Oleh karena itu, selain kekuatan sosial, keterlibatan perempuan perlu didukung oleh prinsip anti diskriminasi melalui affirmative action. Sehingga dari sisi kebijakan, perempuan juga memiliki daya dan kekuatan tersendiri untuk mendorong transisi energi adil untuk pembangunan berkelanjutan. Tetapi bagaimana caranya memastikan keseluruhan peran dan rangkaian akses tersebut berjalan sampai ke tujuannya?
Perempuan adalah mahluk yang diberikan kodrat berbeda oleh Tuhan dalam perihal berbicara. Sebuah energi yang memiliki daya dan kekuatan jauh melebihi energi apapun di permukaan bumi. Banyak studi menunjukkan fakta bahwa kodrat yang dimaksud benar adanya.Â
Salah satu penelitian dari Fakultas Kedokteran Universitas Maryland seperti dikutip dari fimela.com, menemukan kenyataan bahwa perempuan berbicara 3 kali lipat lebih banyak daripada laki-laki. Dalam satu hari, rata-rata perempuan mengeluarkan 13.000 sampai 20.000 kata sedangkan laki-laki hanya 7.000 kata. Inilah kodrat perempuan yang sangat jarang dimiliki oleh laki-laki, yaitu 'energi pencerewet'.Â
Namun 'energi pencerewet yang dimaksudkan di sini adalah aktif atau banyak berbicara, merespon pembicaraan tersebut melalui aktivitas kerja dan bertindak sesuai dengan prinsip energi serta mampu membuat orang lain terpengaruh untuk berupaya melakukan hal yang sama, minimal mulai menggunakan atau mengimplementasikan EBT, melakukan penghematan penggunaan energi, ikut mengurangi pemakaian energi berbasis fosil, peduli emisi karbon dan turut menjaga kelestarian lingkungan. Â Â Â
Maka mengacu pada 'energi pencerewet' yang dimiliki perempuan dan dikorelasikan dengan kekuatan sosial (social power) perempuan dan dukungan affirmative action, perempuan dapat mengambil peran dalam agenda transisi adil untuk pembangunan berkelanjutan yang tentunya berkesesuaian dengan seruan UNDP, Sustainable Development Goals (SDGs), Net Zero Emission (NZE) 2060 dan cita-cita Oxfam agar bersama-sama memerangi kesenjangan untuk mengakhiri kemiskinan dan keadilan dapat terwujud melalui 'energi pencerewet'.
Untuk itu, peran kekuatan sosial (social power)Â perempuan yang dapat dimaksimalkan pada agenda transisi energi adil dalam konteks 'energi pencerewet' dapat dimanifestasikan lewat peran-peran aktif atau banyak bicara dan meresponnya melalui tindakan nyata sesuai dengan prinsip energi dan mampu membuat orang lain terpengaruh untuk berupaya melakukan hal yang sama atau minimal menerapkannya dalam keseharian hingga mampu menciptakan transisi energi adil yang berkelanjutan serta dapat mewujudkan pembangunan berkelanjutan. Peran-peran 'social power'Â tersebut antara lain : Â
1. Ibu Rumah TanggaÂ
Cerewet energi dimulai dari kekuatan sosial sebagai Ibu Rumah Tangga di setiap rumah. Di titik ini 'energi pencerewet' berperan sebagai penyedia utama kebutuhan energi dalam rumah tangga.Â
Dalam konteks energi terbarukan seorang ibu punya peran mengusahakan bahan bakar pengganti minyak atau gas dengan sumber energi seperti surya, air, angin, biomassa dan biofuel yang berasal dari hasil pertanian dan hutan. Juga berperan aktif sebagai pengawas dan pengingat penggunaan energi dan penjaga kelestarian lingkungan.
2. Perempuan Penggerak
Kekuatan sosial sebagai tokoh Perempuan Penggerak. 'Energi pencerewet' perempuan di sini berperan di likungan masing-masing sebagai pionir pembuka lahan hingga penciptaan energi terbarukan lewat kerja sama dengan tokoh masyarakat setempat untuk mendapatkan persetujuan saat melaksanakan proyek energi terbarukan seperti proyek energi biomassa, proyek energi turbin air, proyek energi turbin angin dan lainnya, yang bisa dimanfaatkan untuk kebutuhan masak, penerangan di lingkungannya bahkan bisa sampai memproduksi energi untuk pendapatan di daerahnya.Â