Mohon tunggu...
Sunan Amiruddin D Falah
Sunan Amiruddin D Falah Mohon Tunggu... Administrasi - Staf Administrasi

NEOLOGISME

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Manusia-manusia Racikan

5 Agustus 2024   15:26 Diperbarui: 5 Agustus 2024   15:44 127
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber gambar: HERYUNANTO/CHY/KOMPAS.ID

Dalam dunia bisnis kuliner dikenal istilah produk-produk instan. Sebuah istilah yang dimaknakan langsung (tanpa dimasak lama) dapat diminum atau dimakan (tentang mi, sup, kopi, susu bubuk). Untuk membuat produk-produk instan semacam mi, sup, kopi, susu bubuk agar dapat segera disantap hanya diperlukan rebusan air mendidih yang diseduh atau disiramkan ke mi, sup, kopi atau susu bubuk. 

Pada umumnya, di rumah-rumah tinggal dan warung-warung kopi, rebusan air mendidih sudah dimasak terlebih dahulu dan disimpan dalam termos. Karenanya, seringkali produk instan mi, sup, kopi, susu bubuk yang kini identik dengan kemasan sachet cuma perlu membuka kemasan, memindahkan isinya ke wadah, menyiraminya dengan air panas, mengaduk, mendiamkan beberapa saat lalu dikonsumsi.    

Selain jenis makanan (minuman) instan, dikenal pula istilah fast food atau makanan cepat saji dan junk food atau makanan sampah. Fast food atau makanan cepat saji diartikan makanan yang tersedia dalam waktu cepat dan siap disantap setelah melalui tahapan proses memasak cepat. Tetapi pada dasarnya, sejumlah besar makanan yang dijajakan baik di restoran maupun pedagang kaki lima tergolong makanan cepat saji

Sebut saja misalnya makanan cepat saji versi mancanegara seperti ayam goreng tepung (fried chicken), pizza, nugget, hamburger, sandwich, kentang goreng (french fries), donat. Kemudian makanan cepat saji versi lokal seperti bakso, mie goreng, mie ayam, nasi goreng, soto, sate, siomay, batagor dan lainnya.

Sedangkan junk food atau makanan sampah adalah makanan yang sudah dikemas atau tertutup dan kedap udara setelah melalui proses pengawetan sehingga memiliki batas waktu konsumsi lebih lama. Kandungan nilai gizi dalam makanan junk food sangat sedikit bahkan tidak ada serta tidak dibutuhkan oleh tubuh. Karena itu junk food disebut makanan yang sia-sia. Contoh makanan (minuman) junk food antara lain; permen, minuman bersoda, minuman berwarna kemasan kaleng atau botol, es krim, keripik kentang atau berbagai snack ringan lainnya. 

Selain makanan instan, makanan cepat saji dan makanan sampah, ada satu kelompok jenis makanan lain yang dalam beberapa tahun terakhir menjadi tren, yaitu makanan (minuman) racikan.

Makanan racikan identik dengan makanan (minuman) instan. Bedanya, komposisi bahan makanan atau minuman instan sudah ditakar dalam satu kemasan bungkus (sachet). Sedangkan komposisi makanan atau minuman racikan seringkali masih berubah-ubah sesuai dengan permintaan konsumen. Sehingga untuk mengonsumsi kelompok makanan atau minuman racikan, pembuat atau penjual harus melakukan proses pencampuran komposisi bahan sesuai takaran porsi atau sesuai selera permintaan konsumen saat melakukan pesanan.

Contoh kelompok makanan racikan untuk jenis minuman ada kopi racikan, teh racikan, susu racikan atau minuman racikan campuran dari beberapa bahan, lalu ada jus, milk shake dan lainnya.

 Untuk jenis makanan ada makaroni, seblak atau berbagai jenis makanan yang dibuat dengan proses pencampuran bumbu atau topping tambahan sesuai takaran porsi atau sesuai selera konsumen. Tetapi apa korelasi kelompok makanan instan, makanan cepat saji, makanan sampah dan makanan racikan ini dengan manusia-manusia racikan?

Baca juga: Berpikir Maestro

Keempat kelompok makanan di atas merupakan analogi sekaligus representasi pola perilaku manusia yang kini termanifestasi di era digital. Dampak dari perkembangan teknologi informasi dengan internet sebagai daya dukungnya, telah ikut mengubah pola perilaku sosial dalam cara manusia meraih tujuan dan mewujudkan impian hidupnya. 

