Baru-baru ini beredar informasi tentang seorang mahasiswi lulusan Fakultas Hukum Universitas Sriwijaya (UNSRI) melakukan somasi kepada Universitas Muhammadiyah (UM) Palembang Fakultas Hukum atas salah satu mahasiswinya yang diduga telah melakukan plagiat skripsi. Kelanjutan atas somasi itu membuat UM Palembang resmi menjatuhkan sanksi berat berupa pembatalan wisuda dan memberikan skors selama satu semester terhadap mahasiswi pelaku plagiat sebagai konsekuensi yang harus ditanggung atas perbuatannya.
Sebelumnya, bertahun-tahun ke belakang, sudah sering tersiar berita tentang plagiarisme yang membuat heboh dunia pendidikan. Terlebih ketika diketahui bahwa tindakan plagiarisme yang terjadi di dunia pendidikan dilakukan oleh orang dengan gelar akademis yang seharusnya terbilang memiliki kemampuan mumpuni untuk menciptakan karya orisinal. Mulai dari plagiat artikel ilmiah, jurnal ilmiah, tesis, disertasi atau tulisan ilmiah lainnya, yang terbukti pernah dilakukan oleh mereka yang berpendidikan tinggi. Mengapa plagiarisme di kalangan intelektual masih terjadi?
Menurut pengamat dan praktisi pendidikan Indra Charismiadji seperti dilansir dari jawapos.com, mengatakan bahwa plagiarisme sudah dimulai pada jenjang sekolah dasar hingga menengah. Berdasarkan data kajian, tindakan plagiat peserta didik di tinggakt SD hingga SMA sangat masif. Bahkan angkanya mencapai 94 persen. "Ternyata 94 persen mereka itu cocok dengan tulisan siswa lainnya," ungkapnya dalam sebuah webinar Plagiarisme dan Wajah Masa Depan Dunia Akademik. Mengacu pada data kajian tindak plagiat di tingkat SD hingga SMA yang angkanya mencapai 94 persen, sepertinya dunia pendidikan belum bisa berharap banyak untuk dapat menekan tindak plagiarisme atau plagiat di tingkat pendidikan tinggi sekalipun.
Selain itu, tuntutan publikasi ilmiah untuk pemenuhan syarat kenaikan jenjang jabatan dan keharusan gelar pendidikan lebih tinggi untuk dapat memenuhi syarat tetap bisa mengajar di berbagai perguruan tinggi menjadi faktor lainnya, yang membuat tindak plagiarisme atau plagiat marak dilakukan sebagai jalan percepatan untuk pemenuhan syarat karena secara personal dianggap kebutuhan mendesak. Dan di sisi lain, di luar dunia pendidikan, tindakan plagiarisme atau plagiat juga kerap dilakukan.
Seperti yang terjadi di sekira tahun 2017, ketika sebuah artikel berjudul 'Warisan' viral dan membawa nama penulisnya mengalami kondisi sama, yakni fase viral. Sehingga dalam masa-masa itu sang penulis sempat mengalami sukseskadabranya. Namun kondisi tersebut tidak bertahan lama ketika kembali beredar informasi viral tentang artikel yang berjudul 'Warisan' dan beberapa judul lain yang ditulis olehnya bukan hasil karya orisinal, melainkan karya orang lain yang dibuat tanpa menyebutkan sumber sehingga banyak orang menyatakan bahwa perbuatan penulis adalah tindakan plagiat. Maka tak butuh waktu lama, informasi viral tentang tindakan plagiat membuat penulisnya menerima apa yang disebut dalam generasi topping sebagai balakazam. Apa sebenarnya yang dimaksud dengan plagiarisme atau plagiat ini sehingga pelakunya harus mendapat konsekuensi?
Menurut Guru Besar Universitas Indonesia Prof. Rhenald Kasali plagiat atau tidak, hanya berlaku untuk karya ilmiah. Sepanjang kata-kata atau tulisan merupakan pendapat umum, hal itu tidak bisa dikategorikan sebagai plagiarisme. Secara etimologi, plagiarisme berasal dari kata Latin “plagiarius” yang berarti “penculik”, yang menculik anak. Aronson (2007) menyatakan bahwa kata plagiarisme masuk ke dalam kamus bahasa Inggris Oxford pada tahun 1621 dan plagiarisme telah didefinisikan oleh Encyclopedia Britannica sebagai “tindakan mengambil tulisan orang lain dan memberikannya sebagai milik sendiri.” Ini adalah tindakan pemalsuan, pembajakan, dan penipuan dan dinyatakan sebagai kejahatan serius akademisi (Jawad 2013) .
