Alkisah di sebuah negeri demokrasi terdapatlah seorang alim putra dari penjual kayu. Ia tumbuh dalam kesederhanaan bila tak layak disebut serba kekurangan atau dalam kemiskinan.Â
Pemuda alim ini lahir di Surakarta di sebuah bantaran sungai. Masa kecilnya berhubungan erat dengan kayu. Di rumahnya yang kecil di bantaran Kali Anyar, Solo, penuh dengan tumpukan kayu dan bambu.
Alim disebut karena ia dikenal sebagai sosok yang baik, sederhana, polos, jujur, peduli, penyayang dan bijak. Bagi sejumlah orang bahkan sosok alim ini paripurna tak bercela. Kesempurnaan inilah yang kemudian menahbiskan ia sebagai sosok orang alim.
Di rumahnya yang terbilang sempit, tidak banyak ruangan tersisa kecuali untuk duduk dan tidur keluarga. Pada sejumlah referensi digital ia pernah berkata bahwa "Sejak kecil saya tahu saya terbantu oleh kayu dan bambu,".Â
Lain waktu ia berkata, "Saya lahir di bantaran sungai. Sudah pernah merasakan bagaimana tidak enaknya hidup susah," Karena kesehariannya bersama kayu, ia pun kian mencintai kayu. Sampai tiba waktunya di usia kuliah dia memilih jurusan yang juga masih berhubungan dengan kayu.Â
Berkuliah di Fakultas Kehutanan di Universitas Gadjah Mada Yogyakarta. Dia ingin meneruskan tradisi leluhur, karena kakek dan ayahnya adalah seorang pedagang kayu.
Hingga akhirnya ia merintis sebuah usaha yang masih bergerak di bidang perkayuan. Namun bukan mendalami penjualan kayu mentah, melainkan pengolahan kayu menjadi barang jadi; mebel.
Usaha mebelnya tentu saja berhubungan dengan kayu sebagai bahan mentahnya, dan pohon-pohon yang ditebang sebagai penghasil bahan mentahnya.Â
Maka usahanya tak lepas dari aktivitas menebang pohon, yang tentu saja tidak dilakukannya secara mandiri karena bahan baku untuk usaha mebelnya didapat dari hasil kerja sama dari pemasok atau penebang kayu.Â
Tukang kayu atau pembuat mebel cenderung tidak menebang langsung jenis kayu dari pohon-pohon yang akan digunakannya menjadi bahan baku. Namun barangkali ia juga memiliki keahlian menebang pohon sendiri.Â