasi makanan mall atau makanan kaki lima via online, yang berkorelasi dengan aplikasi atau platform e-commerce, aplikasi ojol, para pemilik lapak penjual makanan, driver ojol dan para konsumen, ada sejumlah masalah di baliknya yang juga penting untuk diselesaikan bersama.Â
Salah satu permasalahan yang baru lalu mengemuka adalah keluh kesah para ojol (ojok online) buntut pendapatan yang semakin anjlok akibat potongan tarif yang besar, dan penerapan 'aceng' atau argo goceng untuk jenis layanan pengantaran makanan.Â
Dikutip dari kompas.com, Wani (bukan nama sebenarnya), seorang pengemudi ojol asal Jakarta Selatan, menyatakan hal ini di tengah demo ojol di area Patung Kuda, Jakarta Pusat, Kamis (29/8/2024).
"Waktu pertama masuk Gojek tahun 2015 itu potongannya 20 persen. Dari 2017 sampai 2024 ini, (pendapatan) kami makin menurun. Argo kami menjadi Rp 8.800," kata Wani (40) saat diwawancarai Kompas.com. Selain potongan tarif, Wani juga mengeluhkan adanya "aceng" alias argo goceng, terutama dalam layanan GoFood. Driver yang mengambil orderan "aceng" hanya mendapat Rp 5.000 dari total biaya yang dibayarkan pelanggan, yang membuat pendapatan mereka turun drastis.
Pada tahun-tahun awal sebagai mitra Gojek, Wani mengaku bisa membawa pulang hingga Rp 400.000 per hari. Namun, sejak munculnya argo goceng, pendapatan mereka merosot tajam. Wani merupakan seseorang dari sekian ribu ojol yang mewakili keluh kesah ojol yang terkena dampak dari argo goceng. Bagaimana dari sisi lapak penjual makanan dan konsumen?
Senada dengan Wani dan ojol lainnya, konsumen makanan online sudah mulai merasakan beban lebih besar ketika berbelanja makanan via daring di masa sekarang. Berdasarkan pengalaman personal, sekira tiga atau empat tahun lalu ketika banyak aplikator dan platform e-commerce serta lapak penjual makanan cenderung ikut melakukan bakar uang dengan promo besar-besaran seperti voucher caschback, diskon besar, gratis ongkos pengantaran tanpa adanya biaya administrasi, penanganan atau lainnya, saya sangat terbantu dengan pemesanan makanan online lantaran harganya yang relatif murah.Â
Pengalaman tersebut juga mengingatkan saya pada pertanyaan dari mana lapak penjual makanan online mendapat keuntungan bila harga menu makanan yang dijual online ketika itu tidak berbeda dari harga jual offlinenya? Belum lagi bila harus ikut menanggung biaya diskon, potongan ongkos pengantaran hingga gratis dan potongan untuk biaya jasa aplikasi atau platform e-commercenya.Â
Namun sejak strategi promo bakar uang perlahan mulai berganti dengan strategi promo lainnya, harga relatif murah yang selama ini bisa diperoleh konsumen sudah tidak bisa didapat lagi. Terlebih daftar harga-harga menu makanan via online pada umumnya telah dinaikkan lebih dahulu, jauh di atas harga penjualan offline-nya.Â
Sementara dari sisi lapak penjual makanan, jika merujuk pada strategi daftar harga menu yang sudah dibedakan antara harga offline dengan harga online-nya, meskipun memberikan promo berupa potongan harga diskon, keuntungan masih bisa diraih. Oleh karenanya, strategi bakar uang yang tak lagi dipromokan oleh platform e-commerce atau aplikator juga cenderung telah memberikan keuntungan.Â
Maka seharusnya, tuntutan para pengemudi ojol turun ke jalan untuk menemui perwakilan Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kominfo) agar regulasi terkait tarif ojol dapat diubah demi keadilan dan kesejahteraan mereka. Termasuk menuntut penghapusan argo goceng, kembali ke layanan normal patut dipertimbangan dan menjadi bahasan khusus unuk segera dicarikan solusinya.
Â
Referensi
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H