Sekeras-kerasnya teguran, pasti tidak akan merubuhkan kursi. Jangankan rubuh, bergetar pun tidak. Konsekuensi sanksi teguran keras atas pelanggaran administrasi maupun etik diharapkan agar pelakunya tidak akan mengulangi perbuatan yang sama di kemudian hari.Â
Begitu pulalah kira-kira informasi yang didapat dari berbagai portal berita daring terkait pelanggaran yang dilakukan oleh Zulkifli Hasan selaku Menteri Perdagangan Republik Indonesia atas pelanggaran melakukan kampanye tanpa cuti sebagai pejabat publik, yaitu mendapat sanksi teguran keras.Â
Seperti dinukil dari kompas.com, Ketua Majelis Pemeriksa Bawaslu RI, Fuadi, membacakan putusan berikut, "Menyatakan Terlapor secara sah dan meyakinkan melakukan pelanggaran administrasi".Â
Di lain kasus, dalam film dokumenter Dirty Vote ada 3 bukti pelanggaran administrasi atau etik oleh Ketua KPU, Hasyim Asy'ari yang dikupas, yaitu: Kesatu, kasus "Wanita Emas" dengan sanksi 'peringatan keras terakhir. Kedua,  kasus keterwakilan perempuan yang dikenakan sanksi 'peringatan keras', dan ketiga, kasus pencalonan anak presiden yang juga terkena sanksi sama dengan kasus kesatu, 'peringatan keras terakhir'
Sanksi teguran keras, peringatan keras atau peringatan keras terakhir ini maksudnya bagaimana? Masyarakat yang tidak memahami sanksi hukum pastilah bertanya-tanya.Â
Pada contoh keempat kasus atas pelanggaran administrasi atau etik yang terjadi di atas tadi dan telah dinyatakan melanggar serta dikenakan sanksi teguran keras, peringatan keras atau peringatan keras terakhir , pelanggaran-pelanggaran berikut sanksinya merupakan bagian dari UU Pemilu dalam aspek hukum pemilu, yang secara epistemologi berada dalam ranah hukum administrasi.Â
Apakah sanksi ranah hukum administrasi seringan itu? Bila setelah peringatan keras terakhir ternyata pelanggar masih melakukan kesalahan yang sama, selanjutnya terkena sanksi apa?Â
Mengetahui informasi tersebut, seringkali segala bentuk sanksi hukum dikorelasikan dengan efek jera. Suatu efek hukum atas pemberian sanksi hukum  kepada orang-orang yang terbukti melanggar suatu Undang-undang atau hukum, yang diharapkan tidak mau, tidak berani atau mengulang kesalahan yang sama; kapok. Benarkah orang yang terbukti melakukan kesalahan atau pelanggaran hukum akan jera berdasar sanksi hukum yang diterimanya?
Di kasus-kasus kriminal, yang jika terbukti bersalah akan mendapatkan sanksi hukum mulai dari sanksi ringan hingga berat bergantung dari kasusnya. Tetapi sejumlah sanksi yang dikenakan nyatanya tidak memberikan efek jera pada sebagian pelaku. Fakta datanya sekarang mudah ditemukan di banyak kasus kriminal yang terekspos di berbagai berita daring maupun yang diceritakan oleh berbagai macam channel di youtube.
Bila sanksi hukuman penjara hitungan tahun, denda hingga hukuman mati saja tidak membuat jera, apa yang bisa diharapan dari sanksi teguran keras, peringatan keras atau peringatan keras terakhir?
Di sekira tahun 2000-an ada sebuah kasus pembunuh berantai yang menyasar pemilik atau pengelola rental mobil. Demi mendapatkan apa yang diinginkan dari korbannya, pelaku tega menghabisi korban-korbannya dengan cara brutal, yakni memukul kepala korbannya hingga remuk dengan menggunakan martil sebagai senjata pembunuh.Â
Informasinya, setelah melakukan pembunuhan keempat, pelaku yang dikenal dengan sebutan Rio Martil akhirnya tertangkap dan divonis hukuman mati.Â
Namun meskipun telah divonis mati, saat di dalam penjara selama menunggu eksekusi atas vonisnya, kabarnya Rio Martil menghabisi korban kelimanya karena tersinggung atas ejekan yang dilontarkan teman satu selnya. Ini salah satu bukti bahwa sanksi terberat sekalipun tak mampu memberi efek jera.
