Mohon tunggu...
Sunan Amiruddin D Falah
Sunan Amiruddin D Falah Mohon Tunggu... Administrasi - Staf Administrasi

NEOLOGISME

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Butus: Kebutuhan Sosial dan Aktualisasi Diri di Generasi Topping

31 Mei 2024   05:46 Diperbarui: 3 Juni 2024   10:13 379
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber gambar: Dok. Pribadi

"Coba spill quote ucapan selamat hari kelahiran yang bagus dong! Butus nih!" -update status-

Dari kosakata bahasa gaul kita diperkenalkan pada istilah bucin, yang berasal dari akronim budak cinta. Seperti dikutip dari gramedia.com, bucin diartikan sebagai seseorang yang rela berkorban dalam bentuk apa saja untuk pasangan yang dicintainya, baik harta, jiwa dan raga.  

Kabarnya, bucin dipopulerkan oleh Jovial da Lopez dan Andovi da Lopez pada sekira tahun 2015. Kakak beradik yang sekaligus dikenal sebagai youtuber itu, menceritakan bahwa Jovial pernah terlalu cinta dan mabuk kepayang pada pasangannya hingga dijuluki bucin oleh teman-temannya. Dari kisah Jovial itulah lahir istilah bucin, yang diceritakan melalui sebuah kunjungan promo film bucin tahun 2020 di Menara Kompas, Palmerah Selatan. Namun bucin baru mengalami fase viralnya di sekitar tahun 2019.

Orang yang berada dalam kondisi bucin cenderung selalu menginginkan status hubungan permanen. Tak mau terpisahkan. Pada masa sebelum kemunculan dunia digital, kebutuhan personal status setiap individu sebagai mahluk sosial semacam status pacaran, kekasih, perkawinan atau pernikahan dan hak kepemilikkan terhadap suatu hal, dapat tergolong sebagai kebutuhan sosial. 

Namun ketika memasuki dunia digital, kebutuhan akan status sosial tidak melulu cinta, kasih sayang dan hak kepemilikan terhadap suatu hal yang berada pada tingkat ketiga dalam teori kebutuhan Abraham Maslow.   

Ada salah satu kebutuhan sosial di era digital sejak platform media sosial mulai mengambil alih sebagian besar interaksi sosial manusia, yang sedekat ini tidak terdeteksi ke dalam kebutuhan cinta, kasih sayang dan hak kepemilikkan terhadap suatu hal (kebutuhan sosial), melainkan lebih menunjukkan sebagai tingkat kebutuhan tertinggi atau aktualisasi diri, yaitu butus. Jenis mahluk apakah butus ini?

Dinukil dari edukasi.kompas.com, menurut forum Sahabat Keluarga, akses informasi online menjadi sangat dekat dengan generasi milenial hingga muncul anekdot kebutuhan dasar milenial adalah Sandang, Pangan, dan 'Colokan'.  Anekdot kebutuhan dasar 'colokan' merupakan kebutuhan yang merujuk pada intensitas aktivitas di dunia digital. Butus menjadi temuan bahwa kebutuhan dasar terkait akses informasi online atau colokan bukan lagi sebuah anekdot.  

Lewat survei yang dilakukan IDN Research Institute bekerjasama dengan Alvara Research Center selama yang dilakukan terhadap 1.400 generasi milenial di 12 kota besar Indonesia. Sampel pada survei diambil secara random dari berbagai jenjang pendidikan, gender, status sosial, status ekonomi, dan profesi.

Sebagian poin hasil survei menunjukkan, mayoritas milenial Indonesia sudah mengalami kecanduan dan ketergantungan terhadap internet. Sebanyak 79 persen milenial diketahui membuka ponsel 1 menit setelah bangun tidur. Survei juga memperlihatkan bahwa, ada sebanyak 79, 5 persen milenial melakukan update status antara 2-5 kali sehari, bahkan 6-8 kali (52,5 persen). 

Berdasar hasil survei tersebut, artinya, perilaku orang mulai dari bangun tidur membuka ponsel hingga keharusan meng-update status di media sosial menunjukkan bahwa aktivitas update status telah mulai bertransformasi menjadi sebuah kebutuhan sosial sekaligus menunjukkan eksistensi kebutuhan aktualisasi diri bagi setiap pemilik akun di media sosial. Intensitas aktivitas update status di media sosial itulah yang disebut butus, berasal dari akronim butuh dan status (butuh status). 

Butus atau butuh status dalam konteks tertentu seidentik dengan bucin, rela mendahulukan aktivitas update status ketimbang aktivitas lain, yang meskipun secara logis jauh lebih prioritas ketimbang memperbaharui status di media sosial. 

Bayangkan suatu kejadian ketika bayi berusia satu tahun tersedak karena di dalam mulutnya terdapat benda, yang ternyata sebuah tutup botol air mineral. Mirisnya, kejadian itu terjadi karena kelengahan seorang ibu yang beralih ke ponselnya hanya untuk melakukan update status di tengah aktivitasnya mengasuh sang bayi.

