Di sekira tahun 2000-an ada sebuah kasus pembunuh berantai yang menyasar pemilik atau pengelola rental mobil. Demi mendapatkan apa yang diinginkan dari korbannya, pelaku tega menghabisi korban-korbannya dengan cara brutal, yakni memukul kepala korbannya hingga remuk dengan menggunakan martil sebagai senjata pembunuh.Â
Informasinya, setelah melakukan pembunuhan keempat, pelaku yang dikenal dengan sebutan Rio Martil akhirnya tertangkap dan divonis hukuman mati.Â
Namun meskipun telah divonis mati, saat di dalam penjara selama menunggu eksekusi atas vonisnya, kabarnya Rio Martil menghabisi korban kelimanya karena tersinggung atas ejekan yang dilontarkan teman satu selnya. Ini salah satu bukti bahwa sanksi terberat sekalipun tak mampu memberi efek jera.
Dari makna katanya, efek jera tidak ditujukan untuk orang-orang yang belum pernah melanggar hukum dan terkena sanksi hukum. Sebab efek jera dimaksudkan untuk para pelaku yang melakukan kesalahan atas suatu pelanggaran hukum dan kemudian terkena sanksi hukum, yang diharapkan setelah menerima sanksi tersebut pelaku tidak akan berbuat kesalahan yang sama atau berani melanggar hukum lagi.Â
Tapi dengan melihat banyak fakta yang terjadi, banyak pelanggar hukum ternyata kembali melakukan kesalahan yang sama atau pelaku pelanggaran orang yang sama melanggar hukum yang lain dan mendapatkan sanksi berbeda tetapi sanksi yang diterimanya meski dapat dikatakan berat tetap tidak memberi efek jera, lantas efek jera yang bagaimana yang bisa diharapkan dari pelanggar yang terkena sanksi ringan?
Dengan melihat sejumlah fakta yang terjadi, sanksi hukum seharusnya tidak lagi hanya menarasikan efek jera, melainkan mulai memberikan kandungan efek trauma bagi pelaku yang pernah melakukan, dan efek takut bagi yang belum pernah melakukan. Sehingga secara mental orang yang menerima sanksi hukum memiliki keterbatasan atau bahkan mematikan kemauan atau keberanian aspek mental atau jiwanya untuk berbuat atau berani berbuat lagi.Â
Maka apabila merunut argumentasi secara keseluruhan, efek jera bagi penerima sanksi ringan berupa teguran keras, peringatan keras atau peringatan keras terakhir, ibarat seorang bocah yang ditegur orang tuanya dengan cara yang tidak dianjurkan oleh ilmu parenting, yaitu teguran orang tua yang tidak akan mampu membuat anak menjadi jera. Oleh sebab itu, alasan mengapa efek jera tak membuat jera para pelakunya, terutama pada pelanggar hukum pemilu, antara lain adalah berikut:
1. Tidak ada kejelasan makna dan kelanjutan konsekuensi yang diterima oleh pelaku pelanggaran selain ditegur dan diperingati. Sehingga seolah-seolah identik dengan seorang bocah yang ditegur orang tua ketika melakukan kesalahan.
2. Banyak laporan pelanggaran pemilu yang prosesnya berhenti atau tidak dilanjutkan dengan alasan kurang bukti, dengan tendensi sanksi yang dikenakan tidak sebanding dengan proses hukumnya.Â
3. Hukum pemilu, yang umumnya digunakan lima tahun sekali, kecil kemungkinannya dilanggar untuk kesalahan yang sama oleh orang yang sama sehingga efek jera tidak mungkin terjadi.
4. Tidak adanya kerugian baik secara moril maupun materil bagi pelanggar yang terkena sanksi karena teguran atau peringatan hanya sebatas kata-kata, yang juga tidak berdampak apa-apa pada orang atau obyek yang bisa jadi dirugikan atas pelanggaran itu. Justru kelak malah cenderung akan dilakukan oleh orang yang berbeda, di waktu yang berbeda untuk pelanggaran yang sama.