"Seorang matador yang tampak diam di kandang bersama ribuan banteng politik, jauh lebih berbahaya ketimbang seorang matador yang berhadapan dengan satu atau dua ekor banteng di dalam arena"
Di dalam arena, seorang matador yang secara harfiah memiliki arti pembunuh, disebut sebagai torero atau toreador ketika menaklukan atau menumbangkan banteng-banteng di dalam arena pada sebuah pertunjukkan.
Seorang torero baru bisa disebut matador ketika sudah dinilai ahli dan punya banyak pengalaman dalam mengalahkan banyak banteng di arena.
Dalam sejarah pertunjukkan matador di negara asalnya, Spanyol, dikenal salah satu sosok matador ternama sepanjang masa bernama Juan Belmonte, yang teknik-tekniknya dianggap merevolusi pertarungan itu dan kemudian menjadi standar dalam penilaian pertunjukkan matador hingga hari ini.
Belmonte memperkenalkan teknik-teknik baru yang belum pernah digunakan oleh matador sebelumnya. Seperti teknik berdiri tegak, hampir tidak bergerak dan lebih dekat ke  tanduk banteng.
Ia juga mengalihkan serangan banteng dengan kerja keras yang terampil sehingga tanduknya hampir tidak mengenai dirinya dan mampu menghindar, mengelak dan menguasai banteng, yang boleh disebut sebagai seni atau keterampilan menguasai banteng atau faena.Â
Ernest Hemingway, seorang novelis dan pecinta Amerika, menulis (dalam, Death in the Afternoon, 1932) bahwa "Belmonte akan melilitkan banteng di sekelilingnya seperti ikat pinggang.
Tetapi selain dibutuhkan keahlian teknik faena, seorang matador ternyata didampingi oleh 2 orang penusuk banteng atau picador, dan dibantu oleh 3 orang penusuk jarum ke punggung banteng atau banderillero. Â
Maka dengan teknik yang dikuasainya, seorang matador dapat mempermainkan agresivitas seekor banteng dengan menggunakan sebuah muleta, yakni selembar kain merah yang digantung atau dibentangkan pada sebuah kayu atau tongkat yang berfungsi untuk memancing amarah atau perhatian si banteng.
Demikianlah sekilas gambaran tentang seorang matador yang berhadapan dengan satu atau dua ekor banteng di dalam arena, dan menunjukkan keahliannya dalam menaklukan, menumbangkan atau pada akhirnya membuat banteng mengembik. Tidak lagi mendengus, menggeram dan menyeruduk.
Di sisi lain, seorang matador yang tampak diam di kandang bersama ribuan banteng politik, jauh lebih berbahaya ketimbang seorang matador di arena dalam gambaran pertunjukkan permainan matador sungguhan tadi, adalah deskripsi terhadap situasi politik yang belakangan ditunjukkan oleh realitas yang terjadi di kubu partai terbesar di tanah air, yaitu Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP) berlambang banteng, yang sepertinya terlihat tidak sedang baik-baik saja.