Selaras dengan cepatnya pertumbuhan dan perkembangan teknologi internet dan segenap teknologi penunjangnya, pola perilaku sosial digital manusia turut membentuk karakteristik manusia instan, manusia cepat saji, manusia sampah dan manusia racikan.

Pertama, manusia instan adalah manusia yang memanfaatkan platform digital dan flatform media sosial dengan mengeluarkan effort ala kadarnya tapi berharap bisa mencapai tujuan atau mewujudkan impiannya. Faktanya, cukup banyak di era generasi topping, manusia-manusia yang dapat meraih tujuan dan mewujudkan impian dengan bermodal fase viral melalui konten-konten sepele, kontroversi, provokasi atau sensasi.  

Kedua, manusia cepat saji yaitu manusia yang telah mempelajari atau memiliki sedikit bekal pengetahuan dan/atau teknologi lalu memanfaatkan platform digital atau media sosial dengan tampilan atau klaim bahwa dirinya profesional, pakar, ahli, kompeten atau populer disuatu bidang, yang tentu saja dilakukan agar dirinya bisa segera mendapatkan jalan pintas untuk meraih tujuan dan mewujudkan impiannya. 

Jenis manusia cepat saji merujuk pula untuk manusia-manusia ahli, pakar, kompeten, profesional atau populer disuatu bidang yang memanfaatkan platform digital atau platform media sosial untuk lebih meluaskan jangkauan dan popularitasnya supaya jauh lebih cepat meraih tujuan dan mewujudkan impian. 

Ketiga manusia sampah, ini merupakan jenis manusia yang berupaya mencapai tujuan atau mewujudkan impian dengan cara membuat konten-konten nirfaedah semacam konten hoaks, ujaran kebencian dan/atau SARA, konten provokasi, kontroversi dan sensasi. Selain tidak berfaedah, konten-konten yang dibuatnya hanya menimbulkan kegaduhan, polemik, dan dapat memberikan dampak buruk bagi orang lain. 

Keempat, manusia racikan merupakan jenis manusia yang diskenario atau manusia settingan. Manusia-manusia yang berupaya meraih tujuan dan mewujudkan impian dengan  memanfaatkan platform digital atau platform media sosial lewat konten-konten settingan, dan/atau meraih tujuan dan mewujudkan impian atas bantuan keluarga, teman, kerabat dan/atau orang lain.

Salah satu manusia racikan teridentifikasi pada akun-akun usia anak hingga bayi baru lahir yang dibuatkan oleh orang tuanya, lewat akun media sosial keluarga atau akun personal nama si anak atau bayi, yang tentu saja dikelola oleh orang tua atau orang dewasa yang dipercaya. 

Di jenis kelompok ini, siapa pun bisa melihat dengan jelas bagaimana anak-anak bahkan bayi baru lahir, terutama anak-anak atau bayi para pesohor diracik sedemikian rupa sampai mempunyai fandom dalam waktu singkat dan bahkan memiliki penghasilan digital. Namun seperti diketahui, pekerja anak di ruang digital cenderung tidak akan terbaca atau dibaca aspek eksploitasinya sehingga dalam konteks digital jangan harap Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) menyentuh ranah pekerja anak digital.    

Lain anak dan bayi racikan, lain pula kreator-kreator konten pamer kekayaan (flexing), yang ujungnya diketahui bahwa harta yang dipamerkan ternyata milik orang lain, pinjaman atau hutang.

 Lain pula konten sebaliknya, unjuk kemiskinan pada sejumlah orang (target) tapi ujungnya mempertontonkan kekayaan bahwa dirinya adalah orang kaya yang sedang menguji orang lain dengan tampilan kemiskinan. Manusia-manusia racikan juga menyetting kesusahan hidupnya agar dibantu orang lain melalui donasi, menyajikan settingan hubungan pernikahan padahal tidak, dan berbagai racikan digital lainnya untuk meraih tujuan dan mewujudkan impian.