Sementara dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KKBI) plagiarisme berarti penjiplakan yang melanggar hak cipta dan plagiat berarti pengambilan karangan (pendapat dan sebagainya) orang lain dan menjadikannya seolah-olah karangan (pendapat dan sebagainya) sendiri. Sehingga berdasarkan semua definisi tadi dapat disimpulkan bahwa plagiarisme atau plagiat merupakan tindakan atau perbuatan yang sama, yaitu mengambil tulisan orang lain tanpa mencantumkan atau menyebutkan nama sumber penulis asalnya, baik untuk karya ilmiah maupun tulisan umum dengan perbedaan kepemilikkan hak cipta dan konsekuensinya.
Pada karya ilmiah semacam skripsi, tesis, disertasi, artikel ilmiah, jurnal atau tulisan ilmiah lainnya, yang dinilai sebagai bentuk hasil karya tulis adalah yang mempunyai hak cipta sehingga apabila dilanggar melalui plagiarisme atau plagiat, maka pelakunya akan menerima konsekuensi seperti pencabutan nilai, pembatalan wisuda, skorsing, pembatalan ijasah, pencopotan jabatan, pemecatan, penundaan kenaikan jabatan, pembayaran denda atau konsekuensi akademis lainnya.
Sedangkan pada tulisan yang menghasilkan karya tulisan seperti artikel yang bersifat umum, akan cenderung dianggap sebagai pendapat umum atau opini yang tidak memiliki nilai hak cipta, dan seperti diketahui bahwa konsekuensi yang bisa diterima oleh orang yang melakukan plagiarisme atau plagiat untuk kategori ini umumnya hanya cenderung sebatas sanksi sosial. Lalu apa kaitannya dengan fenomena "referendom" di generasi topping?
Akhir-akhir ini di dunia digital ada dua kasus menarik yang menjadi sorotan warganet (masyarakat) dan mendapat respon luar biasa. Salah satu respon luar biasa tersebut yaitu kemunculan konten-konten kreator atau para topper, yang membuat konten dalam bentuk video dengan ulasan topik kasus Vina-Eky Cirebon atau peristiwa hukum putusan MA (Mahkamah Agung). Dan dari semua konten-konten itu, beberapa diantaranya mengalami fase viral. Dari fenomena kemunculan konten-konten semacam itulah didapat temuan menarik terkait perilaku sosial dalam interaksi digital manusia, yang dapat merepresentasikan perilaku sosial pada konten-konten yang dimaksud sebagai fenomena "referendom". Sebelum masuk pada fenomena "referendom, ada satu istilah yang dapat mengarahkan mengapa fenomena "referendom" menjadi menarik untuk diangkat sebagai temuan dalam interaksi sosial digital.
Beranjak dari istilah referendum yang oleh KBBI diartikan sebagai penyerahan suatu masalah kepada orang banyak supaya mereka yang menentukannya (jadi, tidak diputuskan oleh rapat atau oleh parlemen); penyerahan suatu persoalan supaya diputuskan dengan pemungutan suara umum (semua anggota suatu perkumpulan atau segenap rakyat), yang selaras dengan perilaku sosial yang menjadi temuan di dalam konten-konten bertopik kasus Vina-Eky Cirebon atau peristiwa hukum putusan MA. Perilaku sosial digital apa yang selaras dengan arti referendum?
Pada kasus Vina-Eky Cirebon mencuat beberapa akun sentral digital yang mempunyai kekuatan bio dan/atau kerap berbagi sosial (social sharing), yang dalam generasi topping bisa disebut juga sebagai biosher (akun-akun yang memiliki kekuatan bio dan akun-akun yang mudah berbagi sosial). Salah satu tokoh sentral yang sangat dominan adalah pemilik akun TikTok @widiadagelanpolitik yang secara konsisten, lantang dan berani berbagi informasi tentang kasus Vina-Eky Cirebon.
Dalam konteks tulisan ini, salah atau benarnya konteks informasi kasus yang dibagikan oleh Ibu Widia sang pemilik akun, tidak menjadi topik bahasan. Tetapi keberaniannya berpendapat, berargumentasi, dan mengungkapkan dengan lantang tentang keinginannya agar hukum di Indonesia harus ditegakkan seadil-adilnya dengan menyentil bahkan menyebutkan nama para petinggi di jajaran kepolisian membuat banyak warganet kagum, sejalur, sepakat hingga banyak yang membuat konten bertema kasus Vina-Eky Cirebon dengan mengambil sepersekian,sebagian atau keseluruhan konten sebagai referensi sekaligus mendompleng konten ibu Widia sesuai opini dan dengan analisanya masing-masing.
Konten ibu Widia kemudian tumbuh menjadi pionir ruang gema referendom (referendom echo chamber) yang menggaungkan keadilan dan menjadi tautan konformitas keadilan dan pertentangannya sebagai kelahiran ruang gema referendom lainnya yang berisi konten tentang keadilan dan pertentangannya melalui kasus Vina-Eky Cirebon. Tapi pada kenyataannya, konten-konten ibu Widia yang dijadikan referensi oleh topper-topper untuk konten yang dibuat dalam melahirkan ruang gema keadilan dan pertentangannya tidak selalu diambil melalui izin pemilik akun.