"Coba spill quote ucapan selamat hari kelahiran yang bagus dong! Butus nih!", sebaris kalimat ini merupakan contoh kalimat update status yang akan dijadikan status di tab pembaruan (update) pada platform WhatsApp, yang sebelumnya bernama tab status. Baris kalimat itu bermaksud meminta kepada siapa saja dalam daftar kontak di platform WhatsApp yang melihatnya agar memberikan quote yang bagus tentang ucapan selamat atas hari kelahiran, yang nantinya akan dijadikan update status di berbagai platform media sosial atas hari kelahiran seorang bayi. 

Pada contoh baris kalimat update status yang bermaksud meminta quote ucapan selamat hari kelahiran yang bagus pada daftar kontak di WhatsApp itu, terdapat penegasan; "Butus nih!. Penegasan tersebut menandakan bahwa permintaan quote ucapan selamat hari kelahiran dibutuhkan oleh orang yang melakukan update status untuk maksud mendapatkan quote ucapan hari kelahiran yang bagus, yang bertujuan menjadikan quote ucapan hari kelahiran yang didapatkannya sebagai status untuk kembali melakukan update status di platform WhatsApps atau platform media sosial lainnya di lain waktu. 

Butus dalam interaksi sosial digital menjadi bagian dari kebutuhan sosial dan aktualisasi diri bagi generasi topping yang pemenuhannnya hanya dapat dilakukan melalui aktivitas update status atau membagikan informasi pribadi, emosi maupun informasi lain di berbagai platform media sosial dengan atau tanpa maksud dan tujuan tertentu. 

Jadi, butus adalah aktivitas update status atau membagikan informasi pribadi, emosi maupun informasi lain di berbagai platform media sosial dengan atau tanpa maksud dan tujuan. Sederhananya, butus adalah aktivitas pembaruan status di media sosial.  

Perlu diketahui, dalam teori kebutuhan Maslow, kebutuhan aktualisasi diri cenderung cuma dapat dicapai atau dipenuhi oleh orang-orang yang telah berhasil memenuhi keempat tingkat kebutuhan di bawahnya. 

Di dunia digital, melalui butus, kebutuhan aktualisasi diri sebagai tingkat kebutuhan tertinggi dapat dipenuhi tanpa harus memenuhi empat tingkat kebutuhan di bawahnya. Di generasi topping, banyak hal bisa terlompati begitu saja dengan tidak mengikuti alur bertingkat atau proses bertahap di bawahnya.

Butus adalah bentuk pemenuhan kebutuhan aktualisasi diri yang sederhana, mudah, murah, dan bisa dipenuhi meskipun kebutuhan empat tingkat di bawahnya belum terpenuhi. Luar biasanya, butus dapat memberikan kepuasan batin, jawaban atas pertanyaan, masukan, ide, problem solving, respon baik, solusi, atensi positif sampai insentif bisa didapat oleh seseorang atau kelompok orang dari aktivitas butusnya.  

Berita buruknya, butus juga bisa menimbulkan masalah, mengundang kebencian, hujatan, perundungan, pengucilan, pemblokiran, berbagai respon dan atensi negatif, cancel culture hingga kejatuhan yang di generasi topping disebut balakazam. 

Oleh sebab itu, patut dicermati pula, bahwa butus yang dilakukan secara berlebihan, tidak dapat dikendalikan atau di luar batas tidak lagi dapat disebut sebagai sekadar memenuhi kebutuhan sosial atau aktualisasi diri, melainkan mempunyai kecenderungan gangguan terhadap psikologis seperti gangguan kecemasan, kesepian, menimbun banyak masalah hingga terindikasi mengalami stres atau depresi. Butus yang demikian dapat masuk pada konteks budak alias budak status atau dalam kata populernya disebut sebagai oversharing.          

Dilansir dari freshuinjkt.com, menurut Tiara Diah Sosialita M.Psi Psikolog, seorang dosen Psikologi di Universitas Airlangga (Unair), oversharing adalah kondisi ketika seseorang tidak bisa membatasi diri sendiri dalam membagikan informasi pribadinya kepada publik. Banyak motif yang menyebabkan seseorang melakukan oversharing, misalnya tidak mendapatkan perhatian dari orang tua dan lingkungan, tidak pernah diapresiasi, kesepian atau motif lain pada kehidupan offline-nya. 

Maka dari itu, penting untuk memperhatikan batasan terhadap intensitas dan butus apa yang distatus update-kan serta dibagikan ke berbagai platform media sosial agar memberikan kesan baik dan menerima respon baik, atensi positif hingga insentif bagi pemilik akun. 

 

Referensi

https://edukasi.kompas.com/read/2019/01/30/12162041/survei-bangun-tidur-generasi-milenial-langsung-pegang-hp-kamu

https://lifestyle.kompas.com/read/2022/09/13/090859020/apa-arti-bucin-yang-bikin-orang-lupa-dunia?page=all

https://freshuinjkt.com/new_article/terlalu-sering-update-status-waspada-oversharing/
 

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun