Bicara tentang bangunan kolonial Belanda tentu tidak bisa terlepas dari masa penjajahan Belanda di Indonesia yang kabarnya terjadi selama 350 tahun.
Bangunan kolonial Belanda yang kini tergolong ke dalam ranah bangunan peninggalan bersejarah merupakan bagian dari khazanah arsitektur Nusantara.
Jejak-jejak arsitektur kolonial Belanda dimulai dengan benteng-benteng yang didirikan untuk mempertahankan kekuasan mereka ketika mulai terjadi ketegangan dengan pribumi.
Benteng didirikan dengan menggunakan batu-batu karang yang ditumpuk dan diplester dengan tanah sehingga membentuk dinding setinggi 2 meter dan tebal 1 meter.
Benteng tertua yang terdapat di pulau Banda dan dibangun sekira tahun 1550 jejaknya masih tampak dari bagian sisinya.
Benteng-benteng semacam banyak terdapat di kota-kota Indonesia yang pernah menjadi pusat pertahanan seperti di Ambon ternate 1576, Fort Rotterdam di Makasar, di Jayakarta 1600, di Banten 1603 dan benteng-benteng lainnya di berbagai kota.
Kemudian sekira tahun 1611 dengan didirikannya Fort Batavia, maka dimulailah perkembangan arsitektur kolonial Belanda seiring perkembangan kota Batavia. Â Di dalam benteng di bangun rumah-rumah yang akhirnya meniru gaya rumah asal mereka bahkan sebagian besar bahan interiornya didatangkan langsung dari Belanda.
Kota Batavia awalnya direncanakan seperti kota Amsterdam, yaitu dipotong-potong dengan terusan-terusan untuk menciptakan kota air. Rencana ini dapat dilihat di lokasi Kota Tua dan sekitarnya.
Rumah-rumah yang dibangun untuk tempat tinggal di area sekitarnya lalu dikenal sebagai "Landhuizen", yang dibangun dalam versinya yang sederhana dan dalam pembangunannya secara "masa-produksi" di kota-kota disebut gaya "kolonial".
Pembangunan arsitektur kolonial Belanda selain di Batavia atau Jakarta, pada perkembangannya semakin meluas ke berbagai wilayah dan kota-kota lain.
Semua itu sekarang dapat dibuktikan dengan bangunan-bangunan kolonial yang masih berdiri di Jakarta dan di berbagai wilayah serta kota lainnya dalam berbagai bentuk baik bangunan hunian, gereja, stasiun, sekolah, pusat pemerintahan, perkantoran, hotel maupun lainnya.
Contoh-contoh bangunan kolonial tersebut di antaranya, gedung balai Kota Batavia sekarang museum Fatahilah yang masih berdiri hingga kini. Rumah penguasa Belanda sekarang Gedung Arsip Nasional. Istana Merdeka, Istana Bogor, museum nasional dan bangunan kolonial lainnya.
Beberapa di antara bangunan kolonial Belanda juga dipengaruhi oleh arsitektur budaya Cina atau Tionghoa. Misalnya bangunan rumah-rumah di area pecinan, rumah-rumah ibadat atau klenteng, gedung Candra Naya dan lainnya.
Dari sekian banyak bangunan kolonial Belanda di antaranya telah mengalami pemugaran, bangunan lainnya masuk ke dalam konservasi, beberapa bangunan dinyatakan cagar budaya, dan sebagian lainnya hanya tersisa dalam dokumentasi.
Keseluruhan pemaparan informasi tentang bangunan kolonial Belanda ini sebagian besar tercantum dalam buku "Kompendium Sejarah Arsitektur" karya Ark. DR. Djauhari Sumintardja, Dipl., Bldg., SC., seorang pengajar yang memiliki dedikasi di bidang kajian sejarah arsitektur.
Kompendium Sejarah Arsitektur, sebuah buku ajar yang kabarnya telah dicetak ulang sampai 8 kali dengan penerbitan pertama (stensil) di tahun 1966 dan penerbitan kedua (cetak offset) tahun 1978 adalah salah satu buku rujukan sejarah arsitektur bagi banyak mahasiswa.
Buku Kompendium Sejarah Arsitektur diterbitkan oleh Yayasan Lembaga Penyelidikan Masalah Bangunan Jl. Tamansari No. 84 Bandung yang dicetak pertama kali tahun 1978 tanpa ISBN.
Meskipun tanpa ISBN tetapi bukan berarti buku ini tidak berkualitas apalagi terkena dampak krisis ISBN, melainkan karena tahun terbit buku Kompendium Sejarah Arsitektur jauh lebih tua dibanding pemberian identifikasi ISBN yang baru dipercayakan kepada Perpusnas oleh International ISBN Agency di tahun 1986.
Kompendium Sejarah Arsitektur bukan sekadar buku yang bercerita tentang sejarah arsitektur melalui gambar-gambar bangunan arsitektur Nusantara yang di dalamnya termasuk arsitektur kolonial Belanda, melainkan tentang literasi yang didasarkan oleh perjalanan sebuah bangsa yang mengalami penindasan dan penderitaan, yang sekaligus bersama kondisi tersebut dipaksa menyaksikan kemegahan, kecerdasan, kemewahan, kehebatan, kesombongan dan kekejaman penjajah melalui bangunan-bangunan gaya Belanda yang berdiri hampir di pelosok wilayah dan kota-kota di Indonesia.
Dalam perspektif itu pulalah seharusnya Remco Vermeulen dalam tantangan Remco x Kompasiana sebagai kandidat Ph.D Universitas Erasmus Rotterdam, melihat dan menggali ruang dalam setiap bangunan kolonial Belanda yang masih eksis dan bertahan di Nusantara. Â Â
Referensi
Sumintardja, Djauhari. 1978."Kompendium Sejarah Arsitektur", Bandung: Yayasan Lembaga Penyelidikan Masalah Bangunan.Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H