Selain itu, konten yang direferensi diambil dengan cara menyunting bagian-bagian yang diperlukan untuk mendukung kesesuaian opini pembuatnya saja. Sampai ketika konten hasil referensi suntingan yang dibuat tersebut tersaji di media sosial, ditemukan informasi bahwa para topper yang melakukan proses referensi penyuntingan untuk kesesuaian opini mereka memunculkan istilah disclaimer. Yaitu sebuah istilah yang berarti pernyataan apapun yang dimaksudkan untuk menyangkal sesuatu atau menghindari tanggung jawab atas sesuatu. Sehingga menciptakan persepsi bahwa konten-konten yang dibuat menggunakan referensi konten ibu Widia yang mengandung konsekuensi dan mengundang risiko hukum bukan menjadi tanggung jawab mereka, dan itu berarti konten yang dibuat hanya mendompleng nama ibu Widia untuk mendapat fase viral, dan tentunya menjadi bagian dari proses pencapaian tujuan meraih posisi puncak di generasi toping.
Di peristiwa hukum putusan MA pun demikian, banyak bermunculan para biosher penggebrak serupa konten ibu Widia, yang berani mengungkapkan pendapat atas putusan yang tidak disukai atau diyakini bertentangan dengan prinsip hukum berkeadilan, direferensi oleh banyak topper dalam konteks pembuatan konten video kompilasi para biosher penggebrak tadi. Kemudian bagi para topper yang melakukan video kompilasi dari berbagai konten topper lainnnya yang berani dengan lantang mengulas tentang putusan MA nomor 23 sebagai bermasalah dan berupaya memposisikan putusan itu sebagai 'gol tangan tuhan' di waktu injury time hukum, hanya sebatas mendompleng konten-konten para biosher penggebrak sedangkan kontennya sendiri menyatakan disclaimer. Sehingga saat konten video kompilasi tentang ulasan putusan MA yang dibuatnya mengandung konsekuensi dan mengundang risiko hukum, sasaran hukumnya akan diarahkan pada topper-topper biosher penggebrak yang dengan kesadaran diri dan keberaniannya membuat konten ulasan menentang putusan MA.
Maka dari temuan konten-konten seperti itulah fenomena referendom terjadi di dunia digital di generasi topping. Sebuah fenomena penyerahan suatu masalah kepada orang banyak dalam ruang gema-ruang gema di dunia digital untuk dapat menentukan suatu persoalan melalui konformitas dan pertentangannya menggunakan konten yang dibuat dengan mereferensi dan mendompleng konten orang lain serta cenderung digunakan untuk meraih keuntungan diri dan menunjuk konten orang lain jika konten yang dibuatnya mengandung konsekuensi dan mengundang risiko hukum, dan pada sebagian pemaparan atas fenomena tersebut cenderung selaras dengan arti referendum, yaitu penyerahan suatu masalah kepada orang banyak supaya mereka yang menentukannya.
Fenomena referendom juga merupakan bagian yang identik dari proses plagiarisme atau plagiat yang mengambil video (pendapat dan sebagainya) orang lain dan menjadikannya seolah-olah video (pendapat dan sebagainya) sendiri dengan konteks penolakan tanggung jawab atas konsekuensi atau risiko hukum dan terkesan mengarahkan konsekuensi atau risiko hukumnya kepada pembuat video sumbernya, yang bisa saja terdapat dalam video yang dibuatnya. Karenanya, fenomena referendom justru cenderung mengandung unsur membahayakan bagi sumber referensi, bukan pada orang yang mengambil sumber referensi.
Untuk diketahui, kata referendom yang memiliki bagian keselarasan arti dengan kata referendum, berasal dari kata 'referensi' yang mempunyai korelasi dengan aksi plagiarisme atau plagiat dan gabungan kata 'dompleng' yang oleh KBBI diartikan ikut bertempat tinggal, makan, duduk, naik mobil, dan sebagainya dengan cuma-cuma, yang dalam konteks makna referendom berarti mempunyai korelasi dengan keikutsertaan memanfaatkan konten video orang lain tanpa mau membayar hak cipta, kadang juga mengambilnya tanpa izin dan bahkan menolak menanggung konsekuensi atau risiko hukum serta cenderung mengarahkan konsekuensi atau risiko hukum pada sumber konten video yang diambil atas konten video yang dibuatnya ketika tersandung masalah hukum.
Sederhananya, fenomena referendom adalah perbuatan mengambil keuntungan dengan menciptakan ruang gema digital yang bersifat konformitas dan pertentangannya untuk mengangkat akun dan konten pembuatnya dengan cara mereferensi konten orang lain yang sedang viral dengan kencenderungan menolak konsekuensi atau risiko hukum yang bisa saja terdapat dalam konten video yang dibuatnya.
Referensi
https://money.kompas.com/read/2017/06/01/100010426/benarkah.afi.melakukan.plagiarisme.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H