Manusia-manusia racikan adalah mereka yang sengaja atas kesadaran dirinya atau atas bantuan orang lain, baik karena diberikan maupun meminta secara langsung supaya mampu dengan segera meraih tujuan atau mewujudkan impian. Hal-hal yang berupaya diracik oleh manusia-manusia racikan berkaitan dengan konten, status sosial, status ekonomi, elektabilitas tokoh,  prestasi, nilai, jabatan atau lainnya yang dapat menarik minat, empati, simpati atau atensi publik. Termasuk bisa mempercepat, mempermudah, memenuhi persyaratan dalam upaya memenuhi kriteria verifikasi atau validasi untuk aktualisasi diri atau meraih tujuan dan mewujudkan impian.

Ada suatu peristiwa hukum di luar dunia digital yang dapat menggambarkan perbedaan antara manusia bukan racikan dengan kesadaran perjuangan penuh dirinya sendiri dalam menuntut hak sebagai warga negara dibandingkan peristiwa hukum yang tidak melewati kesadaran perjuangan dari dirinya sendiri tetapi atas racikan (bantuan) orang lain, tetapi bisa menikmati hasilnya. Peristiwa hukum tersebut adalah tentang batas usia kerja dan batas usia atas hak dipilih. 

Pada selasa, 30 Juli 2024, Mahkamah Konstitusi (MK) menolak permohonan Perkara Nomor 35/PUU-XXII/2024 mengenai pengujian materiil Pasal 35 ayat (1) Undang-Undang (UU) Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan (UU Ketenagakerjaan), dengan putusan, “Amar putusan, mengadili, menolak permohonan Pemohon untuk seluruhnya,” ujar Ketua MK Suhartoyo bersama dengan delapan hakim konstitusi lainnya dalam sidang pengucapan putusan/ketetapan. 

Pemohon judicial review atas perkara Nomor 35 adalah seorang warga asal Bekasi, Leonardo Olefins Hamonangan. Dia mengajukan gugatan terkait pasal yang dianggapnya memicu pemberi kerja membuat syarat diskriminatif seperti usia hingga pengalaman di lowongan kerja. 

Menurutnya, pasal yang diuji tersebut membuka pintu bagi potensi diskriminasi karena pemberi kerja dapat memilih tenaga kerja berdasarkan kriteria yang tidak relevan dan diskriminatif seperti usia, jenis kelamin, atau etnis. Baginya, Undang-Undang yang digugat menghambat dirinya maupun pekerja lain sulit untuk mendapatkan pekerjaan.

Coba bandingkan dengan putusan MK Nomor 90 dan putusan MA Nomor  23! Putusan tersebut diajukan oleh pihak lain dengan alasan untuk memperjuangkan hak kaum muda dalam berdemokrasi, terutama hak untuk dipilih. Tetapi seperti diketahui, bahwa salah satu putusan, yaitu putusan MK Nomor 90 syarat conflict of interest, dan tidak diperjuangkan langsung oleh sang pemuda yang hendak bertarung dalam pemilihan. 

Kenyataannya, batas usia pencalonan yang awalnya tidak memenuhi syarat berakhir melenggang dan terpilih meskipun telah dikritik dan dinyatakan oleh MKMK melanggar etik berat. Sementara untuk putusan MA Nomor 23, sepertinya ada kecenderungan yang sama, melenggang tanpa halangan walaupun kemenangan belum tentu bisa diraih kembali.

Namun yang menjadi pokok pembahasan kali ini, perjuangan Leonardo Olefins Hamonangan dalam menuntut hak dirinya dan warga negara lainnya yang masih berusia muda agar mempunyai kesempatan mendapatkan pekerjaan jauh lebih luas, terbuka dan dalam jangka waktu yang lebih lama terkait batas usia kerja, hasilnya sangat timpang dengan tuntutan atas hak pilih demokrasi untuk kaum muda yang cenderung diperjuangkan oleh partai atau kaum muda (Almas Tsaqibbiru) yang bahkan tidak mencalonkan dirinya sendiri untuk dipilih. Tetapi menguntungkan kaum muda lainnya, yang cenderung hanya mengarah pada satu dan dua nama. 

Di titik itulah manusia-manusia racikan tergambar dengan jelas dan transparan. Bagaimana menurut pembaca? Mana manusia-manusia racikan dan mana manusia yang bukan racikan? Apakah pembaca punya opini atau pendapat tentang manusia racikan? Silahkan di share!      

Referensi

https://kbbi.kemdikbud.go.id/entri/instan

https://www.mkri.id/index.php?page=web.Berita&id=21354     

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun