Menu makan nasi campur belacan di masa itu rupanya dijadikan menu makan juga oleh keluarga lain demi melakukan penghematan pengeluaran biaya kebutuhan keluarga atau untuk sekadar bisa makan. Menu nasi campur belacan menunjukkan gambaran kemiskinan atau penderitaan rakyat yang tampak berbanding terbalik dengan para elite politik dan berlawanan dengan kekuasaan mutlak yang seharusnya dimiliki rakyat dalam demokrasi.Â
Seperti diketahui belacan adalah bumbu penyedap masakan yang dibuat dari ikan kecil-kecil atau udang yang dilumatkan halus-halus; terasi. Bentuk belacan atau terasi umumnya kotak atau persegi dengan tekstur lunak sehingga mudah diremah atau dihaluskan. Terasi mempunyai bau yang khas dan menyengat. Sebagai bumbu penyedap masakan, terasi lebih banyak digunakan untuk membuat sambal. Â
Terasi sebenarnya mendeskripsikan fleksibilitas kemanfaatan. Terasi bisa digunakan untuk menyedapkan berbagai macam menu mewah di restoran dan hotel hingga menyasar ke menu-menu dapur para hartawan, bangsawan, negarawan dan kelas atas lainnya. Tetapi sekaligus juga dapat melengkapi menu masakan kalangan bawah di kaki-kaki lima, warung makan tepi jalan hingga ke dapur-dapur rumah gubuk hanya untuk sekadar menjadi lauk-pauk yang dicampur langsung dengan sepiring nasi.Â
Gambaran terasi dalam kehidupan rakyat jelata yang mudah dan berharga murah lalu dijadikan menu makan nasi campur terasi untuk makanan sehari-hari merupakan bagian dari paradoks demokrasi atas kekuasaan mutlak. Gambaran untuk merepresentasi posisi rakyat sebenarnya, yang dalam demokrasi selalu menjadi obyek penderita alias korban meskipun kekuasaan tertinggi ada di tangannya.Â
Perihal penggambaran itulah yang kemudian meleburkan demos kepada terasi (trasi) menjadi sebentuk makna baru "demotrasi" untuk memaparkan posisi rakyat yang sesungguhnya dalam demokrasi. Bahwa rakyat bukan sebagai pemilik kekuasaan mutlak melainkan sebagai obyek penderita mutlak dalam kekuasaan. Demotrasi berarti rakyat adalah obyek penderita kekuasaan atau rakyat adalah korban kekuasaan.Â
Maka terkait berita terbaru akhir-akhir ini mengenai terhapusnya ambang batas parlemen, walaupun bagi sebagian besar orang dinilai sebagai suatu kemajuan demokrasi, kemenangan kedaulatan rakyat dan bentuk keadilan pemilu karena tak akan ada lagi suara rakyat terbuang. Sebab semua suara pemilih akan terkonversi menjadi perolehan kursi anggota DPR. Apakah rakyat menilai hal tersebut sebagai kemajuan yang sama?
Kemajuan demokrasi atas penghapusan ambang batas parlemen tentu saja kemajuan positif bagi partai-partai yang tidak pernah bisa mencapai ambang batas 4 persen suara sah nasional, tapi apakah bagi rakyat demikian juga bila dilihat dari konteks demotrasi?Â
Selama keterwakilan suara rakyat di parlemen tidak memiliki mekanisme sambung lidah atas hak suara(kuasa)nya ketika rakyat membutuhkan kekuasaan mutlaknya untuk digunakan dalam memperjuangkan keadilan, penghapusan ambang batas parlemen tidak akan mengubah kenyataan bahwa ada demotrasi dalam demokrasi.Â
Referensi
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H