Mohon tunggu...
Sunan Amiruddin D Falah
Sunan Amiruddin D Falah Mohon Tunggu... Administrasi - Staf Administrasi

NEOLOGISME

Selanjutnya

Tutup

Lyfe Pilihan

Ketika Pencari Kerja Dibatasi oleh Ageisme, Heightisme dan Cumlaudeisme

7 Agustus 2024   19:06 Diperbarui: 7 Agustus 2024   19:15 26
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Batas usia kerja seringkali menimbulkan masalah bagi sebagian besar kandidat pelamar kerja. Sejumlah besar pencari kerja berkeluh kesah mengapa lowongan kerja kerap memberi syarat batas usia kerja. Selain batas usia, kesempatan kerja juga meminta pemenuhan syarat pengalaman kerja, agama, gender, status pernikahan, tinggi badan hingga nilai rata-rata rapor atau indeks prestasi kumulatif (IPK).

Ketika kemudian di antara syarat kerja dinilai sebagai bentuk diskriminasi, keluh kesah para pencari kerja meningkat pada anggapan bahwa syarat kerja, khususnya batas usia, tinggi badan dan nilai rata-rata atau IPK yang identik dengan pemberian pujian atau penghargaan akademik atas pencapaian nilai terbaik yang dikenal dengan sebutan cumlaude , merupakan jenis diskriminasi ageisme, heightisme dan cumlaudeisme.

Istilah ageisme diperkenalkan pertama kali oleh ahli gerontologi AS, Robert. N. Butler pada tahun 1969 lewat tulisan Age-ism: Another form of Bigotry, yang intinya menggambarkan diskriminasi terhadap warga senior. Agesime atau diskriminasi usia adalah bentuk stereotipe dan diskriminasi terhadap individu atau kelompok karena umur mereka. 

Sedangkan istilah heightisme dipopulerkan oleh Sosiolog, Saul Feldman dalam makalah berjudul "The Presentation of Shortness in Everyday Life---Height and Heightism in American society: Toward a Sociology of Stature" yang dipresentasikan pada pertemuan American Sociological Association pada tahun 1971. Heightisme atau diskriminasi tinggi badan adalah prasangka atau diskriminasi terhadap individu berdasarkan tinggi badan. 

Pada tahun 2017, pengacara dan penulis Tanya Osensky menerbitkan Shortchanged: Height Discrimination and Strategies for Social Change. Buku ini mengupas tuntas permasalahan budaya, kesehatan, dan pekerjaan yang dihadapi oleh orang-orang bertubuh pendek, yang seringkali dianggap tidak penting dan diabaikan. 

Kemudian untuk istilah cumlaudeisme muncul akibat keresahan yang sama untuk menggambarkan diskriminasi terhadap orang-orang yang tidak mendapat pujian atau kehormatan atas pencapaian prestasi nilai akademik. Cumlaude berasal dari bahasa latin yang artinya "dengan pujian" atau "dengan kehormatan". Cumlaude adalah penghargaan akademik yang diberikan kepada mahasiswa dengan indeks prestasi kumulatif atau IPK tinggi direntang angka 3.40-3.59, yang terbagi ke dalam jenis kehormatan cumlaude, magna cumlaude, summa cumlaude, agregia cumlaude dan maxima cumlaude.  

Di dunia kerja, beberapa posisi lowongan kerja yang memberikan syarat batas usia, tinggi badan dan nilai akademik cenderung tidak masuk akal. Sebab untuk posisi kerja semacam buruh, office boy/girl, tenaga serabutan atau posisi kerja tertentu yang diberikan syarat batas usia, tinggi badan atau prestasi nilai akademik, sesungguhnya tidak membutuhkan ketahanan fisik, jangkauan kerja berdasar tinggi badan atau kecerdasan IQ. Syarat-syarat tersebut justru memberikan kesan bahwa perusahaan yang membuka lowongan untuk posisi tersebut cenderung melakukan praktik diskriminasi. 

Keresahan para pencari kerja terkait persyaratan kerja semacam itulah yang juga dirasakan oleh seorang warga Bekasi, Leonardo Olefins Hamonangan, dan akhirnya berani mengajukan judicial review atas Pasal 35 ayat (1) Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan yang  menyatakan, "Pemberi kerja yang memerlukan tenaga kerja dapat merekrut sendiri tenaga kerja yang dibutuhkan atau melalui pelaksana penempatan tenaga kerja." 

Olefins menilai norma pasal yang diajukan bertentangan dengan Pasal 28D ayat (2) Undang-Undang Dasar (UUD) 1945. Menurutnya, pasal yang diuji tersebut membuka pintu bagi potensi diskriminasi karena pemberi kerja dapat memilih tenaga kerja berdasarkan kriteria yang tidak relevan dan diskriminatif seperti usia, jenis kelamin, atau etnis. Baginya, Undang-Undang yang digugat menghambat dirinya maupun pekerja lain sulit untuk mendapatkan pekerjaan. Pertanyaannya, mengapa banyak perusahaan atau instansi menerapkan syarat batas usia, tinggi badan, nilai akademik atau syarat lainnya yang menimbulkan anggapan diskriminasi?

Syarat atau ketentuan batas usia, tinggi badan atau prestasi nilai akademik yang diberlakukan untuk  melamar pekerjaan adalah cara sebuah perusahaan atau instansi dalam melakukan eliminasi awal terhadap pelamar-pelamar yang dinilai tidak produktif, tidak menarik dan/atau tidak kompeten serta tidak memenuhi kriteria untuk menempati posisi pekerjaan yang ditawarkan. Eliminasi melalui syarat atau ketentuan batas usia, tinggi badan dan/atau prestasi nilai akademik tentunya didasarkan atas kuota kebutuhan tenaga kerja yang ingin dipenuhi oleh perusahaan atau instansi ketika membuka lowongan pekerjaan. Dalam konteks ini jelas tidak ada unsur ageisme, heightisme dan/atau cumlaudeisme. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Lyfe Selengkapnya
Lihat Lyfe Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun