Mohon tunggu...
Sunan Amiruddin D Falah
Sunan Amiruddin D Falah Mohon Tunggu... Administrasi - Staf Administrasi

NEOLOGISME

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Pilihan

Mengapa Kini Guru Jarang Digugu dan Ditiru Tapi Malah Sering Dibelenggu dan Diseteru?

16 November 2023   09:26 Diperbarui: 16 November 2023   10:20 193
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi dibelenggu dan diseteru (Toto Sihono/megapolitan.kompas.com)

Dalam lirik lagu "Hymne Guru" terdapat kata bakti dan pengabdian, juga petunjuk bahwa guru adalah pelita bagi kegelapan dan embun penyejuk dalam kehausan yang mengarahkan semua bentuk apresiasi itu sebagai ketulusan hingga menjadi patriot pahlawan bangsa tanpa tanda jasa.

Ada kata kunci dalam hal disematkannya pahlawan tanpa tanda jasa kepada guru, yaitu "ketulusan". Kata itu pada masa lalu sepertinya terbaca untuk apapun hal yang diterima guru, baik materi maupun immateri akan diterima dengan tulus. Baik perlakuan buruk atau apapun, termasuk penghasilan atau gaji yang kecil juga akan diterima dengan tulus oleh guru. Ketulusan ini tentu mengacu pada alasan yang didasari atas niat murni untuk mengajar, mendidik dan mengabdi pada dunia pendidikan.

Karenanya, berdasarkan ketulusan dan niat itu pula perilaku guru menjadi panutan atau teladan, yang sejalan dengan istilah yang muncul dari bahasa Jawa bahwa guru adalah istilah untuk "digugu" dan "ditiru", yang berarti guru adalah orang yang patut diikuti nasehatnya. Kata "ketulusan" dan niat baik akan cenderung memberi timbal balik penerimaan yang tulus dan karma baik juga, sehingga tak mungkin ada belenggu atau seteru bagi guru.

Tetapi faktanya sekarang, istilah digugu dan ditiru seolah mengalami kecenderungan transformasi menjadi "dibelenggu" dan "diseteru". Guru merasa geraknya dibatasi dan pada titik tertentu dianggap musuh.

Peribahasa "Guru kencing berdiri murid kencing berlari" secara sederhana mengandung makna bahwa guru menjadi pusat pengguguan dan peniruan murid, panutan atau teladan murid, atau sumber percontohan perilaku bagi murid-muridnya. Apakah makna peribahasa itu juga mengalami pergeseran atau transformasi sehingga kini guru dibelenggu dan diseteru?

Di masa sekarang guru merasa kehilangan kebebasan dalam mengajar dan mendidik murid ketika ia dibenturkan pada persoalan hukum terkait kegiatan belajar mengajar yang membutuhkan pendisiplinan atas penegakan aturan tata tertib satuan pendidikan di masing-masing sekolah.

Kebebasan, yang tentu saja masih dalam koridor pendidikan bagi guru menjadi terhalang oleh eksistensi Undang-undang No. 35 Tahun 2014 Pasal 54 ayat 1 yang menyatakan, "Bahwa anak di dalam dan di lingkungan satuan pendidikan wajib mendapatkan perlindungan dari tindakan kekerasan fisik, psikis, kejahatan seksual, dan kejahatan lainnya yang dilakukan oleh pendidik, tenaga kependidikan, sesama peserta didik, dan/atau pihak lain".

Kasus-kasus guru dilaporkan ke kepolisian bahkan untuk maksud pendislipinan terhadap murid berdasarkan tata tertib sekolah, agama, nilai atau norma sekalipun, ternyata sudah banyak terjadi. Ada guru dilaporkan ke kepolisian karena mencubit murid, menjitak murid, mencukur rambut murid, murid tidak mau sholat berjamaah atau sebab lainnya.

Berdasar realita yang terjadi, rupanya patut diduga bahwa transformasi istilah digugu dan ditiru menjadi dibelenggu dan diseteru adalah keberadaan Undang-undang tentang perlindungan anak yang tercantum dalam Undang-undang No. 35 Tahun 2014 Pasal 54 ayat 1 tadi. Gerak bebas para guru jadi serasa dibelenggu dan diseteru oleh Undang-undang tersebut. Tetapi benarkah Undang-undang ini biang keroknya?

Bila kembali pada pertanyaan di atas, masihkah profesi guru diminati dengan niat yang sama? Jangan-jangan akar masalah perubahan yang terjadi atas perlakuan berbeda dan hasil yang berbeda yang diterima oleh guru dalam konteks dibelenggu dan diseteru, atas maksud dan tujuan yang sama untuk ikut mencerdaskan generasi penerus bangsa tidak datang dari niat yang sama. sehingga memunculkan aura emosional yang negatif saat melaksanakan kegiatan belajar mengajar. Aura emosional negatif lalu bisa mewujud ke dalam cara mengajar dan mendidik, khususnya pada saat melakukan tindakan pendisiplinan terhadap murid yang dianggap melanggar aturan.   

Jadi perlakuan berbeda dan hasil berbeda yang diterima oleh guru pada perbedaan dalam konteks dibelenggu dan diseteru bukan sekadar berdasar eksistensi Undang-undang No. 35 Tahun 2014 Pasal 54 ayat 1, melainkan karena hilangnya timbal balik berupa penerimaan yang tulus dan karma baik akibat ketulusan dan niat baik yang cenderung tidak lagi melekatkan niat murni untuk mengajar, mendidik dan mengabdi pada dunia pendidikan.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun