Aku tahu bahwa engkau adalah sosok ibu paling sabar di permukaan bumi. Karenanya aku belajar banyak sabar darimu. Engkau perlu tahu ibu, aku tak pernah menyalahkan ayah.Â
Setidaknya aku bersyukur mempunyai ayah yang jauh lebih baik dari ayah yang lain, yang pemabuk, penjudi, pemakai obat terlarang, pemain perempuan atau gampang main pukul. Aku tidak pernah membenci ayah seperti secuil pun ibu tak pernah menyalahkan apalagi membencinya.Â
Malam itu, malam kemarinnya, dan malam-malam sebelumnya engkau selalu bercerita tentang hari yang tak akan pernah lagi sama bila kita ditinggalkan oleh orang-orang yang kita cintai.Â
Lepas Februari 2004, ibu bercerita tentang hari yang tak pernah lagi sama saat kakak keenam tak lagi diberi kekuatan untuk bisa menahan rasa sakit akibat kanker prostat yang sudah di derita lebih dari setahun.Â
Sesudah Mei 2006 giliran ibu bercerita tentang hari-hari yang tak pernah lagi sama ketika kakak keempat dipanggil Tuhan setelah kalah berjuang dari kanker payudara yang telah menggerogotinya.Â
Setelah 20 Februari 2016, tak ada lagi yang berbagi cerita kepadaku tentang hari yang tak akan pernah lagi sama. Giliran aku yang bercerita tentang hari-hari yang tak akan pernah lagi sama.Â
Bercerita pada ibu tentang kepergian kakak pertama yang mendadak dikabarkan pergi ke alam sana lantaran kelelahan akut di Agustus 2016.Â
Lalu bercerita tentang kakak kelima yang meninggalkan aku di Maret 2019 akibat komplikasi yang tiba-tiba. Dan bercerita lagi tentang kakak kedua yang Tuhan ambil di tahun 2021 karena positif Covid-19.
Lagi-lagi ibu benar tentang hari yang tak akan pernah lagi sama. Rumah yang dulu kita tinggali bersama-sama. Hunian yang lebih indah dan semarak melebihi citra keluarga cemara di tayangan televisi itu, kini senyap.Â
Nyaris tanpa suara manusia yang aku kenali. Bangunan yang sudah mulai lapuk di sana-sini, hampa dari senda gurau, canda tawa dan tangis. Rumah yang dulu gaduh dari setiap ruangnya telah menghadirkan kebenaran tentang hari yang tak akan pernah lagi sama.Â