Film dokumenter berjudul Dirty Vote yang disutradarai oleh Dandi Dwi Laksono sepertinya menjadi reportase akhir dari proses perjalanan panjang pelaksanaan pemilu 2024 hingga ke titik puncaknya, besok di 14 Februari 2024.Â
Sebagai sebuah reportase pemilu 2024 dalam bentuk film, Dirty Vote cenderung menginginkan pemilu berjalan di jalur yang bersih sehingga pembuatnya merasa perlu mengungkapkan kecurangan-kecurangan yang sudah dilakukan, sedang dilakukan dan kemungkinan akan dilakukan oleh para kandidat dan tim suksesnya, melalui edukasi tontonan politik.Â
Tetapi bagi saya, judul film tidaklah tepat bila merujuk pada arti suara kotor (dirty vote). Sebab faktanya, rakyat pemilih atau konstituen belum melakukan pencobolosan yang bisa menunjukkan bukti kecurangan meskipun sejumlah suara mereka telah tersandera oleh vote buying. Lantas suara kotor apa dan siapa yang dimaksud?
Suara kotor berarti dimaksudkan untuk suara yang telah ternoda. Suara-suara yang diduga akan diperoleh dengan cara-cara kotor atau curang. Di sini, rakyat pemilih sebagai pemilik suara seolah dipojokkan oleh prasangka atau tuduhan bahwa suara mereka sudah ternoda alias kotor oleh cara-cara para kandidat dan tim pemenangannya.Â
Padahal jika mengingat narasi yang seringkali digaungkan bahwa rakyat pemilih sekarang cerdas, sudah bisa membedakan mana yang baik dan mana yang buruk, seharusnya tidak ada suara kotor, tidak ada prasangka atau tuduhan terhadap para konstituen. Toh masing-masing paslon tidak ada yang bersih-bersih amat.Â
Terlebih di era serba terbuka seperti sekarang, di berbagai flatform digital atau media sosial mudah sekali ditemukan konteks kecurangan yang dilakukan bahkan telah melekat pada ketiga paslon tanpa terkecuali.
Namun, bila membaca sub judul film Dirty Vote yang berbunyi 'sebuah desain kecurangan pemilu 2024', bagi sebagian besar rakyat yang bukan partisan atau simpatisan dan belum menentukan pilihan, reportase di dalamnya tentu sangat penting untuk diketahui sebagai edukasi politik dan demokrasi yang bersih, jujur dan adil.Â
Sementara bagi partisan dan pendukung paslon yang secara terbuka lebih banyak dibeberkan aib-aibnya dalam film tersebut tentu saja menilai isi reportase sebagai tuduhan tak berdasar. Terutama ketika dirilis gratis saat masa tenang.Â
Kembali pada konteks judul, mengapa pembuat film itu tidak menggunakan judul 'Dirty Politics'Â atau 'Dirty Candidate'Â misalnya? Mengapa rakyat dengan suaranya (vote)Â yang belum keluar sebagai penentu hasil pemilu sudah disebut kotor? Â Bukankah yang kotor adalah cara-cara apapun yang digunakan oleh para kandidat dan tim pemenangannya untuk memenangkan pemilu seperti yang disajikan dalam Dirty Vote?
Terlepas dari judul dan salah satu paslon yang jauh lebih banyak dikupas habis, dua paslon lainnya pun ikut dibantai demi menuju pemilu yang bersih, jujur dan adil. Maka bagi rakyat yang mempunyai jiwa netral dalam konteks bukan partisan atau simpatisan, Dirty Vote merupakan edukasi politik dan demokrasi yang mencerahkan di tengah balutan narasi politik dinasti.Â
Dari keseluruhan isi film Dirty Vote, harus diakui bahwa pemilu bersih belum mampu diwujudkan bahkan masih jauh dari harapan. Padahal jika masing-masing kandidat dan tim pemenangannya mempunyai jiwa besar untuk berani mengatakan "Kami salah kami akan perbaiki segera" atau "Kami keliru kami akan luruskan secepat kilat", barangkali tak perlu ada tuduhan, fitnah, kebencian, serangan atau malah menghadirkan elektabilitas berbeda yang di luar dugaan.  Â
Sayangnya, dari sejak pelaksanaan pemilu dimulai hingga menjelang pencoblosan, tidak satu pun kandidat atau tim pemenangan berani berjiwa besar. Semua kandidat masing-masing berlaku defensif dan menolak mengakui apabila kandidat atau tim pemenangannya melakukan pelanggaran, kekeliruan atau kesalahan. Sepertinya, memang tidak ada jiwa besar dalam politik.Â
Oleh karena itu sebagai oase pengganti kebesaran jiwa, reportase dalam film dokumenter Dirty Vote oleh tiga pakar hukum tata negara yang terdiri dari Bivitri Susanti, Feri Amsari dan Zainal Arifin Mochtar layak diteriaki "Menyala Abangku" atas apa yang mereka lakukan untuk menuju demokrasi yang bersih, jujur dan adil.Â
Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H