13 Agustus 1990. Setelah engkau beranjak dari gundukan tanah merah basah usai menaburi bunga dan menyiraminya dengan sebotol air mawar lalu berkata, "Nak, hari-harimu ke depan tak akan pernah lagi sama! Mulai hari ini orang-orang akan menyebutmu anak yatim. Atas nama ayahmu, maafkanlah kesalahan beliau Nak!
Aku mendengarnya dalam isak, kulihat pula matanya berkaca-kaca. Aku tahu ia pandai menyimpan kepedihan, hebat menyembunyikan kesedihan, kecewa dan nestapa meskipun ternyata tak pintar menahan air matanya. Sikap dan semangatnya seringkali menutupi lelah, gundah dan susahnya.Â
"Bagaimana aku mengerti bahwa hari-hari yang kulewati tak akan pernah lagi sama jika ketika ayah masih ada, tak aku mengerti apa perbedaannya? Seperti saat aku tak mengerti mengapa ayah selalu ada di rumah dan ibu yang pergi bekerja? Aku tak paham mengapa saat aku menginginkan sesuatu, aku harus memintanya kepada ibu? Dan ibu tahu, permintaanku tentu tak senantiasa terwujud" Â ucap batinku dalam kesendirian.
Tapi aku tahu ibu. Aku tahu sesuatu yang tidak pernah lagi sama. Sebuah kursi di ruang tamu yang biasa ayah duduki sepanjang waktu kini tak berpenghuni. Tak ada lagi sosok yang memintaku membelikan tembakau dan papir.Â
Tak ada lagi tangan-tangan yang mengukir papan kayu dan melinting rokok. Tak ada lagi gelas kaca besar berisi teh tubruk di meja tamu di sisi kursi yang juga sudah kosong. Tak ada lagi yang akan mengunci pintu ketika melewati batas jam malam saat keluar rumah.Â
Ibu benar. Hari-hari yang kulalui tak pernah lagi sama. Seperti hari-hari yang ibu lewati tak pernah lagi sama sejak ayah memutuskan untuk berhenti bekerja.Â
Ibu menafkahi hidup sembilan anak yang nyaris ibu tanggung semua seorang diri. Sampai aku pun menyadari mengapa kita tak pernah bergerak dari serba ketidakcukupan.Â
Sebab itulah aku tahu bahwa sebenarnya air mata yang tak pintar engkau tahan mengandung komplikasi pertentangan batin yang engkau telan sendiri.Â
Antara tunduk atau berontak, menetap atau meninggalkan, diam atau melawan, setia atau berpaling, mengabdi atau tak peduli, bakti atau durhaka dan segudang rasa lain engkau endapkan.Â
Namun aku tahu pilihanmu bukan semua itu ibu, melainkan menerima dan mengikhlaskan.