Ada suatu peristiwa hukum di luar dunia digital yang dapat menggambarkan perbedaan antara manusia bukan racikan dengan kesadaran perjuangan penuh dirinya sendiri dalam menuntut hak sebagai warga negara dibandingkan peristiwa hukum yang tidak melewati kesadaran perjuangan dari dirinya sendiri tetapi atas racikan (bantuan) orang lain, tetapi bisa menikmati hasilnya. Peristiwa hukum tersebut adalah tentang batas usia kerja dan batas usia atas hak dipilih.
Pada selasa, 30 Juli 2024, Mahkamah Konstitusi (MK) menolak permohonan Perkara Nomor 35/PUU-XXII/2024 mengenai pengujian materiil Pasal 35 ayat (1) Undang-Undang (UU) Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan (UU Ketenagakerjaan), dengan putusan, “Amar putusan, mengadili, menolak permohonan Pemohon untuk seluruhnya,” ujar Ketua MK Suhartoyo bersama dengan delapan hakim konstitusi lainnya dalam sidang pengucapan putusan/ketetapan.
Pemohon judicial review atas perkara Nomor 35 adalah seorang warga asal Bekasi, Leonardo Olefins Hamonangan. Dia mengajukan gugatan terkait pasal yang dianggapnya memicu pemberi kerja membuat syarat diskriminatif seperti usia hingga pengalaman di lowongan kerja.
Menurutnya, pasal yang diuji tersebut membuka pintu bagi potensi diskriminasi karena pemberi kerja dapat memilih tenaga kerja berdasarkan kriteria yang tidak relevan dan diskriminatif seperti usia, jenis kelamin, atau etnis. Baginya, Undang-Undang yang digugat menghambat dirinya maupun pekerja lain sulit untuk mendapatkan pekerjaan.
Coba bandingkan dengan putusan MK Nomor 90 dan putusan MA Nomor 23! Putusan tersebut diajukan oleh pihak lain dengan alasan untuk memperjuangkan hak kaum muda dalam berdemokrasi, terutama hak untuk dipilih. Tetapi seperti diketahui, bahwa salah satu putusan, yaitu putusan MK Nomor 90 syarat conflict of interest, dan tidak diperjuangkan langsung oleh sang pemuda yang hendak bertarung dalam pemilihan.
Kenyataannya, batas usia pencalonan yang awalnya tidak memenuhi syarat berakhir melenggang dan terpilih meskipun telah dikritik dan dinyatakan oleh MKMK melanggar etik berat. Sementara untuk putusan MA Nomor 23, sepertinya ada kecenderungan yang sama, melenggang tanpa halangan walaupun kemenangan belum tentu bisa diraih kembali.
Namun yang menjadi pokok pembahasan kali ini, perjuangan Leonardo Olefins Hamonangan dalam menuntut hak dirinya dan warga negara lainnya yang masih berusia muda agar mempunyai kesempatan mendapatkan pekerjaan jauh lebih luas, terbuka dan dalam jangka waktu yang lebih lama terkait batas usia kerja, hasilnya sangat timpang dengan tuntutan atas hak pilih demokrasi untuk kaum muda yang cenderung diperjuangkan oleh partai atau kaum muda (Almas Tsaqibbiru) yang bahkan tidak mencalonkan dirinya sendiri untuk dipilih. Tetapi menguntungkan kaum muda lainnya, yang cenderung hanya mengarah pada satu dan dua nama.
Di titik itulah manusia-manusia racikan tergambar dengan jelas dan transparan. Bagaimana menurut pembaca? Mana manusia-manusia racikan dan mana manusia yang bukan racikan? Apakah pembaca punya opini atau pendapat tentang manusia racikan? Silahkan di share!
Referensi
https://kbbi.kemdikbud.go.id/entri/instan
https://www.mkri.id/index.php?page=web.Berita&id=21354