Bahkan untuk menu makanan seharga kaki lima, sebagian besar generasi topping kini tetap lebih memilih makan di luar atau melakukan pesanan via online melalui pengantaran ketimbang makan makanan masakan sendiri di rumah.Â
Tetapi terlepas dari segala kemudahan atas rekomendasi makanan mall atau makanan kaki lima via online, yang berkorelasi dengan aplikasi atau platform e-commerce, aplikasi ojol, para pemilik lapak penjual makanan, driver ojol dan para konsumen, ada sejumlah masalah di baliknya yang juga penting untuk diselesaikan bersama.Â
Salah satu permasalahan yang baru lalu mengemuka adalah keluh kesah para ojol (ojok online) buntut pendapatan yang semakin anjlok akibat potongan tarif yang besar, dan penerapan 'aceng' atau argo goceng untuk jenis layanan pengantaran makanan.Â
Dikutip dari kompas.com, Wani (bukan nama sebenarnya), seorang pengemudi ojol asal Jakarta Selatan, menyatakan hal ini di tengah demo ojol di area Patung Kuda, Jakarta Pusat, Kamis (29/8/2024).
"Waktu pertama masuk Gojek tahun 2015 itu potongannya 20 persen. Dari 2017 sampai 2024 ini, (pendapatan) kami makin menurun. Argo kami menjadi Rp 8.800," kata Wani (40) saat diwawancarai Kompas.com. Selain potongan tarif, Wani juga mengeluhkan adanya "aceng" alias argo goceng, terutama dalam layanan GoFood. Driver yang mengambil orderan "aceng" hanya mendapat Rp 5.000 dari total biaya yang dibayarkan pelanggan, yang membuat pendapatan mereka turun drastis.
Pada tahun-tahun awal sebagai mitra Gojek, Wani mengaku bisa membawa pulang hingga Rp 400.000 per hari. Namun, sejak munculnya argo goceng, pendapatan mereka merosot tajam. Wani merupakan seseorang dari sekian ribu ojol yang mewakili keluh kesah ojol yang terkena dampak dari argo goceng. Bagaimana dari sisi lapak penjual makanan dan konsumen?
Senada dengan Wani dan ojol lainnya, konsumen makanan online sudah mulai merasakan beban lebih besar ketika berbelanja makanan via daring di masa sekarang. Berdasarkan pengalaman personal, sekira tiga atau empat tahun lalu ketika banyak aplikator dan platform e-commerce serta lapak penjual makanan cenderung ikut melakukan bakar uang dengan promo besar-besaran seperti voucher caschback, diskon besar, gratis ongkos pengantaran tanpa adanya biaya administrasi, penanganan atau lainnya, saya sangat terbantu dengan pemesanan makanan online lantaran harganya yang relatif murah.Â
Pengalaman tersebut juga mengingatkan saya pada pertanyaan dari mana lapak penjual makanan online mendapat keuntungan bila harga menu makanan yang dijual online ketika itu tidak berbeda dari harga jual offlinenya? Belum lagi bila harus ikut menanggung biaya diskon, potongan ongkos pengantaran hingga gratis dan potongan untuk biaya jasa aplikasi atau platform e-commercenya.Â
Namun sejak strategi promo bakar uang perlahan mulai berganti dengan strategi promo lainnya, harga relatif murah yang selama ini bisa diperoleh konsumen sudah tidak bisa didapat lagi. Terlebih daftar harga-harga menu makanan via online pada umumnya telah dinaikkan lebih dahulu, jauh di atas harga penjualan offline-nya.Â
Sementara dari sisi lapak penjual makanan, jika merujuk pada strategi daftar harga menu yang sudah dibedakan antara harga offline dengan harga online-nya, meskipun memberikan promo berupa potongan harga diskon, keuntungan masih bisa diraih. Oleh karenanya, strategi bakar uang yang tak lagi dipromokan oleh platform e-commerce atau aplikator juga cenderung telah memberikan keuntungan.Â
Maka seharusnya, tuntutan para pengemudi ojol turun ke jalan untuk menemui perwakilan Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kominfo) agar regulasi terkait tarif ojol dapat diubah demi keadilan dan kesejahteraan mereka. Termasuk menuntut penghapusan argo goceng, kembali ke layanan normal patut dipertimbangan dan menjadi bahasan khusus unuk segera dicarikan solusinya.
Â