Dari makna katanya, efek jera tidak ditujukan untuk orang-orang yang belum pernah melanggar hukum dan terkena sanksi hukum. Sebab efek jera dimaksudkan untuk para pelaku yang melakukan kesalahan atas suatu pelanggaran hukum dan kemudian terkena sanksi hukum, yang diharapkan setelah menerima sanksi tersebut pelaku tidak akan berbuat kesalahan yang sama atau berani melanggar hukum lagi.Â
Tapi dengan melihat banyak fakta yang terjadi, banyak pelanggar hukum ternyata kembali melakukan kesalahan yang sama atau pelaku pelanggaran orang yang sama melanggar hukum yang lain dan mendapatkan sanksi berbeda tetapi sanksi yang diterimanya meski dapat dikatakan berat tetap tidak memberi efek jera, lantas efek jera yang bagaimana yang bisa diharapkan dari pelanggar yang terkena sanksi ringan?
Dengan melihat sejumlah fakta yang terjadi, sanksi hukum seharusnya tidak lagi hanya menarasikan efek jera, melainkan mulai memberikan kandungan efek trauma bagi pelaku yang pernah melakukan, dan efek takut bagi yang belum pernah melakukan. Sehingga secara mental orang yang menerima sanksi hukum memiliki keterbatasan atau bahkan mematikan kemauan atau keberanian aspek mental atau jiwanya untuk berbuat atau berani berbuat lagi.Â
Maka apabila merunut argumentasi secara keseluruhan, efek jera bagi penerima sanksi ringan berupa teguran keras, peringatan keras atau peringatan keras terakhir, ibarat seorang bocah yang ditegur orang tuanya dengan cara yang tidak dianjurkan oleh ilmu parenting, yaitu teguran orang tua yang tidak akan mampu membuat anak menjadi jera. Oleh sebab itu, alasan mengapa efek jera tak membuat jera para pelakunya, terutama pada pelanggar hukum pemilu, antara lain adalah berikut:
1. Tidak ada kejelasan makna dan kelanjutan konsekuensi yang diterima oleh pelaku pelanggaran selain ditegur dan diperingati. Sehingga seolah-seolah identik dengan seorang bocah yang ditegur orang tua ketika melakukan kesalahan.
2. Banyak laporan pelanggaran pemilu yang prosesnya berhenti atau tidak dilanjutkan dengan alasan kurang bukti, dengan tendensi sanksi yang dikenakan tidak sebanding dengan proses hukumnya.Â
3. Hukum pemilu, yang umumnya digunakan lima tahun sekali, kecil kemungkinannya dilanggar untuk kesalahan yang sama oleh orang yang sama sehingga efek jera tidak mungkin terjadi.
4. Tidak adanya kerugian baik secara moril maupun materil bagi pelanggar yang terkena sanksi karena teguran atau peringatan hanya sebatas kata-kata, yang juga tidak berdampak apa-apa pada orang atau obyek yang bisa jadi dirugikan atas pelanggaran itu. Justru kelak malah cenderung akan dilakukan oleh orang yang berbeda, di waktu yang berbeda untuk pelanggaran yang sama.
5. Sanksi teguran atau peringatan jelas sanksi yang lemah sehingga dari periode ke periode pemilu, pelanggaran yang dilakukan berputar pada kasus yang itu-itu saja.Â
Mengacu pada alasan-alasan tersebut, tidakkah hukum atau Undang-undang pemilu khususnya, dan hukum pada umumnya boleh mulai ditinjau untuk direvisi terkait perubahan atas sanksi-sanksi hukum yang seharusnya bisa membuat efek trauma, stres, depresi dan takut ketimbang efek jera yang tidak membuat jera.Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H