Mohon tunggu...
Sunan Amiruddin D Falah
Sunan Amiruddin D Falah Mohon Tunggu... Administrasi - Staf Administrasi

NEOLOGISME

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

Mengidentifikasi 'Politik Offside' di Era Jokowi

27 Agustus 2024   11:23 Diperbarui: 27 Agustus 2024   11:29 196
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Pelanggaran offside terjadi ketika seorang pemain tim penyerang berada di posisi offside saat menerima bola dari rekan satu timnya. Posisi offside adalah posisi yang membuat pemain tim penyerang yang lebih dekat ke garis gawang dalam upayanya menciptakan gol menjadi tidak sah. 

Menurut pengamat politik Citra Institute, Efriza, menilai Gubernur Jawa Tengah Ganjar Pranowo dua kali melakukan tindakan melampaui kewenangannya alias offside.

Efriza menuturkan, Ganjar melakukan offside pertama kali ketika secara terbuka menyatakan menolak gelaran Piala Dunia U-20 di Indonesia karena keikutsertaan Tim Nasional Israel. 

Masih menurut Efriza, tindakan menelepon Penjabat (Pj) Gubernur DKI Jakarta Heru Budi Hartono untuk menyampaikan keluhan warga Ibu Kota jadi kali kedua Ganjar melakukan offside.   

Di sisi lain, ada yang menyebut bahwa salah satu tindakan politik yang teridentifikasi di luar garis batas kewenangan atau offside adalah terbitnya putusan MK Nomor 90. 

Sebuah permainan politik offside yang dipandang sejumlah masyarakat dibiarkan oleh Presiden Joko Widodo, yang tentu saja justru diduga ada cawe-cawe di balik terbitnya putusan tersebut. 

Tetapi bila diidentifikasi dan dikorelasikan dengan sepak bola, kuasa jabatan, ranah hukum dan konstitusi bukanlah pemain penyerang (striker politik), melainkan identik dengan wasit, hakim garis dan teknologi VAR. Sehingga identifikasi untuk putusan MK sebagai politik offside (pelanggaran offside), sepertinya masih belum tepat. 

Offside dalam politik seharusnya tidak sekadar didefinisikan sebagai tindakan seorang striker politik dalam melampaui kewenangannya, melainkankan berupaya menempatkan posisi strategis ke dalam pertahanan lawan politiknya meskipun berada di luar kewenganannya. 

Dengan catatan penting bahwa penempatan posisi strategis striker politik ke dalam pertahanan lawan politik mempunyai peluang untuk meraih tujuan atau mengambil keuntungan bagi diri atau kelompoknya dengan cara mengelabui kuasa jabatan, hukum dan konstitusi atau dalam konteks ini memanfaatkan kuasa jabatan, hukum dan konstitusi untuk menciptakan gol politik. Bagaimana dengan peristiwa narasi tumbangnya pohon beringin? Apakah teridentifikasi sebagai politik offside?   

Untuk mengidentifikasinya, tentu perlu diketahui 3 poin yang membuat peristiwa narasi tumbangnya pohon beringin (baca: ketum partai golkar mengundurkan diri sebelum masa jabatannya berakhir) terbaca sebagai gol politik yang mampu dijebol oleh striker politik yang telah menempatkan posisinya di jantung pertahanan lawan. Adapun 3 poin tersebut adalah:

Pertama, mengetahui terlebih dulu siapa striker politik yang telah masuk ke dalam tubuh partai bergambar pohon beringin atau golkar. Kedua, mengetahui apakah masuknya sang striker politik ke jantung pertahanan lawan politik di luar kewenangannya, sedang memanfaatkan kuasa jabatan, hukum atau konstitusi agar mudah menceploskan bola politiknya. Ketiga, mengetahui apakah penempatan striker dalam upaya menembus pertahanan lawan politiknya akan menghasilkan gol politik bagi dirinya atau kelompoknya.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun